Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanggal 2 Maret 2023, antara Partai Prima sebagai penggugat dan KPU sebagai Tergugat menarik perhatian publik. Lantaran, putusan tersebut berisi perintah kepada Terugagat (KPU RI) untuk tidak melaksakan sisa tahapan Pemilu 2024 serta mengulang kembali tahapan pemilu dari awal selama lebih kurang 2 tahun 4 bulan 7 hari.
Padahal, penundaan pemilu hanya bisa terjadi melalui tiga mekanisme, sebagaimana pandangan Prof Yusril Ihza Mahendra, yaitu Amandemen Undang-Undang Dasar 1945, Dekrit Presiden, dan Konvensi Ketatanegaraan. Tentu putusan tersebut menjadi tanda tanya besar, apakah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memiliki kewenangan menunda pemilu?
Tanpa mengurangi rasa hormat kepada majelis hakim dalam perkara a quo juga terhadap produk hukum yang dihasilkan, penulis akan mencoba memberikan pandangan secara objektif dan terukur.
Pertama, telah diatur secara tegas dalam konstitusi bahwa pemilu diselenggarakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali. Konstitusi disebut juga staatsfundamentalnorm dalam pandangan Hans Nawiasky memiliki kedudukan tertinggi dalam norma hukum. Sebagai konsekuensi putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak boleh bertentangan dengan ketentuan di atas, hal ini merupakan bagian dari karakteristik peran hakim dalam sistem hukum civil law yang dianut Indonesia, yakni seorang hakim terikat undang-undang dalam memutus perkaranya.
Baca juga: PN Jakarta Pusat Putuskan Tunda Pemilu 2024, Jelas Inkonstitusional
Kedua, merupakan kewajiban yang diberikan Undang-Undang agar KPU menyelenggarakan semua tahapan pemilu tepat waktu, sebagaimana termaktub dalam Pasal 14 Undang-Undang Nomor 07 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum. Secara eksplisit putusan pada perkara nomor 757/pdt.G/2022/PNJkt.Pst ini memerintahkan sesuatu yang bertolak belakang, ditambah lagi bertentangan dengan prinsip dalam penyelenyegaraan pemilu, diantaranya kepastian hukum, efektif, dan efisien. Padahal Pasal 25 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman menegaskan bahwa Peradilan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pidana dan perdata sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ketiga, point pertama dan kedua telah mengurai berkaitan dengan substansi putusan, maka pada point terakhir ini penulis akan mengurai berkaitan dengan kompetensi absolut Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam memutus perkara a quo. Kompetensi absolut Pengadilan Negeri ialah memeriksa, mengadili, memutuskan, dan menyelesaikan perkara pidana dan perdata pada tingkat pertama. Pada perkara Partai Prima melawan KPU diajukan sebagai perkara perdata, berkenaan dengan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) yang dilakukan oleh KPU, selain diperintahkan menunda pemilu, KPU juga perintahkan untuk mengganti kerugian materiil sebesar Rp500 juta kepada Partai Prima.
Sebagaimana dijelaskan di Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu menyebutkan bahwa persoalan pelanggaran dan sengketa itu berbeda. Jika pelanggaran, berarti urusannya dengan pelanggaran administratif dari tata cara, prosedur atau mekanisme, itu di atur jelas di dalam Pasal 460 ayat (1) UU Pemilu yang berarti wilayahnya Bawaslu, PN, dan MA. Jika terjadi pelanggaran Kode Etik berarti kewenangan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) untuk mengadili sebagaimana diatur dalam Pasal 456 UU Pemilu. Jika terjadi Sengketa berarti wilayah Bawaslu, PTUN, dan MK sebagaimana diatur dalam Pasal 476 ayat (1), Pasal 481 ayat (1), Pasal 466, dan Pasal 472 ayat (1) UU Pemilu. Jadi kewenangan Pengadilan Negeri (PN) hanya untuk masalah pelanggaran Pemilu yang berurusan dengan tata cara, prosedur, atau mekanisme yang berhubungan dengan administratif. Tapi jika ada sengketa proses pemilu yang berurusan dengan peserta pemilu dan penyelenggara pemilu hingga dikeluarkan keputusan KPU seperti di atur dalam Pasal 466 UU Pemilu, maka itu wilayah Bawaslu, PTUN, dan MK.
Baca juga: Sistem Peradilan di Indonesia
Mahfum kita ketahui asas Lex Specialis Derogat Legi Generali, yang artinya hukum yang khusus mengesampingkan hukum yang umum. Mengelaborasi dari asas di atas, barangkali yang menjadi penyebab kegaduhan atas putusan PN Jakart Pusat ialah kurangnya pemahaman, bahwa dalam kasus khusus tertentu, juga terdapat lembaga pengadilan khusus yang berwenang mengadili hingga memutusnya. Toh, meskipun substansi persoalannya sedikat banyak dirasa sebagai bagian dari kewenangannya.
Pasal 89 Undang-Undang Nomor 07 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum menyatakan bahwa pengawasan penyelenggaraan pemilu dilakukan oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), segala pelanggaran dan sengketa proses pemilu dilakukan oleh Bawaslu. Ketentuan ini sudah jelas menggugurkan anggapan bahwa Pengadilan Negeri Jakart Pusat memiliki wewenang untuk memutus perkara a quo, analisis penulis juga sejalan dengan pendapat Ahli Hukum Tata Negara, Prof. Mahfud MD, menurut beliau kompetensi atas sengketa pemilu bukan di Pengadilan Negeri, sengketa sebelum pencoblosan berkaitan dengan proses administrasi yang memutus ialah Bawaslu, dan jika soal keputusan kepesertaan paling jauh hanya bisa digugat ke Pengadilan Pengadilan Tata Usaha Negara.
Secara teori, disediakan upaya selanjutnya jika putusan pengadilan tingkat pertama dianggap tidak memiliki nilai-nilai dan prinsip keadilan dan kepastian. Maka, sudah tepat KPU menyatakan sikap terhadap putusan tersebut dengan upaya hukum banding, KPU akan melawan secara yuridis bahwa putusan tersebut salah kaprah dan nyasar. Namun, bagi penulis berpendapat lain bahwa putusan yang keliru karena bukan kewenangannya tidak perlu dihormati dan dijalankan, putusan tersebut dengan sendirinya batal demi hukum.
Maka dari itu, sebagai sumbangsi pemikiran dan ide sehat atas persoalan yang mencuat akhir-akhir ini, perihal putusan proses penundaan pemilu 2024, harapannya dapat menjadi bagian pengaya resolusi dalam hukum di Indonesia kedepan.