PINTER HUKUM
#1 Platform for Legal Education and Consulting • Penyedia Layanan Jasa Hukum Terlengkap dan Terpercaya di Indonesia
Opini  

Opini “Kala Suara Bertarung”

Suara atau kebebasan berpendapat adalah hak fundamental mahasiswa yang menjadi pilar penting dalam proses pembelajaran serta pembentukan identitas intelektual di lingkungan kampus (Tita, 2025). Kampus sebagai institusi pendidikan idealnya menjadi ruang terbuka bagi mahasiswa untuk belajar, berdiskusi, dan bertukar gagasan. Kebebasan berekspresi ini memungkinkan terciptanya suasana yang demokratis, inklusif, dan mendukung perkembangan intelektual yang sehat. Namun, dalam praktiknya kebebasan berpendapat sering kali melahirkan polemik yang jika tidak dikelola dengan baik dapat menjadi sumber konflik dan ketegangan yang merugikan iklim akademik dan sosial di kampus. Di Indonesia, kebebasan berpendapat dijamin dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28E ayat (3), yang menegaskan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.

Di sisi lain, kebebasan berpendapat sering kali dihadapkan pada dilema dan batas etika. Ketika kebebasan tersebut dijalankan tanpa tanggung jawab, maka yang muncul bukanlah dialog yang membangun, melainkan polemik yang merusak. Fenomena “berpolemik” tanpa dasar yang jelas, tanpa data, atau dengan tujuan provokatif sering kali mengaburkan makna sejati dari kebebasan berpendapat itu sendiri. Dalam konteks ini, perbedaan antara freedom of expression (kebebasan berekspresi) dan freedom to offend (kebebasan untuk menyinggung) menjadi semakin kabur. Kebebasan yang seharusnya digunakan untuk membangun justru dapat menimbulkan polarisasi, kebencian, bahkan konflik sosial apabila tidak diimbangi dengan kesadaran moral dan tanggung jawab sosial  (Office for Students UK, 2023).

Esensi kebebasan berpendapat bukan sekadar kebebasan berbicara tanpa batas, tetapi mencakup kemampuan mahasiswa untuk menyampaikan gagasan dengan cara yang terbuka, kritis, dan konstruktif. Ini termasuk berdiskusi secara ilmiah, mengkritisi kebijakan kampus, serta membahas berbagai isu sosial, politik, dan budaya yang relevan. Lingkungan kampus yang heterogen dengan beragam latar belakang budaya, agama, dan pandangan politik menjadikan kebebasan berpendapat sebagai ruang penting untuk memperkaya wawasan dan memperluas perspektif melalui dialog lintas perbedaan. Di sinilah peran kebebasan berpendapat menjadi pondasi dalam mendorong inovasi pemikiran dan pertumbuhan intelektual mahasiswa.

Baca Juga: Suara Rakyat atau Suara Elit Menggali Keterlibatan Publik dalam Proses Legislasi Indonesia

Pemahaman terhadap konsep kebebasan berpendapat tidak seharusnya berhenti hanya pada aspek hukum atau hak konstitusional. Konsep ini juga perlu ditinjau dari perspektif moral, sosial, dan psikologis. Dalam lingkungan kampus, kebebasan berpendapat menjadi ruang bagi mahasiswa untuk menegosiasikan nilai, menguji keyakinan, serta mempraktikkan empati dalam interaksi akademik. Proses tersebut turut membentuk kecerdasan emosional dan kesadaran sosial yang menjadi modal penting dalam kehidupan bermasyarakat. Pada akhirnya, keseimbangan antara kebebasan dan tanggung jawab menjadi kunci utama dalam mewujudkan iklim akademik yang sehat.

Kebebasan berpendapat tidak boleh diartikan sebagai kebebasan tanpa batas, melainkan harus dijalankan dalam bingkai etika dan moralitas. Mahasiswa perlu mendapatkan ruang aman untuk berekspresi sekaligus memahami dampak sosial dari setiap kata dan tindakan yang mereka sampaikan. Kampus pun harus berkomitmen untuk menjadi institusi yang menjunjung tinggi kebebasan akademik tanpa harus mengorbankan nilai-nilai kemanusiaan dan kedamaian sosial.  Kebebasan berpendapat yang dimiliki mahasiswa seharusnya berjalan seiring dengan tanggung jawab moral. Mahasiswa perlu memahami bahwa setiap gagasan yang disampaikan mengandung konsekuensi sosial. Karena itu, sikap toleransi, empati, dan penghormatan terhadap pendapat orang lain menjadi bagian penting dari proses berpikir kritis.

Lembaga kampus juga memiliki tanggung jawab besar dalam memberikan panduan serta regulasi agar kebebasan berekspresi tetap berada dalam koridor etika akademik. Lembaga kampus perlu mengedukasi mahasiswa tentang etika berkomunikasi, cara berdiskusi yang sehat, dan pentingnya membedakan kritik konstruktif dari serangan pribadi. Media kampus, sebagai salah satu wahana ekspresi mahasiswa, harus diorganisasi secara profesional agar menjalankan fungsi edukatif sekaligus menjaga kebebasan berpendapat tanpa menimbulkan konten yang merugikan seperti ujaran kebencian atau hoaks. Proses pendewasaan sikap toleransi dan empati juga harus dijalankan secara intensif agar kebebasan berpendapat bukan menjadi sumber polemik, melainkan kekayaan intelektual yang memperkuat solidaritas sosial (Taslim et al., 2016).

Realitas lain yang perlu diperhatikan adalah tantangan era digital. Saat ini, kebebasan berpendapat tidak lagi terbatas di ruang fisik kampus, tetapi juga meluas ke media sosial. Mahasiswa kini memiliki platform luas untuk menyuarakan ide dan opini secara cepat dan masif. Namun, kebebasan digital ini membawa risiko baru seperti penyebaran informasi palsu, ujaran kebencian, dan budaya cancel yang dapat mengikis nilai-nilai dialog. Oleh karena itu, literasi digital dan etika bermedia menjadi aspek penting yang harus diajarkan di lingkungan kampus. Mahasiswa perlu memahami bahwa setiap unggahan, komentar, dan opini publik memiliki konsekuensi sosial dan hukum yang nyata.

Baca Juga: Menakar Reformasi KUHAP: Ekspansi Kewenangan Aparat dan Risiko Represi Negara

 Realitas di lapangan menunjukkan tantangan besar dalam mewujudkan kondisi ideal tersebut, banyak kasus yang menunjukkan fenomena pembungkaman terhadap mahasiswa yang kritis, adanya sensor terhadap isu-isu sensitif, serta intimidasi yang membatasi ruang kebebasan akademik. Situasi seperti ini menegaskan bahwa kebebasan berpendapat butuh dukungan perlindungan hak yang kuat dan komitmen bersama dari seluruh civitas akademika serta pengelola kampus. Hal ini penting agar suasana diskusi tetap terbuka, adil, dan aman sehingga mahasiswa merasa nyaman dan termotivasi untuk menyuarakan pandangannya.

Kebebasan antara berpendapat dan menghindari perdebatan yang merugikan merupakan tantangan yang tidak bisa dihindari, namun harus dihadapi. Mahasiswa perlu mendapatkan ruang yang aman untuk berekspresi, dibekali pendidikan mengenai etika berkomunikasi, serta diasah kemampuan toleransi agar ekspresi mereka membangun bukan merusak. Kampus sebagai institusi pendidikan juga harus memiliki komitmen kuat untuk menjadi tempat di mana kebebasan akademik dijaga tanpa adanya sensor yang berlebihan maupun konflik yang merugikan. Dengan kondisi tersebut akan menciptakan iklim akademik yang kondusif untuk pertumbuhan generasi intelektual yang kritis, bijak, dan beradab.

Dengan demikian, “Kala Suara Bertarung” tidak hanya berbicara mengenai pertarungan kata, tetapi juga mengenai  perjuangan intelektual antara idealisme dan realitas. Di tengah tantangan zaman, suara mahasiswa harus tetap menyala sebagai penjaga kebenaran dan keadilan. Suara mereka adalah cermin nurani bangsa  dan selama suara itu terus hidup, harapan akan perubahan tidak akan pernah padam.

Baca Juga: Antara Hak dan Hukum di Persimpangan: Mimpi Buruk Generasi Sumatera Pascabencana

Daftar Pustaka

Taslim, M., Suherli, S., & Rusdin, F. R. (2016). Etika Komunikasi di Lingkungan Akademik: “Evaluasi Praktik dan Tantangan di Universitas Almarisah Madani”. Jurnal Ilmiah Wahana Pendidikan, 10(13), 1–23.

Tita, G. A. (2025). Kebebasan Berpendapat Di Kampus Itu Realita Atau Sekedar Retorika. UNIVERSITAS STEKOM. https://stekom.ac.id/artikel/kebebasan-berpendapat-di-kampus-itu-realita-atau-sekadar-retorika?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *