Dalam konteks demokrasi modern, mewajibkan undang-undang untuk disahkan melalui voting dari masyarakat dapat dilihat sebagai langkah progresif menuju penguatan partisipasi publik. Dari sudut pandang sosiologis, mekanisme ini sejalan dengan prinsip demokrasi deliberatif dan partisipatoris, yang memungkinkan masyarakat menjadi bagian integral dalam proses pembuatan kebijakan.
Dengan melibatkan masyarakat, bukan hanya sebagai penerima hukum, tetapi juga sebagai partisipan aktif, kita menciptakan rasa tanggung jawab kolektif terhadap arah kebijakan yang diambil. Ini sangat penting di Indonesia, di mana sering terjadi kesenjangan antara keinginan masyarakat dan keputusan yang diambil oleh elite politik.
Baca juga: Perppu Sebagai Legislasi Jalan Tikus di Indonesia
Di sisi positifnya, voting dari masyarakat dapat memperkecil kesenjangan kekuasaan yang sering terjadi antara elite dan rakyat. Dalam konteks Indonesia, di mana praktik clientelism dan politik patronase sering kali menghalangi partisipasi publik, mekanisme ini menawarkan jalan untuk mendobrak dominasi kelompok elit. Dengan keterlibatan langsung, suara rakyat bisa lebih terdengar, sehingga mengurangi potensi keputusan yang bersifat top-down dan bias terhadap kepentingan kelompok tertentu. Teori partisipasi menyatakan bahwa partisipasi masyarakat dalam politik tidak hanya memperkuat institusi demokrasi, tetapi juga meningkatkan kesadaran politik dan tanggung jawab sosial.
Namun, di balik potensi positif tersebut, terdapat sejumlah tantangan yang perlu diwaspadai. Salah satunya adalah risiko bahwa masyarakat tidak selalu memiliki kapasitas untuk memahami kompleksitas undang-undang. Keterlibatan langsung dalam voting untuk setiap undang-undang bisa memperlambat proses legislasi dan menciptakan ketidakpastian. Misalnya, referendums yang terjadi di Inggris dalam kasus Brexit menunjukkan bagaimana keputusan yang diambil bisa sangat dipengaruhi oleh informasi yang menyesatkan dan narasi populis. Hal ini mengakibatkan polarisasi sosial yang tajam dan dampak ekonomi jangka panjang yang negatif.
Keterlibatan masyarakat juga dapat meningkatkan potensi konflik sosial, terutama jika keputusan legislatif tidak sesuai dengan harapan masyarakat. Ketidakpahaman mengenai isu yang kompleks sering kali menyebabkan keputusan yang tidak mencerminkan kepentingan publik secara keseluruhan. Studi empiris menunjukkan bahwa sistem voting langsung sering kali tidak menghasilkan kebijakan yang berkelanjutan. Contoh di California, di mana banyak undang-undang yang diputuskan melalui voting masyarakat harus diubah atau dibatalkan beberapa tahun kemudian, menunjukkan bahwa partisipasi publik tidak selalu berbanding lurus dengan kualitas kebijakan.
Dalam sistem demokrasi perwakilan yang kuat, seperti yang diterapkan di Jerman dan Kanada, para legislator yang terpilih memiliki keahlian untuk menganalisis dan mempertimbangkan berbagai aspek dari kebijakan sebelum mengambil keputusan. Proses ini memastikan bahwa kebijakan yang dihasilkan bukan hanya berdasarkan opini sesaat, tetapi melalui kajian yang mendalam dan konsultasi dengan berbagai pemangku kepentingan. Sistem ini telah terbukti lebih mampu menghasilkan kebijakan yang stabil dan responsif terhadap dinamika sosial dan ekonomi yang kompleks.
Dalam konteks Indonesia, mewajibkan voting dari masyarakat untuk setiap undang-undang yang disahkan bisa menghambat proses legislatif yang efisien. Meskipun terdapat potensi peningkatan partisipasi masyarakat, dampak negatif seperti keterlambatan dalam pengesahan undang-undang dan risiko keputusan yang diambil berdasarkan opini dangkal harus dipertimbangkan. Masyarakat tidak selalu memiliki akses ke informasi yang cukup untuk membuat keputusan yang terinformasi, dan ini bisa berujung pada kebijakan yang tidak efektif dan bahkan memperburuk ketimpangan sosial.
Baca juga: GBHN Pilar Stabilitas Kebijakan dan Masa Depan Pembangunan Indonesia
Secara keseluruhan, meskipun partisipasi masyarakat dalam pengesahan undang-undang adalah elemen penting dalam menjaga legitimasi dan akuntabilitas, mewajibkan voting untuk setiap undang-undang dapat menjadi penghalang bagi efisiensi dan efektivitas pemerintahan. Sebuah sistem yang seimbang, di mana legislasi tetap berada di tangan wakil rakyat yang terpilih tetapi juga menyediakan saluran untuk masukan masyarakat, tampaknya merupakan solusi yang lebih praktis. Dengan demikian, kita dapat menjaga kualitas kebijakan sambil tetap mengedepankan prinsip-prinsip demokrasi yang inklusif.