PINTER HUKUM
#1 Platform for Legal Education and Consulting • Penyedia Layanan Jasa Hukum Terlengkap dan Terpercaya di Indonesia
Opini  

Perppu Sebagai Legislasi Jalan Tikus di Indonesia

Avatar of Pinter Hukum
Perppu

Dewasa ini, masyarakat Indonesia digemparkan dengan adanya pengesahan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (disingkat PERPPU) No. 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Pasalnya dalam pengesahan Perppu tersebut, pemerintah dengan dalih kegentingan memaksa dan hak prerogatif (hak subyektif) nya menerbitkan Perppu yang kontroversial dimasyarakat. Namun, bagaimana kedudukan Perpu dan apa implikasi Perppu terhadap tatanan kehidupan masyarakat? Simak ulasan berikut ini!

Pasal 22 ayat (1) UUD NRI 1945 menyatakan bahwa dalam hal ihwal kegentingan memaksa, Presiden berhak membuat Perppu.  Konteks “hal ihwal kegentingan memaksa” tersebut juga telah ditafsirkan oleh Mahkamah Konstitusi dalam putusannya Nomor 138/PUU-VII/2009.

Baca juga: Perppu Cipta Kerja: Bentuk Pembangkangan Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi

Putusan tersebut menjelaskan bahwa Presiden    dalam    mengeluarkan    Perppu    memiliki    3    syarat    sebagai  parameter adanya  hal  “kegentingan  yang  memaksa”  bagi  Presiden  untuk  mengeluarkan Perppu, yaitu:

  • Adanya kebutuhan mendesak   untuk   menyelesaikan   masalah   hukum      secara      cepat  berdasarkan    Undang-Undang;
  • Undang-Undang yang dibutuhkan  tersebut  belum  ada  sehingga terjadi  kekosongan  hukum  atau  ada  Undang-Undang  tetapi  tidak   memadai;
  • dan adanya kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara  prosedur biasa karena akan memerlukan  waktu yang cukup lama sedangkan keadaan  yang mendesak tersebut perlu  kepastian untuk diselesaikan.

Perppu ditetapkan oleh presiden dengan persyaratan tertentu yang diwajibkan oleh  UUD  1945.  Dalam pasal 22 ayat (2) UUD NRI 1945 dijelaskan mengenai keberadaan  Perppu  hanya  berlaku  selama  satu  periode  masa sidang  untuk  selanjutnya  disetujui  atau  ditolak  oleh  DPR.  Jika  disetujui  makan akan menjadi undang-undang, jika ditolak maka Perppu dinyatakan tidak berlaku.

Dalam hal  penetapan perppu  menjadi  undang-undang  diatur  dalam  undang-undang  Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan  Peraturan  Perundang-Undangan.  Yakni  Perppu  harus  diajukan  ke  DPR  pada  sidang  berikutnya.

Hal  tersebut dilakukan dalam bentuk pengajuan Rancangan Undang-Undang tentang penetapan Perppu  menjadi  Undang-Undang.  Dengan  demikian,  DPR  dalam  hal  ini  berfungsi sebagai  legislative  review  bagi  peraturan  perundang-undangan  yang  ditetapkan sebagai   pengganti   undang-undang oleh presiden sebagai lembaga eksekutif. .

Apabila berbicara mengenai hukum atau undang-undang maka tak lepas dari yang namanya politik.  Dalam menjalankan politik hukum juga harus berlandaskan peraturan perundang-undangan yang ada serta berlandaskan kedemokrasian serta asas welfare state atau negara kesejahteraan.

Mengutip perkataan Prof. Dr. Mahfud MD, dalam bukunya “Politik Hukum di Indonesia” bahwasanya beliau mengatakan; “jika kita ingin membangun hukum yang responsif maka syarat pertama dan utama yang harus dipenuhi lebih dulu adalah demokratisasi dalam kehidupan politik.”.

Berlawanan dengan hal-hal yang telah disebutkan, kenyataannya dalam kehidupan bernegara, pemerintah kerap menyalahgunakan kewenangannya yang telah diatur dalam konstitusi negara.

Salah satu kewenangan yang sering disalah gunakan ialah kewenangan membentuk undang-undang ataupun peraturan pemerintah pengganti undang-undang.

Seperti contoh pembentukan UU No. 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja yang mana secara formil/prosedur bertentangan dengan asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang tertera dalam UU No. 12 tahun 2011.

Serta secara materiil telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat dan harus diperbaiki dalam jangka waktu 2 tahun oleh Mahkamah Konstitusi dalam putusannya No. 91/PUU-VII/2020, apabila tidak diperbaiki dalam kurun waktu tersebut maka dinyatakan inkonstitusional secara permanen.

Alih-alih menggunakan dasar “kegentingan memaksa”, yang mana selanjutnya Presiden dengan hak Prerogatifnya membuat Perppu Cipta Kerja yang mana substansi atau materi-materi yang terkandung didalamnya sama persis dengan apa yang ada di dalam UU Cipta Kerja tersebut.

Sejalan dengan apa yang di inginkan oleh DPR, maka Perppu tersebut di sahkan menjadi UU, dan secara tidak langsung DPR dalam hal ini membangkang terhadap putusan mahkamah konstitusi. Pasalnya, DPR yang seharusnya memperbaiki UU tersebut malah mencari jalan pintas yakni dengan mengesahkan Perppu tersebut menjadi UU.

Dan jika dilihat lebih lanjut pembentukan UU hingga Perppu tersebut syarat akan kepentingan politik. Yang dimaksud kepentingan politik di sini adalah kepentingan individu / kelompok dalam jajaran parlemen.

Sebab, dari hasil riset seorang pakar politik Prof. Dr. Hamdi Muluk menyatakan sejatinya 63% (212 orang dari 575) anggota dewan yang duduk di kursi parlemen saat ini adalah seorang pengusaha atau seorang yang memiliki saham perusahaan, ataupun komisaris. Dan patut diketahui, pembentukan UU hingga Perppu tentang cipta kerja tersebut tak luput dari pada kepentingan politik mereka.

“Sejatinya hukum untuk masyarakat bukan masyarakat untuk hukum” begitulah ungkapan teori hukum progresif dari seorang ahli ilmu hukum Indonesia Prof. Satjipto Rahardjo.

Yang kurang lebih maknanya dalam kehidupan bermasyarakat hukum harus hadir ditengah-tengah masyarakat demi keadilan dan kesejahteraan mereka bukan malah tertindas dengan adanya hukum tersebut.

Baca juga:

Analisis Filosofis Terhadap Historikal Pancasila Dalam Sejarah Negara Republik Indonesia

Putusan ‘Tunda Pemilu’ dan  Logical Fallacy Partai Prima

Pengertian Hukum Menurut Para ahli

Dalam membentuk Perppu sejatinya harus mengedepankan kegentingan yang ada dalam kepentingan masyarakat umum. Jika tidak ada Perppu maka akan menimbulkan kekacauan dan lain sebagainya. Maka dengan lahirnya Perppu masyarakat aman akan suatu kegentingan yang terjadi dalam suatu negara.

Seperti diterbitkannya PERPPU No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang mana pada saat itu tidak ada payung hukum mengenai tindak pidana terorisme usai kejadian teror bob di Bali. Oleh sebab itu materi muatan dalam Perppu haruslah bersifat obyektif.

Penafsiran objektif seorang presiden sulit untuk dilakukan karena kewenangan yang diberikan peraturan perundang-undangan kepada presiden untuk membentuk  Perppu masih  bersifat  subjektif  untuk  ditafsirkan  presiden.

Sekalipun telah  ada  acuan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi dalam putusannya. Sebagai  peraturan darurat, Perppu mengandung pembatasan-pembatasan. Tanpa pembatasan  tersebut berpotensi menjadi sumber ketidakteraturan dan penyimpangan dalam  penyelenggaraan  negara.

Seharusnya, materi  muatan Peraturan  Pemerintah Pengganti  Undang-undang (Perpu) hanya mengenai hal-hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan (administrasi negara). Perppu tidak boleh dikeluarkan bersifat ketatanegaraan dan hal yang berkaitan dengan lembaga negara, kewarganegaraan, teritorial, negara, dan hak dasar rakyat.

Dan dapat ditarik benang merah simpulan bahwasanya Presiden memanglah diberikan hak konstitusional untuk membuat Perppu apabila negara dalam hal ihwal kegentingan memaksa. Dan patutlah hal tersebut baik untuk negara dan masyarakatnya mengingat dalam kehidupan yang akan datang kita tidak tahu akan apa yang terjadi. Pastinya ada segala bentuk ketidaknormalan.

Oleh sebab itu, Perppu diharapkan hadir didalam  masyarakat untuk memberikan suatu jaminan keadilan, kesejahteraan dan keamanan bahwa negara kita adalah negara hukum yang berlandaskan demokrasi bukan oligarki. Meskipun dalam prosedural kita adalah negara yang berkedaulatan rakyat / demokrasi, secara subtansial negara kita seakan-akan berkedaulatan kepentingan politik / oligarki.

Respon (3)

  1. Yap, layaknya Perppu cukup jadi urgent step, jika terlalu labil dalam implementasi ya akhirnya hanya jadi peralatan tirani oligarch

  2. perppu memang mekanisme fast track legislation yang merupakan kewenangan mutlak presiden, namun dalam hal perppu ciptaker, saya ber opini merupakan langkah culas dan angkuh pemerintah dan DPR dalam menjalankan amanat rakyat

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *