Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan anak kandung reformasi yang diharapkan dapat memberantas korupsi di Indonesia. Naasnya, visi pemberantasan korupsi yang dicanangkan oleh KPK hanya menjadi alat kekuasaan untuk menghancurkan atau paling tidak melenyapkan lawan-lawan politiknya belaka.
Paling mutakhir pemanggilan oleh KPK kepada Muhaimin Iskandar, ketara bagaimana institusi tersebut sarat akan kendali kekuasaan dan telah kehilangan marwahnya sebagai salah satu Lembaga Penegak Hukum, tak heran berdasarkan survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) terbaru mencatat tren kepercayaan publik terhadap Lembaga Penegak Hukum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengalami penurunan, yaitu sebesar 4%.
Pemanggilan Cak Imin (Sapaan akrab Muhaiman Iskandar) oleh KPK pertama-tama dapat ditinjau secara hukum, perlu diperjelas pula bahwa Korupsi di Kemenakertrans terkait sistem proteksi tenaga kerja Indonesia (TKI) itu diketahui terjadi pada 2012. Saat itu, Cak Imin masih menjabat sebagai Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi periode 2009-2014. Artinya ada kekosongan proses hukum selama 11 Tahun, hal tersebut telah melanggar prinsip hukum yang berbunyi “justice delayed is justice denied,” artinya, terlambat memberi keadilan juga merupakan bentuk lain ketidakadilan. Jelas tindakan KPK tersebut menjadi wujud kegagalan KPK dalam menjamin perlindungan dan penghormatan terhadap hak tersangka dan terdakwa.
Prinsip lain yang dilanggar dalam peristiwa hukum di atas ialah prinsip due process of law, menurut Atip Latipulhayat dalam Hukumonline.com, due process of law adalah jaminan konstitusional yang memastikan adanya proses hukum yang adil yang memberikan kesempatan kepada seseorang untuk mengetahui proses tersebut dan memiliki kesempatan untuk didengar keterangannya mengapa hak hidup, kebebasan, dan harta miliknya dirampas atau dihilangkan.
Due process of law adalah jaminan konstitusional yang menegaskan bahwa hukum tidak ditegakkan secara irasional, sewenang-wenang, atau tanpa kepastian. Dari peristiwa pemanggilan Cak Imin oleh KPK diduga kuat adanya pelanggaran due process of law yaitu terjadi penegakan hukum yang irasional, sewenang-wenang, dan tanpa kepastian hukum.
Baca juga: Teori Penegakan Hukum Menurut Para Ahli
Pemanggilan KPK dilayangkan setelah Cak Imin bergabung dengan Koalisi Perubahan dan mendeklarasikan dirinya sebagai Calon Wakil Presiden dari Anies Baswedan, lumrah diketahui koalisi ini sebagai antitesis dari pemerintahan saat ini, dan merupakan hal biasa dalam negara demokrasi.
Praduga pelanggaran terhadap prinsip-prinsip hukum di atas oleh KPK disebabkan oleh manuver politik yang dilakukan oleh Cak Imin tersebut, artinya tindakan-tindakan penegakan hukum yang dilakukan oleh KPK tidak dilakukan melalui penilaian yang objektif dan sesuai dengan prosedur hukum yang ada, justru telah menyalahi ketentuan dalam Undang-Undang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi itu sendiri, yaitu Pasal 3 yang berbunyi “Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.” Secara singkat dan lugas dapat dinyatakan bahwa Lembaga Antirasuah ini telah terpengaruh oleh kepentingan-kepentingan politik.
Ditambah lagi fakta bahwa sejak diterbitkannya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi kedudukan KPK sudah menjadi bagian dari rumpun kekuasaan eksekutif, peristiwa Cak Imin semacam mengafirmasi ketakutan-ketakutan yang sebelumnya disampaikan oleh para akademisi bahwa dengan memasukkan KPK ke dalam rumpun kekuasaan eksekutif maka penggunaan KPK sebagai alat politik sangat riskan.
Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UU Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang berbunyi “Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang selanjutnya disebut Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang melaksanakan tugas pencegahan dan pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sesuai dengan Undang-Undang ini.”
Respon (1)