Kasus penyadapan yang dilakukan oleh Australia terhadap pejabat tinggi Indonesia pada tahun 2013 telah memicu kontroversi dan ketegangan dalam hubungan bilateral antara kedua negara. Kasus ini tidak hanya menyangkut masalah keamanan nasional, tetapi juga melibatkan pelanggaran hukum internasional dan hak asasi manusia. Artikel ini akan menganalisis perlindungan negara terhadap keamanan nasional Indonesia dari perspektif hukum internasional, dengan mengambil kasus penyadapan oleh Australia sebagai studi.
Pada tahun 2013, mantan kontraktor NSA Amerika Serikat, Edward Snowden, membocorkan dokumen rahasia yang menunjukkan bahwa Australia, melalui Australia Signals Directorate (ASD), telah melakukan penyadapan terhadap beberapa pejabat tinggi Indonesia, termasuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Ibu Negara Kristian Herawati Yudhoyono, dan beberapa menteri serta juru bicara kepresidenan.
Baca juga: Sistem Noken dalam Pilkada: Definisi dan Penerapannya di Indonesia
Teknik penyadapan yang digunakan melibatkan panggilan siluman dan pendataan ponsel target yang menggunakan jaringan sinyal 3G. Ini menimbulkan kekhawatiran serius tentang keamanan informasi dan privasi di Indonesia.
Respons Indonesia
Menghadapi kasus penyadapan ini, Pemerintah Indonesia melakukan sejumlah protes dan tindakan diplomatik. Indonesia meminta klarifikasi dan permohonan maaf dari Australia, namun permintaan ini ditolak oleh pemerintah Australia yang berdalih bahwa penyadapan adalah praktik yang umum dilakukan oleh negara-negara di dunia.
Indonesia kemudian mengambil langkah lebih keras, termasuk menarik pulang Duta Besar Indonesia untuk Australia selama enam bulan, memanggil Duta Besar Australia untuk Indonesia, dan memutus serta mengkaji ulang semua kerjasama bilateral di bidang keamanan informasi dan intelijen1.
Pelanggaran Hukum Internasional
Kasus penyadapan ini jelas merupakan pelanggaran hukum internasional. Australia telah melanggar prinsip kedaulatan dan keamanan informasi negara Indonesia. Dalam hukum internasional, penyadapan tanpa izin merupakan pelanggaran hak asasi manusia, terutama hak atas privasi yang diatur dalam Universal Declaration of Human Rights (UDHR) 1948, International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) 1966, dan Konvensi Eropa untuk Perlindungan Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Fundamental (1958).
Selain itu, penyadapan juga melanggar hukum nasional Indonesia, seperti Undang-Undang No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi dan Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Jika Australia bekerja sama dengan operator jaringan telekomunikasi, tindakan ini bisa ditindak secara pidana sesuai dengan kaidah hukum yang berlaku.
Dampak terhadap Hubungan Bilateral
Kasus penyadapan ini telah merusak hubungan bilateral antara Indonesia dan Australia. Tindakan Australia dianggap sebagai pelanggaran kode etik diplomatik dan melecehkan kedaulatan Indonesia. Hal ini tidak hanya mempengaruhi kerjasama di bidang keamanan dan intelijen, tetapi juga potensial mengganggu kerjasama lain seperti penanganan penyelundupan orang dan kerjasama militer.
Baca juga: PENGAKUAN NEGARA DALAM HUKUM INTERNASIONAL
Implikasi Hukum dan Diplomatik
Dalam konteks hukum internasional, penyadapan oleh Australia tidak dapat dianggap sebagai kejahatan yang dapat dituntut di pengadilan internasional, melainkan lebih sebagai pelanggaran kode etik diplomatik. Namun, ini tidak mengurangi keseriusan pelanggaran yang dilakukan. Indonesia berhak melaporkan tindakan Australia kepada Mahkamah Internasional PBB jika dianggap perlu.
Tanggung Jawab Negara Indonesia dalam Menangani Penyadapan oleh Australia
Badan intelijen Australia berdasarkan info yang di bocorkan oleh Edward Snowden telah melakukan penyadapan komunikasi melalui telepon terhadap Presiden Indonesia Bapak Yudhono selama 15 hari pad abulan Agustus 2009. Dokumen rahasia milik Badan Intelijen Australia (Australia Signals Directorate),memperlihatkan adanya aktifitas yang terencana dalam waktu yang cukup Panjang dan berkelanjutan untuk memonitor aktifitas telepon Presiden Republik Indonesia. Selain Presiden Indonesia,penyadapan ini juga dilakukan terhadap Ibu Negara, Mantan Wakil Presiden Yusuf Kalla, dan sejumlah Menteri di kabinet.
Disebutkan kemudian penyadapan tersebut dilakukan di Kedutaan Australia di Indonesia, dan ada empat provider telekomunikasi di Indonesia yang ikut terlibat, yaitu Excelcomindo (XL), Telkomsel, Indosat dan Hutchison 3G. Dokumen rahasia ini dibocorkan melalui stasiun televisi Australia Broadcasting ing Corporation (ABC) dan surat kabar Guardian pada bulan November 2013.
Informasi terbaru seperti ini menunjukkan untuk pertama kalinya sejauh mana penyadapan Australia terhadap Pemerintahan Indonesia. Dokumen tersebut juga menyebutkan Australia dan Amerika Serikat melakukan pengumpulan data nomor telepon dari pejabat Indonesia pada saat berlangsungnya Bali Climate Change Summit, dan juga disebutkan fasilitas Kerjasama Intelijen Indonesia dan Australia pada suatu daerah Bernama Pine Glap (Australia).
Tanggung jawab negara dalam Hukum Internasional adalah suatu prinsip bahwa negara bertanggung jawab karena Tindakan kelalaian organ-organ pemerintahan negaranya seperti organ Nasional, Provinsi, dan Daerah. Tindakan ini sudah disebutkan secara tegas dan diakui dalam Keputusan pengadilan Internasional dan praktek antar Negara.
Penyadapan yang dilakukan oleh Australia termasuk kedalam pelanggaran hukum Internasional yang menimbulkan tanggung jawab Negara dalam hal kewajiban suatu Negara untuk mengatasi persoalan-persoalan pelanggaran yang menyebabkan kerugian pada subjek hukum Internasional. Untuk itu Indonesia dapat mengajukan permohonan pertanggung jawaban kepada International Court of Justice terhadap Australia.
Kasus penyadapan yang dilakukan oleh Australia terhadap pejabat tinggi Indonesia menunjukkan betapa rentannya keamanan nasional dan privasi dalam era teknologi informasi yang maju. Dari perspektif hukum internasional, tindakan ini merupakan pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia dan kedaulatan negara.
Indonesia harus terus meningkatkan kemampuan dalam melindungi keamanan informasi dan privasi warganya, serta memperkuat kerangka hukum nasional dan internasional untuk mencegah kasus serupa di masa depan. Hubungan bilateral dengan Australia juga perlu diperbaiki melalui diplomasi yang lebih transparan dan saling menghormati.
Dalam menghadapi tantangan global ini, negara-negara harus bekerja sama untuk mengembangkan standar hukum internasional yang lebih kuat dan efektif dalam melindungi keamanan nasional dan hak asasi manusia.