Mahasiswa prodi Ilmu Hukum pasti tidak asing mempelajari Hukum Pidana. Biasanya mahasiswa baru mempelajari Hukum Pidana pada semester 1 (satu) atau 2 (dua). Terdiri atas dua kata, hukum dan pidana. Sebetulnya kata hukum dalam bahasa Indonesia memiliki banyak makna, jadi bukan hanya berarti peraturan perundang-undangan saja, namun banyak arti yang saling berkesinambungan. Sementara, kata pidana sendiri merupakan bahasa Sansekerta yang digunakan dalam ketatanegaraan Majapahit, yang artinya adalah hukuman.
Adapun definisi hukum pidana menurut para ahli hukum seperti Eddy O.S Hiariej yaitu:
“…aturan hukum dari suatu negara yang berdaulat, berisi perbuatan yang dilarang atau perbuatan yang diperintahkan, disertai dengan sanksi pidana bagi yang melanggar atau yang tidak mematuhi, kapan dan dalam hal apa sanksi pidana itu dijatuhkan dan bagaimana pelaksanaan pidana tersebut yang pemberlakuannya dipaksakan oleh negara.”
Baca juga: Bjorka dan Urgensi Pengesahan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP)
Selain itu, menurut pakar hukum dari Eropa yaitu Pompe, mengatakan hukum pidana adalah keseluruhan peraturan hukum, yang menunjukan perbuatan-perbuatan mana yang seharusnya dikenakan pidana dan dimana pidana itu seharusnya terdapat.
Berikutnya pengertian hukum pidana dari ahli hukum pidana Indonesia, yaitu Moeljanto. Menurutnya, hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan untuk:
- Criminal act yaitu menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut.
- Criminal Liability/Responsibility yaitu menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan.
- Criminal Procedure/Hukum Acara Pidana yaitu menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.
Baca juga: Presidential Threshold: Sejarah Ambang Batas Pencalonan dari Pemilu ke Pemilu
Jika sobat mengenal hukum pidana adalah hukum yang sangat keras dan menyeramkan. Hal itu adalah benar adanya. Karena salah satu yang membedakan hukum pidan dengan hukum lainnya, baik hukum publik maupun privat adalah soal sanksinya yang keras dan sejatinya kehadiran sistem peradilan pidana menurut Prof. H. Mardjono Reksodiputro, S.H., M.A adalah untuk mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan, menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana, dan mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya.
Walaupun hukum pidana bertujuan untuk memberi efek jera untuk sesiapa yang melanggar, namun kehadiran hukum pidana tidaklah menjadi penentu utama untuk mengadili pelaku kejahatan. Karena di dalam hukum pidana terdapat salah satu asas ultimum remedium yang berarti hukum pidana hendaklah dijadikan upaya terakhir dalam penegakan hukum. Seandainya ada sarana lainnya untuk menyelesaikan masalah sosial, sebaiknya sarana itu yang digunakan, bukan menggunakan hukum pidana.
Baca juga: Hukum Acara Perdata Menurut Para Ahli
Alasan mengapa kita tidak bisa begitu saja menetapkan penggunaan hukum pidana untuk mengatasi persoalan atau konflik di masyarakat adalah karena hukuman pidana itu sangat keras, berat, menimbulkan penderitaan yang bahkan sering sangat serius.
Tetapi ada kalanya hukum pidana hadir sebagai primum remedium atau optimum remedium yaitu suatu kasus tidak diselesaikan dengan cara karena kasusnya merupakan kasus yang harus diselesaikan secara pidana. seperti kasus korupsi, narkoba, teroris, dan lain-lain.
Penulis sepakat dengan pernyataan Prof. Dr. Topo Santoso dalam buku Hukum Pidana Suatu Pengantar, mengatakan: keberadaan hukum pidana sebagai ultimum remedium seharusnya membuat para pembuat hukum agar lebih peka, ketat dan kritis dalam menempatkan ketentuan hukum pidana dalam suatu perundang-undangan yang dibuatnya. Apalagi dalam konteks Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) seharusnya tidak ada ketentuan pidana yang dimuat didalamnya.
Baca juga: Quo Vadis Revolusi Mental
Padahal jelas dalam dalam ketentuan Pasal 25 Ayat (1) Undang-Undang No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundnag-undangan, materi muatan mengenai pidana hanya dapat dimuat dalam: (a) undang-undang, (b) peraturan daerah provinsi, atau peraturan daerah kabupaten/kota. Sama sekali tidak disebut bahwa perpu dapat memuat ketentuan pidana.
Sebagai penutup, Prof. Dr.Topo Santoso dalam bukunya mengatakan:
“…penggunaan hukum pidana dalam menanggulangi kejahatan bisa dibagi dua. Pertama, terhadap perbuatan yang tergolong mala per se seperti penipuan, penganiayaan, pembunuhan, perkosaan, dan lain-lain sudah pantas tetap dugunakan prinsip primum remedium atau optimum remedium. Sementara itu, untuk perbuatan yang melanggar undang-undang administratif sebaiknya hukum pidana digunakan sebagai ultimum remedium. Demikian pada pelanggaran perdata, seperti pelanggaran kontrak, dan lain-lain, yang digunakan adalah sanksi perdata, bukan pidana.”
Sumber:
Pasal 25 Ayat (1) Undang-Undang No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundnag-undangan.
Santoso, Topo. Hukum Pidana Suatu Pengantar. Jakarta: Penerbit Rajagrafindo, 2020. Persada.
Respon (1)