Dalam setiap pemilihan umum, politik menghadirkan tantangan etika yang signifikan bagi mereka yang terlibat di dalamnya. Salah satu kelompok yang terlibat langsung dalam proses politik adalah pengacara yang memilih untuk terjun ke dalam dunia politik.
Dalam konteks pemilu 2024 di Indonesia, pertanyaan tentang etika pengacara dalam politik menjadi semakin relevan, hal ini tidak lepas dari rangkaian pelanggaran kode etik oleh Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman, pelanggaran kode etik oleh ketua penyelenggara pemilu sendiri Hasyim Asy’ari ketua KPU, dan bahkan beberapa petisi dari para guru besar kampus-kampus besar di Indonesia perihal pelanggaran demokrasi oleh rezim hari ini.
Pengacara sebagai aparat penegak hukum memiliki pengetahuan dan keterampilan yang unik dalam memahami undang-undang, prosedur hukum, dan prinsip-prinsip keadilan. Namun, ketika advokat memasuki dunia politik, akan dihadapkan pada sejumlah tantangan etika yang perlu mereka hadapi dengan bijak.
Baca juga: Pengertian Hak dan Kewajiban, Lengkap!
Salah satu tantangan utama ketika pengacara terjun dalam dunia politik praktis adalah konflik kepentingan. Sebagai pengacara, mungkin mereka telah mewakili klien atau badan hukum tertentu yang memiliki kepentingan dalam politik.
Hal ini dapat menimbulkan pertanyaan tentang independensi lawyer sebagai anggota atau pendukung entitas politik tertentu. Apakah mereka akan memprioritaskan kepentingan klien atau kepentingan afiliasi politiknya? Pertanyaan ini menjadi lebih penting ketika mereka mengambil keputusan yang mempengaruhi masyarakat secara luas.
Mengutip dari hukum online, pendapat Prof. Frans Hendra Winarta yang mencotohkan Bill Clinton dan Barack Obama yang mengambil cuti ketika terjun ke dunia politik “Mereka tidak jadi lawyer karena berpolitik ada conflict of interest untuk klien yang dibelanya.
Dia harus inependen dalam free profession. Sedangkan dalam politik harus berpihak” maka penting bagi seorang advokat untuk mempertimbangkan konflik kepentingan yang akan dihadapi ketika terlibat secara langsung dalam dunia politik praktis.
Selain itu, terdapat juga risiko penyalahgunaan pengetahuan hukum untuk kepentingan politik yang sempit. Sebagai pengacara, mereka memiliki akses ke informasi dan strategi hukum yang dapat digunakan untuk keuntungan politik pribadi atau partai politik mereka.
Penggunaan informasi ini dengan tidak etis dapat merusak integritas sistem hukum dan merusak kepercayaan publik terhadap lembaga politik dan organisasi advokat.
Namun dari sudut pandang yang lain, Prof. Otto Hasibuan sebagaimana dimuat dalam hukum online pada tanggal 26 Januari 2024, menurut beliau Pemilu 2024 menjadi momentum advokat terlibat aktif dalam dunia politik. Beliau menilai bahwa selama ini terdapat pandangan keliru bahwa advokat dilarang terlibat politik.
Padahal seorang advokat merupakan warga negara Indonesia yang memiliki hak memilih presiden dan wakil presiden. Lagipula advokat merupakan profesi hukum yang independen, bebas dan mandiri sesuai pikirannya.
Menurut penulis, pandangan Prof. Otto Hasibuan tersebut tidak lagi dalam rel pandangan seorang advokat yang ideal apalagi sebagai pimpinan tertinggi organisasi advokat di Indonesia, tapi mungkin hanya pandangan sebagai warga negara biasa atau bahkan lebih kepada pandangan politis yang sudah sangat dipengaruhi oleh afiliasi politik terhadap pasangan calon tertentu.
Jika kita bedah misalnya, memang betul advokat merupakan warga negara Indonesia yang memiliki hak memilih presiden dan wakil presiden, tapi yang perlu dibedakan adalah ketika dia bertindak sebagai seorang warga negara biasa dengan bertindak sebagai seorang yang berprofesi sebagai advokat merupakan dua premis yang berbeda dengan kompetensi yang berbeda pula. Tentu saja seseorang yang bertindak sebagai advokat memiliki batasan profesionalisme, rule-rule dan kode etik yang harus dia pegang teguh.
Kemudian jika dikatakan bahwa advokat merupakan profesi hukum yang independen, bebas dan mandiri sesuai pikirannya, penulis sangat sepakat dengan kalimat ini, karena hal tersebut juga diatur dalam Pasal 5 ayat (1) UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Namun yang menjadi catatan adalah dalam Pasal 14 dan 15 UU Advokat ditegaskan bahwa kebebasan yang dimiliki oleh advokat tetap harus berpegang teguh pada kode etik dan peraturan perundang-undangan.
Baca juga: TEORI ETIKA LINGKUNGAN, LENGKAP
Artinya kebebasan yang dimiliki oleh advokat tidak dapat diartikan bebas sebebas-bebasnya tanpa batas, tapi tetap ada batasan profesionalisme yang harus dijunjung tinggi oleh seorang advokat, Pasal 20 ayat (2) lebih tegas mengatur bahwa Advokat dilarang memegang jabatan lain yang meminta pengabdian sedemikian rupa sehingga merugikan profesi Advokat atau mengurangi kebebasan dan kemerdekaan dalam menjalankan tugas profesinya.
Tentu saja, ketika seorang advokat memiliki afiliasi terhadap entitas politik tertentu bahkan secara terang-terangan membentuk aliansi dan membawa embel-embel advokat untuk mendeklarasikan dukungan terhadap calon tertentu akan mengurangi kebebasan dan kemerdekaan advokat dalam menjalakan tugas profesinya.
Maka penting bagi pengacara yang terjun ke dunia politik untuk selalu mengutamakan integritas dan independensinya sebagai advokat. Mereka harus tetap setia pada prinsip-prinsip etika profesi, bahkan di tengah tekanan politik yang besar.
Selain itu, transparansi juga penting dalam menjaga kepercayaan publik. Pengacara yang terjun ke politik harus terbuka tentang konflik kepentingan yang mungkin ada, dan akan lebih terhormat jika profesi pengacaranya di sarungkan terlebih dahulu sebelum terlibat dalam dunia politik praktis yang sarat kepentingan