Putusan ‘Tunda Pemilu’
Dalam perspektif negara hukum, putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap (Inkracht) dapat atau bahkan wajib dilaksanakan, sesuai dengan asas res judicata pro veritate habetur yang berarti apa yang diputus hakim harus dianggap benar dan harus dilaksanakan demi terwujudnya kepastian hukum.
Mekanisme tersebut merupakan hal yang biasa dan wajar jika isi putusan sesuai dengan substansi dan berada pada tempatnya. Putusan PN Jakarta No. 757/Pdt.G/2022 banyak menuai kontroversi disebabkan oleh salah satu amar putusannya yang memerintahkan KPU sebagai tergugat untuk melakukan penundaan pelaksaan pemilihan umum. Putusan tersebut bahkan dapat dilaksanakan secara serta merta.
Baca juga: Menelisik Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Benarkah Melanggar Konstitusi?
Menurut Dekan Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia (UKI) Hendri Pandiangan, secara hukum putusan “serta-merta” tersebut mengharuskan KPU melaksanakan putusan PN Jakpus meskipun KPU melakukan upaya hukum.
Belum adanya putusan yang bersifat final dan inkracht sebab putusan tersebut baru di tingkat pertama dan sedang diajukan banding ke tingkat yang lebih tinggi serta adanya alasan nonhukum dan unsur kepentingan publik terkait dengan peran KPU sebagai penyelenggara pemilu menjadi alasan yang masuk akal bagi KPU untuk tidak melaksanakan putusan serta merta tersebut.
Jika dianalisis secara kompherensif. Pertama, PN Jakpus sama sekali tidak berwenang memeriksa, mengadili dan memutus perkara aquo sebab objek gugatan yang berupa perbuatan melanggar hukum (PMH) oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan (Onrechtmatige Overheidsdaad) dalam perkara ini merupakan kewenangan PTUN (Vide Pasal 2 ayat (1) Jo Pasal 10, Pasal 11, & Pasal 45 PERMA No. 2 Tahun 2019) sehingga bukan kewenangan absolut PN Jakpus.
Baca juga: Dimana Ruang Pemuda dalam Penyelenggaraan Pemilu?
Kedua, Putusan PN Jakpus hanya mengikat para pihak (Interparties) berbeda dengan putusan PTUN yang mengikat umum (erga omnes).
Bagaimana jika putusan pengadilan tinggi justru mengabulkan putusan PN Jakpus?. Artinya putusan PN Jakpus yang berisi “penundaan pemilu” wajib dieksekusi. Jika hal ini terjadi maka partai politik yang telah ditetapkan sebagai peserta pemilu 2024 akan melakukan Verzet sebagai pihak yang terpengaruh dari pelaksanaan eksekusi putusan PN Jakpus.
Jika Verzet ditolak dan putusan ini dieksekusi karena ada amar Putusan dapat dijalankan terlebih dahulu secara serta merta dimana pemilu ditunda, maka akan menimbulkan krisis konstitusional (masa jabatan dari pejabat yang diisi melalui pemilu berakhir) dan penyelewengan konstitusi.
Norma dalam konstitusi kita, yaitu Pasal 22E ayat 1 dan 2 UUD 1945 secara tegas menyebutkan bahwa pelaksanaan pemilihan umum dilaksanakan setiap 5 tahun sekali untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden serta DPRD.
Baca juga: Informasi Pemilu 2024
Ketentuan serupa juga disebutkan di dalam Pasal Pasal 167 ayat (1) UU 7/2017 tentang pemilihan umum. Dalam UU Pemilu juga tidak mengenal adanya mekanisme penundaan pemilu, yang ada hanya pemilu susulan dan pemilu lanjutan.
Logical Fallacy Partai Prima
Berdasarkan alur kronologi awal perkara a quo, dapat ditemukan bahwa adanya logical fallacy yang dilakukan partai prima dalam mengajukan gugatan ke PTUN. Dalam UU Pokok Kehakiman dan UU Peradilan TUN dijelaskan bahwa objek sengketa dalam peradilan tata usaha negara adalah Keputusan Tata Usaha Negara (Vide Pasal 1 angka 10 UU PeraTUN) serta Onrechtmatige Overheidsdaad (Vide Pasal 2 ayat 1 Perma No. 2 tahun 2019).
Adapun defenisi KTUN adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. (Vide Pasal 1 angka 9 UU PeraTUN). Jika kita melihat definisi tersebut, maka terdapat 5 (Lima) unsur Keputusan Tata Usaha Negara, yaitu:
-
Penetapan tertulis;
-
Dibuat oleh Pejabat Tata Usaha Negara;
-
Mendasarkan diri kepada peraturan perundang-undangan;
-
Memiliki 3 (tiga) sifat tertentu (konkrit, individual dan final).
-
Menimbulkan akibat hukum bagi perorangan maupun badan hukum perdata.
Dalam perkara a quo, yang menjadi kesalahan partai prima adalah keliru dalam memilih objek gugatan, partai prima menggugat Berita Acara Hasil Verifikasi Administrasi ke Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta yang berujung ditolak melalui proses dismissal, sebab dalam konteks KTUN secara umum, berita acara (BA) tidak memenuhi salah unsur yang disebutkan dalam Pasal 1 angka 9 UU PeraTUN.
Berita Acara belum bersifat final sehingga tidak tergolong sebagai Keputusan Tata Usaha Negara, kemudian dalam konteks pemilu, yang menjadi objek dalam sengketa proses pemilu melalui peradilan tata usaha negara adalah Keputusan KPU tentang penetapan parpol peserta Pemilu bukan suatu berita acara (vide Pasal 470 UU Pemilu).
Baca juga: Dugaan Korupsi Diskoperindag Sumenep, Formaka Gelar Unjuk Rasa
Berdasarkan dasar hukum tersebut Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta mengeluarkan penetapan dismissal yang pada pokoknya menyatakan PTUN Jakarta tidak berwenang untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara a quo. Atas dasar penolakan itu partai prima kemudian melanjutkan perkara a quo ke PN Jakarta Pusat.
Seharusnya yang dilakukan oleh partai prima adalah melakukan perlawanan terhadap penetapan dismisal yang dikeluarkan oleh PTUN Jakarta (Vide Pasal 62 ayat 3 UU PeraTUN) dengan mengubah objek gugatan, yaitu Keputusan Final KPU ataupun Perbuatan Melawan Hukum (PMH) yang dilakukan KPU, karena kedua objek sengketa ini merupakan kewenangan absolut Peradilan Tata Usaha Negara (Vide Pasal 466 Jo Pasal 470 UU Pemilu jo Pasal 2 Perma no 2/2019).
Penulis
Muhammad Robi, Mahasiswa HTN/HAN Fakultas Hukum Universitas Bengkulu.