Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat mengabulkan gugatan Partai Rakyat Adil Makmur (Prima) sebagai penggugat melawan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai tergugat.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (LBH PB PMII), Muhammad Qusyairi menilai bahwa Pengadilan Negeri perlu memahami kerangka Penegakan Hukum tentang masalah Pemilu sebelum mengadili urusan sengketa pemilu, jika tidak paham kerangka penegakan hukumnya bisa fatal. Selasa (7/3/2023)
“Inti dari gugatan tersebut adalah Perbuatan Melawan Hukum (PMH) yang bersifat perdata, tapi kenapa sekarang bisa berubah jadi urusan administrasi dan konsumsi publik, ini jelas bertentangan dengan prinsip dasar konstitusi,” ujar Kuri (sapaan akrabnya).
Kata dia, Partai Prima sudah pernah mengajukan gugatan ke PTUN namun ditolak, akhirnya mengajukan gugatan perdata perbuatan melawan hukum (PMH) ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat lalu dikabulkan dengan amar putusan yang cukup aneh dan membingungkan.
“Saya jadi bertanya-tanya, kalau dibilang hakim tidak mengerti hukum, enggak juga, mereka pasti lebih faham dari kita soal hukum, perihal sengketa proses pemilu jelas bukan kewenangan Pengadilan Negeri, lalu kenapa putusannya sangat berlebihan dan menjadikan ruang publik heboh membicarakan ini, jelas ini putusan yang keliru,” Ucap dia.
Ia menilai, amar putusan pada point 5 cukup fatal, implikasinya terhadap masyarakat secara umum yang juga terdampak dari putusan ini, mestinya gugatan PMH itu orang yang merasa dirugikan sendiri.
Baca juga: Sistem Peradilan di Indonesia
Lebih lanjut, Gugatan tersebut diputuskan oleh PN Jakarta Pusat pada nomor register perkara 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst. Yang dipimpin oleh 3 (Tiga) orang hakim, diantara: T. Oyong, S.H., M.H. sebagai Hakim Ketua, H. Bakri, S.H., M. Hum, dan Dominggus Silaban, S.H., M.H, masing-masing sebagai hakim aggota. Gugatan tersebut diajukan oleh Partai Prima pada tanggal 8 Desember 2022 dan diputuskan pada Hari Kamis, tanggal 2 Maret 2023.
“Akibat dari putusan ini memberi dampak negatif pada keberlangsungan pesta demokrasi mendatang, sebabnya adalah putusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat memerintahkan dalam putusannya menunda pemilu sampai 2025,” tegas Kuri.
Kuri berharap KPU terus melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai lembaga pelaksana pemilu dan berpegang teguh pada konstitusi sebagai pedoman berberbangsa dan bernegara, langkah KPU melakukan upaya hukum banding sudah tepat secara hukum.
“KPU secara resmi dan tegas sudah melakukan upaya hukum banding, itu artinya KPU melawan dan menguji keabsahan atas putusan PN Jakpus secara yuridis di Pengadilan Tinggi nanti karena bukan yurisdiksinya memutuskan perkara pemilu” tutup Kuri.
Kritik Terhadap Putusan PN Jakarta Pusat
Sebagaimana mafhum, pengadilan adalah lembaga untuk semua orang yang mendambakan keadilan dan kepastian hukum tanpa pandang latar belakang, yang sudah menjadi barang tentu orang-orang didalamnya faham tentang dogma hukum dan keadilan yang semestinya. Menyoal kasus yang menghebohkan publik hari ini bahwa Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat sangat tidak masuk akal, tidak objektif dan terlihat tidak faham terhadap duduk perkara, sehingga proses pelaksanaan pemilu diputuskan untuk ditunda, itu sama halnya dengan menghina dan mengakali konstitusi.
Atas pertimbangan tersebut, sehingga hakim lupa bahwa implikasi dari putusan tersebut akan berpengaruh pada kondisi masyarakat indonesia secara nasional. Pada prinsipnya gugatan yang dilayangkan Partai Prima adalah gugatan perdata yaitu perbuatan melawan hukum (PMH) biasa.
Baca juga: LBH PB PMII Dukung Polri Tuntaskan Kasus Penganiayaan David
Gugatan yang diajukan oleh Partai Prima adalah gugatan perdata yaitu perbuatan melawan hukum (PMH). Jadi. Secara khusus yang bersengketa hanya kedua belah pihak, yaitu antara Penggugat (Partai Prima) dan Tergugat (KPU). Sehingga, putusanpun hanya berlaku dan mengikat bagi penggugat dan tergugat saja, tidak dapat mengikat kepada pihak lain. Tetapi, kenyataannya gugatan tersebut dikabulkan dengan menunda proses pemilu 2024 yang bukan wilayah Pengadilan Negeri, itu jelas pelanggaran dan menghina konstitusi.
Putusan Majelis Hakim pada Perkara Nomor 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst, secara langsung maupun tidak langsung berimplikasi tidak hanya kepada KPU dan Partai Prima saja, tetapi juga berimbas terhadap proses pelaksanaan Pemilu, Partai Politik Lain dan Warga Negara Indonesia secara umum. Jika memang benar majelis berpendapat bahwa gugatan Partai Prima beralasan hukum, maka KPU mestinya dihukum untuk melakukan verifikasi ulang terhadap Partai Prima, bukan harus mengganggu tahapan pelaksanaan Pemilu 2024. Terlihat bahwa putusan tersebut berlebihan, ntah hakim tidak faham soal duduk perkara tersebut atau tidak.
Pemilu sebagai sarana perwujudan kedaulatan rakyat untuk menghasilkan wakil rakyat dan pemerintahan negara yang demokratis berdasarkan pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Oleh karena itu, Menunda pemilu sama saja menghalangi terwujudnya hak-hak konstitusional rakyat indonesia untuk ikut serta dalam menentukan nasib bangsa ini kedepan, sebagaimana yang telah ditentukan Pasal 22E ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 bahwa “Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali”.
Walaupun sejauh ini kita mengenal ada asas Res Judicata Pro Veritate Habetur atau harus menganggap benar semua yang diputuskan pengadilan, maka tidak cukup bagi KPU untuk sekedar melakukan upaya hukum banding biasa, karena sudah menimbulkan reaksi dan riuh diruang publik indonesia, semua kalangan dari praktisi hukum, aktivis, hingga tukang becak memperbincangkan itu.
Lebih dari itu, putusan ini tidak perlu dihormati dan tidak perlu dijalankan, sebab bukan kewenangan pengadilan negeri untuk memutuskan sengketa pemilu, melainkan kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tersebut melampaui kewenangan pengadilan lainnya (Ultra Vires Judgment) dan seharusnya putusannya batal demi hukum.