PINTER HUKUM
#1 Platform for Legal Education and Consulting • Penyedia Layanan Jasa Hukum Terlengkap dan Terpercaya di Indonesia
Opini  

Perppu Cipta Kerja: Bentuk Pembangkangan Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi

Perppu Cipta Kerja

Dalam buku “Politik Hukum Di Indonesia” Karangan Prof Mahfud MD dikatakan bahwa tak selamanya sistem demokrasi itu selalu bersifat demokratis dan tak selamanya sistem otoriter selalu bersifat buruk, diktator bahkan mengekang kebebasan bernegara.

Semua bergantung pada apa yang disebut dengan kepuasan dan kepercayaan publik terhadap kinerja Pemerintahnya, seperti contoh negara-negara otoriter seperti Inggris, Arab Saudi, dan Turki yang mana warga negaranya tetap bisa hidup damai, tenteram dan minim konflik terhadap pemerintah/penguasa sedangkan pada negara yang menganut sistem demokrasi, seperti Indonesia malah banyak mengalami  pertentangan antara warga negara dan pemerintah/pemangku kebijakan atas kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan.

Baca juga: Indonesia Adalah Negara Kekuasaan Yang Dibentengi Dengan Hukum

Artinya sistem apa yang digunakan oleh suatu negara entah itu demokratis ataupun otoriter bukanlah sebuah patokan untuk mengklaim suatu negara itu baik atau buruk tapi tingkat kepercayaan dan kepuasan publik yang menjadi dasar utama.

Indonesia sebagai negara demokrasi yang artinya melibatkan partisipasi publik secara penuh dalam setiap kebijakan yang dibuat. Pada praktiknya  justru sebaiknya, pasalnya belum lama ini Presiden Republik Indonesia melalui hak prerogatifnya menetapkan Perppu Cipta Kerja sebagai bentuk respon pemerintah terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang menetapkan Undang-Undang Cipta Kerja berstatus inkonstitusional bersyarat.

Alih-alih tindakan tersebut dimaksudkan untuk menjawab dan menjalankan perintah putusan Mahkamah Konstitusi, justru menurut berbagai ahli dan akademis serta praktisi hukum dicap sebagai penyimpangan dari putusan Mahkamah Konstitusi itu sendiri. Pasalnya unsur partisipasi publik secara penuh yang diamanatkan dalam putusan Mahkamah Konstitusi tidak dilaksanakan oleh pemerintah dengan menetapkan Perppu Ciptaker ini.

Baca juga: Perppu Cipta Kerja Dituding Siasat Pemerintah untuk Tetap Berlakukan Omnibus Law

Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengamanatkan adanya partisipasi yang bermakna (meaningful participation) yang terdiri dari tiga prasyarat, yakni hak untuk didengarkan pendapatnya (rights to be heard), hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (rights to be explained), dan hak untuk dipertimbangkan pendapatnya (rights to be considered).

Amanat tersebut langsung ditepis begitu saja oleh pemerintah dengan mengeluarkan Perppu Cipta Kerja, bagaimana tidak bisa dikatakan menyimpangi putusan Mahkamah Konstitusi jika secara legalitasnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang undang merupakan kewenangan sendiri atau hak sendiri seorang presiden sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara untuk membentuk peraturan dalam hal kegentingan yang memaksa.

Artinya akan ada tindakan otoriter/tanpa melibatkan partisipasi publik akan terjadi dalam proses pembentukannya, pasalnya dalam mekanisme pembentukannya Perppu berbeda dengan undang-undang, suatu Undag-Undang harus lah melalui serangkaian proses yang panjang yang harus melibatkan partisipasi publik sehingga baru bisa disahkan, seperti contohnya RUU KUHP yang bertahun-tahun lamanya baru bisa disahkan karena masuknya berbagai partisipasi publik secara penuh sehingga terjadi dinamika yang kompleks dalam proses perumusan, pembahasan dan pengesahannya.

Berbeda dengan Perppu Cipta Kerja yang dibuat tanpa melalui proses pembahasan bersama di gedung aspirasi rakyat, konsep Perppu sendiri hanya memerlukan persetujuan DPR, bukan pada tahap pembahasan bersama. Dalam kata lain meaningful participation yang diamanatkan oleh Mahkamah Konstitusi sebagai bentuk mengawal dan menjaga konstitusi menjadi tidak terwujud.

Baca juga: Reformasi Hukum di Indonesia: Langkah Tepat Menghadirkan Keadilan

Jika tabiat legalisasi yang dilakukan pemerintah tersebut terus dibiarkan tanpa adanya perlawanan baik berupa kritik maupun evaluasi akan sangat memungkinkan jika pemerintah akan terus menggunakannya sebagai bentuk jalan pintas untuk mengatasi persoalan- persoalan publik seperti ini. Hal ini sangat dapat mematikan kehidupan demokratis di negara yang katanya menganut sistem demokrasi ini.

Sebelumnya, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Undang-Undang Cipta Kerja) dilakukan uji formil ke Mahkamah Konstitusi karena dianggap tidak memenuhi unsur unsur pembentukan peraturan perundang-undangan, salah satunya yaitu lemahnya partisipasi publik sebagaimana yang dikatakan oleh Pakar hukum tata negara, Zainal Arifin Mochtar menjelaskan mengenai konsep konstitusional pembentukan undang-undang, beliau mengatakan bahwa Pembentukan undang-undang bukan sekadar persoalan formal yaitu dipenuhinya partisipasi, aspirasi, proses, prolegnas dan sebagainya.

Menurut Zainal, bagian dari konstitusionalitas pembentukan undang-undang itu punya moralitas konstitusional yang berada dalam Undang-Undang Dasar 1945 itu sendiri, yaitu penghormatan terhadap kedaulatan rakyat. Hal itu berarti, menurut Zainal, ada prinsip konstitusionalitas yang tidak sekadar formil, tetapi juga materiil. Betapa penting yang namanya konstitusionalitas formil legislasi maupun moralitas materiil legislasi.

Pemohon mengharapkan dengan dilakukan uji formil Undang-Undang Cipta Kerja ke Mahkamah Konstitusi untuk mengisi dan melengkapi kekurangan-kekurangan yang dikesampingkan oleh pembuat Undang-Undang, salah satunya yaitu minimnya partisipasi publik sehingga Mahkamah Konstitusi dalam putusannya memerintahkan adanya partisipasi publik yang bermakna, akan tetapi kandas begitu saja setelah pemerintah menetapkan Perppu Cipta Kerja.

Baca juga: Menggali Prinsip Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik Dan Relevansinya Dengan Legislasi Saat Ini

Mengapa partisipasi publik menjadi hal yang sangat penting khususnya berkenaan dengan regulasi cipta kerja karena substansi yang ada di dalamnya berkaitan langsung dengan para pekerja dan pelaku usaha, seperti terkait perizinan berusaha, pemberdayaan pekerja dan ketentuan ketentuan lainnya yang berkaitan dengan dunia kerja. Dalam pandangan Economics Analysis of Law.

Keputusan para pelaku yang wait and see/menahan keputusan ekonomi menjadi bukti bahwa  para pelaku usaha kesulitan memprediksi iklim bisnis dan investasi di Indonesia akibat ketidakpastian Undang-Undang Cipta Kerja pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Ketidakpastian hukum ini apabila dibiarkan, tentu akan membahayakan stabilitas ekonomi, terutama di ambang tahun 2023 yang diprediksi akan terjadi resesi ekonomi global.

Dengan hidupnya partisipasi publik akan meminimalisir terjadi pertentangan antara pemangku kebijakan dan pengguna kebijakan, karena sejatinya bagi negara demokrasi kedaulatan tertinggi ada di tangan rakyat, bukan di tangan penguasa.

Penulis: Muhammad Robi, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Bengkulu.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *