PINTER HUKUM
#1 Platform for Legal Education and Consulting • Penyedia Layanan Jasa Hukum Terlengkap dan Terpercaya di Indonesia
Opini  

Pendaftaran Tanah Ulayat: Perlindungan Hukum dan Implikasi Sosial bagi Masyarakat Adat di Indonesia

Tanah Ulayat

Pendaftaran Tanah

Pendaftaran tanah ulayat menjadi sebuah idealisme baru dalam konstitusional Indonesia. Dalam pasal 19 ayat 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Undang-Undang Pokok Agraria dinyatakan bahwa tujuan dari pendaftaran tanah adalah bentuk jaminan kepastian hukum dari pemerintah untuk setiap wilayah di Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Kepastian hukum tersebut merupakan wujud dari kepastian hukum dalam aspek keperdataan sebagai hak kebendaan terhadap benda tetap yang dalam penguasaannya (bezit) harus memerlukan bukti dalam bentuk tertulis sebagai penguasanya.

Oleh karena itu pendaftaran tanah menjadi hal yang diperlukan untuk kepastian hukum. Hal ini tidak serupa dengan kepastian terhadap benda yang bergerak dimana bukti penguasaannya langsung melekat kepada orang yang menggunakan atau menguasai benda tersebut.

Baca juga: Hak dan Perlindungan Tanah Adat di Indonesia

Tanah Ulayat

Pendaftaran tanah ulayat menjadi sebuah idealisme baru dalam konstitusional Indonesia. Pendaftaran tanah ulayat merupakan isu yang memiliki implikasi sosial dan hukum yang signifikan. Tanah ulayat selain sebagai aset yang berharga, juga memiliki nilai budaya dan sejarah yang tinggi bagi komunitas adat atau masyarakat setempat.

Proses pendaftaran tanah ulayat merupakan upaya untuk memberikan pengakuan hukum terhadap hak kepemilikan tanah ini dan melindungi hak-hak tradisional yang melekat padanya. Namun, dalam beberapa kasus, proses ini juga menjadi sumber konflik dan ketegangan antara komunitas adat, pemerintah, dan pihak ketiga yang tertarik pada tanah tersebut.

Menurut Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah terdapat enam entitas tanah yang menjadi objek pendaftaran tanah. Dari keterangan tersebut tanah ulayat bukanlah bagian dari entittas tanah yang menjadi objek pendaftaran tanah. Terhadap keberadaan Peraturan Pemerintah tersebut timbul suatu tanda tanya bagaimana dengan kepastian hukum tanah ulayat.

Pasca terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah, entitas tanah ulayat menjadi perhatian khusus di dalam muatan peraturan pemerintah tersebut.

Hal ini didasarkan pada Pasal 4 PP 18 Tahun 2021 telah dinyatakan bahwa Hak Pengelolaan (HPL) dapat berasal dari tanah negara dan tanah ulayat. Tentunya dalam pasal ini telah memberikan jawaban atas kepastian hukum dalam penatausahaan tanah ulayat itu sendiri.

Menurut Pasal 5 ayat (2) PP 18 Tahun 2021 memberikan gagasan bahwasannya Hak Pengelolaan (HPL) dapat berasal dari tanah ulayat yang ditetapkan kepada masyarakat hukum adat. Konsep tersebut tentu merupakan idealisme baru yang menjadi muatan dalam norma Peraturan Perundang-Undangan Indonesia.

Belajar dari kasus PT. Anam Koto dengan masyarakat Nagari Aia Gadang terkait dengan lahan perkebunan sawit yang telah mendapatkan HGU untuk PT. Anam Koto tersebut. Senada dengan pendapat dari Nagari Institute yang mengatakan bahwa awal mulanya masuk investasi sawit tersebut terjadi karena adanya intimidasi kepada niniak mamak yang menyebabkan tanah tersebut disepakati menjadi Hak Guna Usaha (HGU).

Melalui mekanisme tersebut tentunya masyarakat Nagari Aia Gadang akan kehilangan haknya atas tanah tersebut karena dalam Pasal 17 Ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai Atas Tanah (PP 40/1996) menegaskan bahwa hapusnya HGU atau berakhirnya masa HGU maka tanahnya akan menjadi tanah negara. Hal ini tentu akan sangat merugikan masyarakat adat.

Selanjutnya dalam Pasal 15 ayat (3) dinyatakan bahwa hapusnya HPL diatas tanah ulayat mengakibatkan tanahnya kembali dalam penguasaan masyarakat hukum adat. Hal ini menjadi solusi dalam mekanisme untuk menjaga penguasaan tanah ulayat bagi masyarakat hukum adat itu sendiri.

Dengan mekanisme ini, kepastian hukum terhadap tanah ulayat menjadi lebih kuat, karena komunitas adat dapat yakin bahwa tanah yang telah lama mereka kelola dan manfaatkan tidak akan berpindah kepemilikan secara sembarangan. Ini memberikan landasan hukum yang lebih jelas dan perlindungan yang lebih baik terhadap hak-hak komunitas adat.

Tentunya dengan hal tersebut akan meminimalisir kasus seperti PT. Anam Koto yang menyebabkan masyarakat hukum adat kehilangan penguasaan terhadap tanah ulayatnya.

Baca juga: Tanah Terlantar Dilihat dari Hukum Agraria

Dalam sudut pandang yang berbeda mengenai pendaftaran tanah ulayat ini menjadi suatu proses individualisasi dari tanah ulayat itu sendiri. Jika melihat dari teori van vallehoven, beliau menyatakan bahwa hak ulayat (beschikingsrecht) sebagai hak yang mandiri.

Maksudnya hak yang mandiri tersebut di implementasikan dalam tanah ulayat bahwa dalam pengelolaannya untuk kemanfaatan kepada Masyarakat adat cukup didasarkan pada hukum adat saja. Pernyataan ini juga didorong dengan adanya sebuah pepatah “adat salingka nagari”.

Pada pokoknya pepatah tersebut diartikan bahwa pengaturan tanah ulayat diatur dalam sistem yang berlaku di ruang lingkup nagari.

Secara konsep, pendaftaran tanah ulayat adalah langkah penting menuju perlindungan hukum yang lebih baik terhadap hak-hak komunitas adat dan aset berharga mereka. Dengan kerja sama yang baik antara komunitas adat, pemerintah, dan pihak ketiga, proses ini dapat berjalan dengan lancar dan memberikan manfaat yang signifikan bagi semua pihak yang terlibat.

Dalam konteks yang tepat, pendaftaran tanah ulayat dapat menjadi salah satu langkah menuju peningkatan perlindungan hukum dan pemajuan hak asasi manusia di wilayah-wilayah yang melibatkan tanah ulayat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *