Keadilan, sebagai hak asasi manusia, menjadi pangkal perjuangan setiap individu yang mengalami ketidakadilan dalam kehidupan. Hal itu, dialami oleh masyarakat petani di Urutsewu, Kebumen, Jawa Tengah. Masyarakat terus merasakan ketidakadilan dalam konflik agraria yang terus dialaminya yang melibatkan oknum aparat TNI-AD dengan Para Petani masyarakat setempat. Konflik agraria terus berlanjut, menimbulkan korban dan merusak ekonomi ratusan petani di wilayah setempat.
Konflik Agraria dan Dampaknya di Urutsewu
Konflik agraria di Urutsewu, bermula sejak 1997 yang melibatkan oknum TNI AD dan para petani, peristiwa tersebut belum menemukan titik terang hingga saat ini. Konflik ini bermula ketika sejak tahun 1972, ketika para TNI masuk ke dalam wilayah Urutsewu dan melakukan perjanjian tidak tertulis secara sepihak untuk melakukan peminjaman tempat dan tidak melibatkan persetujuan warga setempat terhadap perjanjian tempat tersebut di desa-desa Kecamatan Ambal.
Setelah peristiwa tersebut terdapat peristiwa pilu yang terjadi pada tahun 1997, yaitu terdapat peristiwa adanya ledakan mortir bekas sisa latihan TNI AD yang menyebabkan 5 anak-anak yang menjadi korban jiwa di Desa Sterojenar dan tidak hanya itu terdapat puluhan petani di Urutsewu yang harus menghadapi kehilangan lahan pertanian yang telah mereka kelola sejak tahun 1956, berdasarkan surat perjanjian jual-beli tanah pesisir Urutsewu dengan sistem Galur Larak.
Baca juga: Pendaftaran Tanah Ulayat: Perlindungan Hukum dan Implikasi Sosial bagi Masyarakat Adat di Indonesia
Kisah Pilu Ghiyats: Hak yang Dirampas dan Ancaman Nyawa
Ghiyats, seorang petani berusia 50 tahun, merasakan pilunya konflik agraria di Urutsewu. Lahan pertanian yang diwariskan dari generasi ke generasi lenyap karena sabotase oknum tertentu. Dalam percakapan dengan kami, Ghiyats mengungkapkan betapa sulitnya menerima kenyataan tersebut, ditambah lagi dengan adanya peristiwa peluru salah sasaran dari latihan TNI AD yang mengenai lahan pertaniannya.
Kisah tragis ini tidak hanya merugikan secara materiil, tetapi juga memberikan dampak traumatis, terutama pada istri Ghiyats akibat dari kejadian tersebut. Selama sebulan, istri Ghiyats mengalami traumatis yang signifikan dan enggan melakukan aktivitas di luar rumah. Hal tersebut tentunya menghambat aktivitas perkebunan mereka dan menyebabkan kerugian baik secara finansial maupun emosional.
Panggilan untuk Keadilan
Meskipun peristiwa tersebut telah terjadi puluhan tahun yang lalu, konflik agraria di Urutsewu masih menghantui masyarakat. Para petani, termasuk Ghiyats, terus menuntut keadilan dan pemulihan hak-hak mereka yang dirampas. Panggilan untuk penyelesaian konflik agraria yang adil dan perdamaian diharapkan dapat memberikan solusi yang memuaskan bagi seluruh pihak yang terlibat.
Konflik agraria di Urutsewu adalah cerminan betapa pentingnya menemukan solusi yang adil dan berkelanjutan untuk mendukung kehidupan masyarakat lokal. Keadilan yang selama ini terus diharapkan, harus segera merangkul Urutsewu untuk menyembuhkan luka dan membangun masa depan yang lebih baik. Berbagai cara telah ditempuh dalam memperoleh keadilan baik melalui mekanisme formal ataupun informal, namun hal tersebut tidak terselesaikan hingga saat ini.
Baca juga: Reformasi Hukum di Indonesia: Langkah Tepat Menghadirkan Keadilan
Di tengah permasalahan konflik agraria yang membelit Urutsewu, Kebumen, Jawa Tengah. Harapan masyarakat terutama dimasa periode pergantian pemerintah memiliki harapan untuk periode pemerintahan selanjutnya untuk dapat mengatasi permasalahan ketidakadilan yang telah lama dirasakan oleh warga setempat.
Konflik ini telah berlangsung selama bertahun-tahun, menuntut langkah konkret dan solusi yang adil agar warga Urutsewu dapat kembali merasakan keadilan dalam kepemilikan tanah dan hak-hak mereka yang dirampas.