Latar Belakang
Negara sebagai sebuah kesatuan yang mengikat memiliki unsur-unsur yang harus dipenuhi agar idealita negara dapat menjadi realita. Unsur-unsur tersebut yaitu: (i) populasi, (ii) pemerintahan, (iii) teritorial yang jelas, dan (iv) kedaulatan.
Dari keempat unsur sebuah negara tersebut ada satu yang menjadi perdebatan pra dan pasca Konvensi Montevideo pada tahun 1993, yaitu kedaulatan atau sovereignty.
Persoalan yang sering menjadi perdebatan adalah jenis kedaulatan seperti apa yang menjadi unsur dalam sebuah negara, apakah kedaulatan ke dalam ataukah ke luar.
Pertanyaan sederhana dan radikal ini jika didekonstruksi akan ditemukan pertanyaan yang jauh lebih radikal, yaitu dari mana sumber kedaulatan tersebut. Tanpa eksisnya sumber diperolehnya kedaulatan, maka kedaulatan tersebut tidak akan pernah eksis.
Logika sederhana menyatakan bahwa tanpa sumber yang absah atau legitimate maka apa pun yang dihasilkan darinya dipertanyakan keabsahan atau legitimasinya. Dalam tulisan ini akan dibahas bagaimana suatu kedaulatan itu mendapatkan legitimasinya dan sejauh mana legitimasi yang didapatkan tersebut.
Baca juga: Negara Kekuasaan (Machtstaat)
Pendekatan yang digunakan dalam makalah ini adalah pendekatan etika politik yang digagas oleh Franz Magnis-Suseno dan juga sekilas pendekatan hukum positif yang digagas oleh Hans Kelsen.
Definisi Legitimasi dan Kekuasaan Negara
Kata “legitimasi” berasal dari kata Latin lex, hukum. Dalam Oxford Learner’s Dictionary dijelaskan bahwa terminologi legitimasi adalah “allowed and acceptable according to the law”, sesuatu yang diberikan izin dan dapat diterima berdasarkan hukum.
Menurut A.M. Lipset, legitimasi dari sudut pandang hukum adalah keabsahan, sehingga setiap tindakan yang legitimate harus ditaati. Legitimasi pada prinsipnya adalah kekuatan penguasa yang diterima dari rakyatnya.
Dalam teori legitimasi ini, subjek yang memberikan legitimasi, yaitu rakyat, juga disebut sebagai subjek yang menerima manfaat atas legitimasi tersebut. Jadi dalam teori legitimasi ini, kepentingan rakyat ditempatkan di atas segala-galanya.
Definisi kekuasaan, dari perspektif ilmu politik, adalah kemampuan memengaruhi orang lain bila perlu dengan menggunakan paksaan. Definisi ini menggambarkan kekuasaan yang dimiliki negara itu bersifat absolut dan jika diperlukan dapat bersifat represif. Sementara dari perspektif yuridis, definisi kekuasaan itu bersifat relatif.
Kekuasaan dalam perspektif ini diartikan sebagai kedaulatan. Kedaulatan yang dimiliki oleh negara mengalami limitasi eksternal dan internal. Limitasi eksternal adalah implikasi dari perjanjian dan hubungan internasional yang mengikat setiap negara. Limitasi internal adalah implikasi dari dianutnya paham negara hukum (rechtstaat) di mana setiap tindakan negara harus berdasarkan hukum.
Objek Legitimasi
Franz Magnis Suseno membagi objek legitimasi menjadi dua bagian yaitu legitimasi materi wewenang dan legitimasi subjek wewenang. Perbedaan fundamental antara kedua bentuk legitimasi tersebut adalah sebagai berikut:
- Legitimasi Materi Wewenang
Optik yang digunakan dalam pembahasan legitimasi materi wewenang ini difokuskan pada substansi atau isi wewenang itu sendiri. Legitimasi jenis ini memotret wewenang dari segi tujuan dan batasan yang digunakan.
Tujuan wewenang yaitu sejauh mana wewenang ini dapat dipergunakan dengan sah. Tanpa batasan tujuan yang jelas, maka tidak menutup kemungkinan kekuasaan atau wewenang tersebut akan melakukan intervensi yang terlalu jauh terhadap kehidupan manusia.
- Legitimasi Subjek Wewenang
Optik yang digunakan dalam pembahasan legitimasi subjek wewenang ini difokuskan pada subjek yang menyandang wewenang tersebut. Legitimasi ini memotret wewenang dari mana subjek wewenang mendapatkan basis legitimasi wewenang tersebut. Legitimasi subjek wewenang ini memiliki tiga bentuk yaitu : legitimasi religius, legitimasi elite, dan legitimasi demokratis.
- Legitimasi religius
Legitimasi ini menggunakan kekuatan adiduniawi sebagai basis legitimasi wewenangnya. Basis yang bersandar pada kekuatan transendental ini tidak membuka peluang untuk digugat legitimasi wewenangnya. Legitimasi religius ini melahirkan 2 jenis teori kedaulatan, yaitu teori kedaulatan tuhan dan teori kedaulatan raja.
Diferensiasi antara keduanya adalah bentuk pertanggungjawaban kekuasaan.Dalam paham kedaulatan tuhan, penguasa dianggap sebagai manusia yang telah lepas dari dunia dan bersifat transendental sehingga wewenangnya tidak dapat diganggu gugat.
Sedangkan dalam paham kedaulatan raja, penguasa tetap dianggap sebagai manusia biasa karena dia hanya berstatus sebagai penerima wewenang dari tuhan dan membuka peluang untuk dimintai pertanggungjawabannya.
- Legitimasi elite
Legitimasi ini bersandar pada kecakapan yang dimiliki oleh suatu golongan dan lebih unggul daripada masyarakat dan golongan yang lain untuk menggunakan wewenangnya. Perbedaan fundamental antara legitimasi elite dan legitimasi religius adalah sumber legitimasi wewenangnya.
Legitimasi religius hanya berdasarkan pemberian tanpa melihat kecakapan, sedangkan legitimasi elite berdasarkan kecakapan bukan pemberian. Setidaknya ada empat macam legitimasi elite, yaitu legitimasi aristokratis, pragmatis, ideologis, dan teknokratis.
- Legitimasi aristokratis, di mana kelas atau kasta masyarakat yang dianggap memiliki kelebihan dan keunggulan dari masyarakat pada umumnya diberikan wewenang untuk Golongan yang dianggap unggul ini otomatis memiliki wewenang untuk memimpin secara politis.
- Legitimasi pragmatis, di mana suatu golongan atau kelas secara de facto menganggap golongan atau kelas mereka paling pantas dan cocok untuk memegang Contohnya adalah kelompok militer yang menguasai suatu negara dengan dalih hanya kelompok militerlah yang sanggup menjalankan kekuasaan.
- Legitimasi ideologis, di mana suatu golongan dianggap paling mengetahui tentang suatu ideologi yang dianut oleh seluruh masyarakat. Golongan ini dianggap sebagai pengemban ideologi tersebut sehingga mereka memiliki privilege untuk memegang kekuasaan. Contohya adalah partai komunis dalam suatu negara
- Legitimasi teknokratis, di mana suatu golongan menganggap diri mereka sebagai ahli yang paling berhak memegang Kompleksitas problematika kehidupan bernegara memerlukan penanganan khusus dari para ahli yang akuntabel dan kompeten.
Keempat bentuk legitimasi elite di atas memiliki satu persamaan yaitu keyakinan mereka bahwa masyarakat pada umumnya tidak boleh diberikan wewenang kekuasaan. Basis pemikiran ini adalah keyakinan bahwa masyarakat pada umumnya tidak mampu untuk mengurus kehidupan bernegara yang membutuhkan kemampuan khusus.
- Legitimasi Demokratis
Legitimasi ini berdasarkan suara rakyat secara mayoritas tanpa melihat latar belakangnya. Perbedaan ini sangat mencolok dengan dua jenis legitimasi sebelumnya yang basis legitimasinya adalah suatu pihak tertentu yang memiliki kelebihan dibandingkan masyarakat pada umumnya.
Oleh karena itulah Aristoteles menyebut demokrasi sebagai bentuk kemerosotan pemerintahan. Namun , di samping kelemahan sistem demokrasi tersebut, terdapat satu pintu yang memungkinkan terjadi kontrol dan supervisi dari masyarakat, yaitu melalui electoral election dan public participation.
Di antara dua tipe legitimasi di atas, yaitu legitimasi materi wewenang dan legitimasi subjek wewenang, Djokosutono lebih menekankan legitimasi subjek wewenang. Ia memandang bahwa urgensi dasar wewenang ini lebih besar dari materi wewenang itu sendiri karena dasar wewenang ini yang mengkonstruksi wewenang itu. Tanpa dasar yang legitimate maka wewenang itu sendiri tidak akan mendapatkan legitimasinya.
Kriteria Legitimasi
Pada sub-bab objek legitimasi, telah dijelaskan berbagai bentuk legitimasi wewenang, dari mana dan bagaimana wewenang itu didapatkan. Dalam sub-bab ini, yaitu kriteria wewenang, akan dibahas kriteria apa yang melahirkan legitimasi wewenang tersebut.
Inti pokok pembahasan sub-bab ini adalah menjawab pertanyaan “Secara apakah suatu wewenang mendapatkan legitimasinya?”. Menurut Franz Magnis Suseno kriteria legitimasi setidaknya ada tiga macam, yaitu
- Legitimasi Etis
Legitimasi etis ini menggunakan norma-norma moral sebagai basis legitimasi wewenang. Segala tindakan kenegaraan baik di lingkup legislatif maupun eksekutif, dipertanyakan landasan moralnya. Dalam lingkup politik, legitimasi etis ini tidak menyinggung kebijakan politis tertentu melainkan dasar fundamental dari konstruksi kebijakan politis tersebut.
Ketika legitimasi etis ini dikorelasikan dengan objek legitimasi, maka akan timbul pertanyaan “Apakah ketiga bentuk legitimasi subjek wewenang; yaitu legitimasi religius, elite, dan demokratis; itu berada pada posisi egaliter ataukah ada yang harus didahulukan secara etis?”. Jawaban solutif dari pertanyaan ini hanya dapat ditemukan dengan mengkaji norma-norma moral yang digunakan sebagai landasan legitimasi wewenang tersebut.
- Legitimasi Legal
Legitimasi legal atau legalitas menggunakan hukum sebagai basis legitimasi wewenang. Segala sesuatu, terutama kebijakan negara, yang berdasarkan dan sesuai dengan hukum yang berlaku maka ia menjadi legitimate secara otomatis.
Definisi ini membuka peluang cacat logika, yaitu apa yang menjadi basis legalitas hukum ini. Inti permasalahan ini adalah hukum, hukum positif dalam suatu negara, adalah sesuatu yang datang belakangan dan dia tidak mungkin bisa berdiri sendiri. Dengan sendirinya, legalitas hukum akan bergantung pada nilai yang lain yaitu etis.
Pernyataan ini berhadapan secara diametral dengan teori hukum murni yang digagas oleh Hans Kelsen. Dalam teorinya dikatakan bahwa hukum dipostulasikan sebagai sumber yang mendapatkan legitimasi secara otomatis.
Positivisasi hukum bersandar pada tindakan manusia yang menciptakan dan membatalkan hukum itu sendiri. Positivisasi hukum tidak memerlukan landasan moral dan etis karena ia akan mengikat hanya berdasarkan pada proses pembentukannya dalam bentuk dan dengan prosedur tertentu.
- Legitimasi Sosiologis
Legitimasi sosiologis ini mengulik motif yang mendorong masyarakat mematuhi wewenang yang disandang oleh pemilik wewenang itu. Legitimasi ini membatasi diri dengan tidak memotret dari sudut pandang nilai karena basis legitimasi wewenang dari sudut pandang sosiologis adalah penerimaan masyarakat terhadap hal itu bukan karena legitimasi tersebut sah secara etis.
Legitimasi sosiologis berpijak pada fakta empiris yaitu pandangan universal yang secara de facto dianut oleh suatu masyarakat sedangkan legitimasi etis berpijak pada nilai idealis. Max Weber membagi legitimasi sosiologis menjadi tiga macam, yaitu :
- Legitimasi tradisional
Inti dari legitimasi ini adalah adanya keyakinan turun temurun bahwa pemegang wewenang memang berhak untuk memerintah, seperti para bangsawan.
- Legitimasi karismatik
Legitimasi ini berdasarkan pengaruh yang diberikan oleh suatu pihak kepada masyarakat sehingga masyarakat mematuhinya. Pengaruh yang diberikan dapat berupa rasa hormat, budi, dan keahlian yang tidak dimiliki masyarakat pada umumnya.
- Legitimasi rasional-legal
Legitimasi ini berdasarkan pada kepercayaan masyarakat kepada hukum rasional yang berlaku, positif. Hukum ini yang memberikan wewenang kepada suatu pihak dan ditaati oleh masyarakat.
Konklusi
Franz Magnis-Suseno memotret legitimasi kekuasaan dengan optik etis. Premis ini adalah postulasi dari pandangannya yang memberikan kritik pedas terhadap dua perspektif lainnya, yaitu legal dan sosiologis. Ia berpendapat bahwa tanpa basis etis, maka dua perspektif tersebut akan kehilangan makna substansialnya sebagai basis legitimasi kekuasaan.
Di sisi lain, Hans Kelsen memandang legitimasi kekuasaan dengan berpijak pada teorinya, yaitu Teori Hukum Murni. Substansi teori ini adalah menelanjangi hukum dari norma-norma sosiologis dan transendental.
Ia berpendapat bahwa hukum, in casu legitimasi legal, itu tidak dapat memuaskan setiap pihak, sehingga ia harus lepas dari dorongan norma yang penuh dengan valuasi subjektif. Eksistensi norma dalam wadah hukum hanya membuat hukum kehilangan warna dan cita-cita aslinya.
Baca juga: Pemakzulan Presiden dalam Perspektif Konstitusi Sebagai Negara Hukum
Dalam penerapannya di Indonesia, kedua perspektif ini dapat dipertemukan pada titik ekuilibriumnya. Sebagai negara hukum, Indonesia menganut asas wetmatigheid van het bestuur. Konsekuensi logisnya adalah legitimasi kekuasaan yang diterapkan di Indonesia adalah legitimasi perspektif legal. Tanpa hukum, in casu peraturan perundang-undangan, maka suatu kekuasaan tidak akan mendapatkan legitimasinya.
Di samping itu, Indonesia sangat kental dengan nilai dan norma. Falsafah Pancasila yang mengandung nilai etis dijunjung tinggi di negara ini. Masyarakatnya sejak zaman kerajaan, sangat terikat dengan nilai-nilai baik nilai sosiologis maupun transendental.
Implikasinya adalah kemustahilannya hukum itu ditelanjangai dari nilai-nilai yang tumbuh subur di masyarakat. Solusi yang dapat ditawarkan oleh tulisan ini adalah tetap berpegang pada legitimasi legal. Namun, dalam mengkonstruksi hukum tersebut nilai-nilai yang hidup di masyarakat wajib diikutsertakan.
Referensi
Asshiddiqie, J. (2009). Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Depok: Rajawali Pers.
Atmadja, I. D. (2012). Ilmu Negara Sejarah, Konsep, dan Kajian Kenegaraan. Malang: Setara Press.
Bakhri, S. (2018). Ilmu Negara Dalam Pergumulan Filsafat, Sejarah, dan Negara Hukum. Depok: Rajawali Pers.
Jimly Asshiddiqie, M. Ali Safa’at. (2021). Teori Hans Kelsen Tentang Hukum. Jakarta: Konstitusi Press.
Junaidi, M. (2016). Ilmu Negara Sebuah Konstruk Ideal Negara Hukum. Malang: Setara Press.
Magnis-Suseno, F. (1987). Etika Politik Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Mochtar, H. (2011). Demokrasi & Politik Lokal di Kota Santri. Malang: UB Press.