Pernikahan di Indonesia
Secara eksplisit telah dijelaskan di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perkawinan, bahwa pria dan wanita diizinkan untuk melakukan perkawinan apabila sudah mencapai umur 19 tahun. Namun, tingkat pernikahan dini mengalami peningkatan signifikan seiring berjalannya waktu. Pernikahan pada usia di bawah ketentuan undang-undang ini, diartikan dengan situasi dimana pasangan yang menikah berusia masih sangat muda.
Dispensasi nikah menurut pada pasal 1 ayat (5) dalam Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) nomor 5 tahun 2019 menjadi jawaban untuk calon mempelai yang belum berumur 19 (sembilas belas) tahun untuk mengajukan permintaan izin untuk melakukan perkawinan.
Di Indonesia, meskipun telah ada upaya melindungi anak-anak dari pernikahan di bawah umur, Pengadilan Agama masih memungkinkan mengeluarkan dispensasi. Akankah hal ini menimbulkan keraguan tentang efektivitas upaya perlindungan anak dari pernikahan di bawah umur yang membludak atau justru menjadi jawaban dari alasan-alasan yang mendasari permintaan dispensasi nikah?
Baca juga: Upaya Keseragaman Usia Dewasa dalam Undang-Undang: Berapakah?
Alasan-alasan yang Mendasari Permintaan Dispensasi
Tugas rechtsvinding atau proses mencari solusi hukum melalui putusan-putusan menjadi kontemplasi bagi para hakim. Pengadilan Agama domisili menjadi tempat mermohon dispensasi nikah bagi kedua orang tua atau wali salah satu calon suami atau istri.
Adanya dispensasi nikah sering diinterpretasikan seperti dua mata pisau. Dispensasi nikah dianggap sebuah upaya perlindungan anak dari pernikahan di bawah umur. Namun pada sisi lain, pemberian dispensasi ini juga dapat dimaknai sebagai tindakan pencegahan terhadap kerugian yang lebih besar di masa mendatang.
Menurut PUSKAPA-UI, Perkawinan anak di bawah umur memiliki dampak yang dapat diamati secara jelas terhadap beberapa faktor seperti:
1. kesulitan hidup ekonomi dalam keluarga;
2. kurangnya dukungan positif dari keluarga dan lingkungan;
3. kurangnya kemampuan anak dalam menimbang risiko kehamilan;
4. serta persepsi anak terhadap perkawinan sebagai cara untuk menikmati masa remaja. Dampak-dampak ini merupakan konsekuensi langsung dari pernikahan yang melibatkan anak di usia yang terlalu muda.
Baca juga: SYARAT DAN RUKUN NIKAH MENURUT ISLAM
Pertimbangan Hukum, Etika, dan Perlindungan Anak
Pertimbangan hukum yang diberikan sebagaimana yang dimaksud merujuk dalam pasal 7 ayat (2), orang tua calon suami atau istri dapat mengajukan kepada pengadilan, akan dispensasi nikah dengan alasan yang sangat mendesak, serta memiliki bukti kuat yang mendukung. Adapun hakim melakukan pertimbangan untuk mengadili permohonan dengan asas yang terdapat pada pasal 2 PERMA nomor 5 tahun 2019.
Dalam perlindungan anak, terdapat dasar etika bahwa perlindungan anak memiliki tujuan terpenuhnya dua hal, yaitu hak dan kesejahteraan dari anak.
Para pihak yang terlibat, diharuskan untuk memperhatikan lahir, batin, fisik maupun psikis, seperti yang termaktub pada pasal 12 ayat (1), hakim harus memberikan nasihat resiko pernikahan di bawah umur, baik kepada calon mempelai, maupun kepada orang tua atau wali calon mempelai dan mendengarkan keterangan masing-masing pemohon, sesuai pada pasal 13 ayat (1).
Pada saat menangani perkara dispensasi nikah, para hakim mengidentifikasi aturan yang telah disebutkan sebagai acuan dalam pertimbangan, sehingga dapat meperhatikan kepentingan terbaik bagi anak.
Mengatasi Permasalahan Pernikahan di Bawah Umur
Penetapan usia minimum untuk menikah sangat penting untuk menghadapi pernikahan di bawah umur yang signifikan membludak. Karena dengan meminta dispensasi nikah, sangat penting untuk memerhatikan kematangan biologis dan psikologis anak. Adanya hukum perkawinan dimaksudkan agar calon mempelai memiliki kematangan jiwa dan raga agar menghasilkan keturunan yang sehat, juga kondisi psikis yang baik oleh kedua pasangan.
Kebijakan dan pertimbangan dari hakim atau Pengadilan Agama memiliki peran yang penting dalam menentukan keputusan terkait permintaan untuk dispensasi yang dimohon oleh calon suami atau istri. Dengan mempertimbangkan berbagai faktor dan alasan yang diajukan secara seksama, hakim dapat mengambil keputusan yang berlandaskan pada keadilan dan kepentingan terbaik bagi semua pihak yang terlibat.
Dalam kesimpulan, di posisi apapun, kesadaran masyarakat, budaya, kebiasaan, dan agama memainkan peran paling krusial dalam mencegah pernikahan di bawah umur. Kesepakatan dalam prinsip-prinsip yang mendukung pencegahan pernikahan anak, untuk membangun nilai-nilai, norma, dan perspektif yang mencegah pernikahan dini, akan menjadi faktor yang efektif dalam menurunkan angka pernikahan dini di Indonesia.
Referensi
Ahmad Muqaffi, Rusdiyah, Diana Rahmi, ‘Menilik Problematika Dispensasi Nikah Dalam Upaya Pencegahan Pernikahan Anak Pasca Revisi UU Perkawinan’, Journal Of Islamic And Law Studies, Vol. 5, No. 3, 2021.
Aryatama Hibrawan, Implementasi Perma Nomor 5 Tahun 2019 Tentang Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi Kawin Sebagai Bentuk Perlindungan Kepentingan Anak. Diakses pada 29 Juni 2023.
Luqman Haqiqi Amirulloh, ‘Rechtsvinding dan Pertimbangan Hakim Dalam Mengabulkan dan Menolak Permohonan Dispensasi Nikah’, Jurnal Kajian Hukum dan Studi Islam: Khuluqiyya, Vol. 3, No. 1, 2021.
Martina Purna Nisa, Dispensasi Kawin, Dua Mata Pisau Pencegahan Perkawinan Anak. Diakses pada 29 Juni 2023.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2019 Tentang Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi Kawin.
Siaran Pers Kementerian Pemberdayaan Wanita dan Perlindungan Anak Republik Indonesia, Perkawinan Anak di Indonesia Sudah Mengkhawatirkan, Nomor: B- 031/SETMEN/HM.02.04/01/2023. Diakses pada 29 Juni 2023.