Daftar Isi
ToggleDaftar Isi
Pertanyaan
Mengapa masing-masing institusi menetapkan batasan usia yang berbeda-beda?
Jawaban
Usia merupakan penafsiran terhadap seseorang yang dianggap cakap sehingga dapat bertindak dan sah secara hukum. Namun batasan usia seseorang oleh Undang-Undang masih beragam. UU Perkawinan revisi tahun 2019 misalnya batas minimal usia seseorang bisa melakukan perkawinan adalah 19 tahun dan berbagai peraturan undang-undang lainnya yang membatasi usia minimal dewasa seseorang dikisaran 16-21 Tahun.
Baca juga: Mengenal Deelneming, Concursus, dan Klachtdelict dalam Hukum Pidana Indonesia
Oleh karena dewasa menjadi syarat formil seseorang sah dalam melakukan tindakan hukum, maka tindakan hukum tersebut dapat dibatalkan jika belum dewasa kecuali mendapatkan dispensasi dari pengadilan.
Keberagaman ini terkadang membuat masyaraat menjadi bingung ketika melakukan tindakan hukum, misalnya dalam hal pendaftaran tanah. Disebutkan dalam KUH Perdata untuk tindakan hukum secara perdata harus berusia minimal 21 tahun, sedangkan dalam surat edaran SK Mendagri Dirjen Agraria Direktorat Pendaftaran Tanah (Kadaster) mengenai pendaftaran tanah minimal 18 tahun sehingga banyak pemohon pendaftaran tanah yang ditolak karena belum mencapai usia 21 tahun. Belum lagi keberagaman ini juga terkadang kita dapat ditemui dalam berbagai putusan hakim.
Misalnya pemberian nafkah anak pada kasus perceraian terkadang terdapat putusan yang memutuskan bahwa ayah berkewajiban untuk memberi nafkah kepada anak hasil perkawinan yang putus tersebut sampai anaknya berumur 21 tahun, kadang ada putusan yang memutuskan 18 tahun.
Perbedaan tersebut karena perbedaan dalam menafsirkan dewasa, seseorang dikatakan dewasa politik menurut UU Pemilu adalah 17 tahun, untuk menikah 16 tahun dan paling tinggi 21 tahun, secara seksual 18 tahun dan menurut hukum jika dianggap cakap dengan berbagai penafsiran angkanya, secara psikologis masa dewasa awal ini di mulai saat seseorang menginjak pada umur 19 tahun sampai 25 tahun dan menurut agama apabila telah baligh atau dewasa yang ditandai dengan pertumbuhan biologis bagi laki-laki dengan mimpi basah dan perempuan dengan menstruasi ayau haid.
Baca juga: Apakah Dalam Hukum Adat, Hak Atas Tanah dan Hak Atas Rumah Berbeda?
Perlukah Seragam?
Upaya penyeragaman pernah dilakukan melalui SE No. 7 tahun 2012 yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung yang menyatakan bahwa dewasa adalah cakap hukum yaitu orang yang telah mencapai umur 18 tahun atau telah menikah. Dan kedua SE Menteri Agraria dan Tata Ruang No. 4 tahun 2015 menyatakan bahwa usia dewasa yang dapat melakukan perbuatan hukum dalam rangka pelayanan pertanahan adalah kurang 18 tahun atau sudah kawin.
Kebutuhan keseragaman ini sangat diperlukan mengingat terjadi kebingungan tindakan hukum di tengah masyarakat dan disharmonisasi dna dinilai diskriminatif dan stagnasi dalam dunia pekerjaan sebab mengabaikan fakta bahwa sekitar 70 persen tenaga produktif berusia 18 tahun ke atas. Lalu, jika terjadi penyeragaman. Maka berapakah seharusnya standar minimal usia seseorang dikatakan dewasa.
Baca juga: Bagaimana Cara Membedakan Satwa Yang Boleh Diburu dan Yang Tidak Boleh Diburu?
Pengujian batas usia dalam rentang 16 sampai 21 tahun harus diuji apakah dalam kerangka rights to work, atau kematangan berpikir, atau hak untuk hidup. apakah sarjana hukum yang berumur sebelum 25 tahun yang ingin menjadi advokat tak memiliki rights to work? Apakah hak untuk bekerja itu dibatasi pula oleh kematangan emosional untuk berpikir (psikologis)?. Hal ini membuat terjadi keberagaman pendapat.
Alasan MK dalam pembatasan usia berkaitan dengan rights to work berikut dapat dijadikan pertimbangan bahwa syarat usia tertentu adalah sangat tepat agar supaya dapat terhindarkan praktek mempekerjakan anak-anak di bawah umur, begitu pula praktek pernikahan di bawah umur dan lain-lain yang mengakibatkan kerugian pada anak.
Baca juga: Fungsi Ratifikasi Dalam Penyelesaian Konflik Internasional
Begitu banyak kasus dispensasi pernikahan yang tidak lama juga berakhir dengan perceraian yang memberikan kerugian dua pihak khususnya perempuan. Atau mungkin dalam proses penyeragaman tersebut perlu dilakukan komparasi persfektif dari berbagai aspek seperti agama, politik, ekonomi dan psikologis untuk mencari angka yang sama khususnya jika pada keperluan rights to work dan atau kematangan berpikir.
Sumber:
Undang-Undang Dasar 1945
UU No. 16 Tahun 2019 tentang perubahan UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.
Agustinus Danan Suka Dharma. Jurnal No II. Tahun 2015.
Respon (1)