Di dalam suatu pembentukan peraturan perundang-undangan dikenal adanya syarat formil dan materil. Jika syarat formil berbicara mengenai tahapan, tatacara dan prosedur pembentukan peraturan perundang-undangan, adapun ruang lingkup daripada syarat materil ialah mencakupi substansi secara tertulis atau pun terkait dengan materi muatannya (istilah yang pertama kali diperkenalkan oleh A. Hamid S. Attamimi, dalam Majalah Hukum dan Pembangunan No. 3 Tahun ke IX, Mei 1979, sebagai terjemahan dari ‘het eigenaardig onderwerp der wet’).
Mengingat beragam peristiwa ke belakang, terdapat beberapa produk undang-undang yang digulirkan dan disahkan oleh eksekutif dan legislatif tak sedikit mendapatkan penolakan, kritikan dan kecaman dari banyak kalangan. Tidak hanya menyangkut proses formil yang dianggap tidak melibatkan aspirasi publik, hal itu imbas dari substansi produk undang-undang yang dianggap berpotensi merugikan banyak kalangan.
Seperti misalnya UU Cipta Kerja, UU Minerba, Revisi UU KPK serta Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang hingga saat ini masih terus dibahas terutama terhadap beberapa pasal yang dianggap kontroversial.
Baca juga: 3 (Tiga) Faktor Yang Mempengaruhi Putusan Hakim (Menurut Pemikiran Oliver Wendell Holmes)
Namun seringkali protes, kecaman dan keberatan dari publik tersebut sama sekali tidak diindahkan bahkan seolah diabaikan begitu saja dengan dalih yang sama bahwa semua keberatan tersebut bisa diakomodasi dengan men-judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Dari bagaimana eksekutif maupun legislatif menanggapi kritikan terhadap proses pembetukan maupun substansi yang dituliskan, mereka seolah lupa bahwa selain sebagai bentuk check and balances system, salah satu tiang penyangga utama dalam membangun suatu ekosistem pemerintahan yang ideal ialah dengan membentuk suatu peraturan perundang-undangan yang baik sehingga dalam hal ini jangan sampai publik hanya diposisikan sebagai objek atau sasaran daripada produk hukum yang dibentuk.
Sehingga keadaan tersebut bertentangan dengan ketentuan Pasal 96 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang menjelaskan bahwa masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam setiap tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan.
Baca juga: Analisis Filosofis Terhadap Historikal Pancasila Dalam Sejarah Negara Republik Indonesia
Menggali Normatifitas Asas Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik
Sebagai suatu wacana untuk melaksanakan pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, maka diperlukan suatu rambu-rambu, pedoman atau acuan bagi legislatif maupun eksekutif baik di tingkat daerah maupun di tingkat pusat yakni prinsip atau asas.
Adapun beberapa asas atau prinsip yang mendasari pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik—merujuk pada pendapatnya Var Der Vlies di dalam bukunya yang bertajuk “Het wetsbegrip en beginselen van behoorlijke regelgeving” sebagaimana yang dikutip oleh A. Hamid S. Attamimi terbagi menjadi menjadi asas formil dan materil.
Asas-asas formil meliputi :
- Asas tujuan yang jelas (beginsel van duidelijke doelstelling);
- Asas organ/ lembaga yang tepat (beginsel van het juiste orgaan);
- Asas perlunya pengaturan (het noodzakelijkheids beginsel);
- Asas dapatnya dilaksanakan (het beginsel van uitvoerbaarheid);
- Asas konsensus (het beginsel van consensus).
Sedangan asas-asas materil meliputi :
- Asas tentang terminologi dan sistematika yang benar (het beginsel van duidelijke terminologi en duidelijke systematiek);
- Asas tentang dapat dikenali (het beginsel van de kenbaarheid);
- Asas perlakuan yang sama dalam hukum (het rechtsgelijkeheidsbeginsel);
- Asas kepastian hukum (het rechtszekerheidsbeginsel);
- Asas pelaksanaan hukum sesuai keadaan individual (het beginsel van de individuele rechtsbedeling).
Sebagai suatu landasan hukum berdasarkan Pasal 5 Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-Undang menjelaskan bahwa dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan pada asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, yang meliputi:
- Kejelasan tujuan;
- Kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat;
- Kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan;
- Dapat dilaksanakan;
- Kedayagunaan dan kehasilgunaan;
- Kejelasan rumusan; dan
Kemudian Pasal 6 Ayat (1) di dalam peraturan yang sama dijelaskan pula bahwa materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan asas:
- Pengayoman;
- Kemanusiaan;
- Kebangsaan;
- Kekeluargaan;
- Kenusantaraan;
- Bhinneka tunggal ika;
- Keadilan;
- Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;
- Ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau
- Keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.
Selain dari kedua ketentuan dalam Pasal 5 dan Pasal 6 tersebut, pembentukan peraturan perundang-undangan juga harus berpedoman serta bersumber dan berdasar pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Baca juga: Esensi Keadilan, Belenggu Indonesia Negara Hukum?
Refleksi Pada Legislasi Saat Ini
Membentuk dan merumuskan suatu produk hukum tentu bukanlah pekerjaan yang mudah dan instan untuk dikerjakan, bukan juga tentang membuat aturan tertulis dan diberlakukan semata karena produk hukum tersebut juga akan mengatur, berpengaruh dan berakibat terhadap kehidupan dan nasib seseorang di kemudian hari.
Jadi sudah semestinya beragam pertimbangan dan utilitas produk hukum yang dikeluarkan harus bermanfaat bagi semua pihak, tidak pada pihak yang merasa diuntungkan apalagi produk legislasi titipan. Oleh sebab itu maka beragam pondasi dan pedoman sebagaimana yang telah dikemukakan di muka sudah menjadi suatu imperatif dan pijakan bagi para legislator dalam membentuk suatu peraturan perundang-undangan.
Namun peraturan tetaplah peraturan yang kerap kali diabaikan bahkan cenderung dilanggar. Berkaca dari beberapa produk legislasi yang diwarnai beragam kontroversi, seperti Revisi Undang-Undang KPK, Undang-Undang Minerba dan UU Cipta Kerja yang telah disahkan dan diundangkan pada tahun lalu.
Adanya gejolak sosial berupa demonstrasi dan aksi protes dari beragam kalangan terutama dari kawan-kawan mahasiswa, LSM dan serikat buruh terhadap produk legislasi semestinya menjadi bahan untuk berkaca diri dan mengevaluasi produk hukum yang dihasilkan.
Dari beberapa kasus tersebut terdapat beberapa problem legislasi yang terjadi saat ini, selain minimnya keterlibatan publik dalam beberapa tahapan pembentukan perundang-undangan di DPR, sulitnya akses bagi publik untuk mendapatkan draf dan naskah akademik, ketiadaan poros yang mengakomodasi aspirasi suara publik serta substansi atau materi muatan produk perundang-undangan yang seringkali dianggap dan berpotensi merugikan banyak kalangan. Bahkan selain problem eksternal, faktor formal tidak luput dari persoalan.
Baca juga: Perbedaan Antara Advokat dan Pengacara Menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003
Sikap grasak-grusuk dan kejar target yang dilakukan oleh DPR dan Pemerintah dalam membentuk undang-undang (seperti UU Omnibus Law dan Revisi UU KPK) tentu sama sekali tidak merefleksikan apa yang diperintahkan di dalam Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, sehingga yang dilihat tidak lagi menyangkut pada aspek kualitas produk hukum yang dikeluarkan atau diundangkan, tetapi terpaku dan terperangkap pada aspek kuantitas atau jumlah target produk legislasi yang hendak digolkan baik yang di dalam prolegnas atau pun tidak.
Apabila sikap dan situasi seperti ini terus-menerus dibiarkan bahkan cenderung dinormalisasi sebagai bentuk dari program legislasi, tanpa lagi mengacu pada pedoman yang telah digariskan tentu akan berdampak tidak hanya bagi kinerja DPR yang tidak lagi menjadi lembaga representasi rakyat, juga menjadi catatan buruk bagi demokrasi dan produk hukum yang dihasilkan.