Pembukaan
Hak angket gencar diperbincangkan akhir-akhir ini. Menjadi wacana yang menarik untuk dikaji lebih jauh, terutama apakah hal itu murni sebagai upaya pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terhadap pemerintah atau sebatas upaya untuk menolak hasil Pemilihan Umum (Pemilu).
Hak angket DPR sebagai hak eksklusif DPR untuk menyelidiki pemerintah sebagai pelaksana undang-undang berkaitan pula dengan kebijakan pemerintah yang memenuhi unsur penting, strategis, dan berdampak luas pada masyarakat, bangsa, dan negara yang diduga tidak sejalan dengan peraturan perundang-undangan.
Dalam pasal 199 Undang-undang nomor 17 tahun 2014, hak angket diusulkan paling sedikit 25 anggota DPR dan lebih dari satu fraksi. Usul hak angket harus disetujui lebih dari ½ (satu per dua) jumlah anggota DPR. Apabila usul angket diterima dan disetujui maka dibentuk panitia angket untuk melakukan penyelidikan.
Baca juga: Pemakzulan Presiden dalam Perspektif Konstitusi Sebagai Negara Hukum
Hak Angket Upaya Pengawasan DPR?
Hak angket merupakan satu dari tiga hak yang dimiliki Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), sebagaimana diatur dalam Undang-undang Dasar NRI 1945 Pasal 20A ayat (2) yang menyatakan bahwa DPR mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat.
Ketiga hak di atas guna menunjang fungsi DPR, khususnya fungsi pengawasan. DPR memiliki peranan penting sebagai salah satu kekuasaan yang bertanggung jawab terjalinnya check and balancing antar pemegang kekuasaan, dengan maksud agar tidak terjadi sentralisasi kekuasaan. Dengan membatasi dan membagikan kekuasaan, secara tidak langsung kita mencegah terjadinya abuse of power.
Optimalisasi fungsi pengawasan DPR perlu terus ditingkatkan. Barangkali, dibarengi pula peningkatan fungsi lainnya seperti legislasi. Artinya, bagaimana DPR dapat menjadi lembaga pengawas pemerintah yang profesional dan objektif serta mampu membuat produk hukum yang sejalan dengan aspirasi rakyat, seperti RUU Perampasan Aset.
Perlu juga, sebagai lembaga pengawas untuk memberikan teladan yang luhur. Bagaimana tidak, menurut data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sejak 2004 hingga Juli 2023, sebanyak 344 kasus korupsi melibatkan anggota DPR dan DPRD. Tidak berlebihan jika hasil survei Indikator Politik menemukan kepercayaan publik terhadap DPR paling rendah dibandingkan lembaga lainnya.
Hak Angket Upaya Penolakan Pemilu?
Pada sisi lain, wacana penggunaan hak angket oleh DPR akhir-akhir ini ditengarai sebagai upaya lain untuk menolak kekalahan, paling tidak menurut hasil quick count, dalam Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 yang telah bergulir. Hak angket pertama kali diusulkan oleh Ganjar Pranowo dan disambut dengan baik oleh berbagai pihak, terkhusus pihak-pihak yang kalah dalam Pemilu.
Asumsi bahwa wacana hak angket untuk menolak kekalahan dalam Pemilu 2024 semakin kuat ketika PDIP, pengusung Capres Ganjar Pranowo, secara resmi menolak penggunaan Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap) dalam mencatat perolehan suara Pemilu 2024 oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Selain itu beberapa tokoh, seperti Masinton Pasaribu, Adian Napitupulu, Jusuf Kalla, dan Surya Paloh, setuju penggunaan hak angket oleh DPR. Tokoh-tokoh di atas sebagai kontestan dalam Pemilu 2024, yang dalam konteks Pemilihan Presiden, mereka kalah. Masinton Pasaribu dan Adian Napitupulu berada di kubu Pasangan Ganjar Pranowo-Mahfud MD. Sedangkan Surya Paloh dan Jusuf Kalla di kubu Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar.
Indikator lainnya dalam upaya penolakan Pemilu terendus bahkan sebelum Pemilu, yaitu melalui rilisnya film dokumenter “Dirty Vote”. Tentu, film tersebut perlu diapresiasi sebagai tindakan berani untuk memaparkan kecurangan Pemilu. Namun, yang menjadi nihil ketika dirilis di waktu tenang Pemilu, 11 Februari 2024, sehingga kegunaan film tersebut kurang dirasakan, kecuali untuk menimbulkan kegaduhan jika tidak ingin menyebutnya sebagai prawacana penolakan Pemilu 2024.
Baca juga: Politik Identitas Menjelang Pemilu 2024, Begini KUHP Baru Mengaturnya
Penutup
Akhir dalam tulisan ini, hak-hak yang dijamin oleh konstitusi harus dilaksanakan secara optimal dan konsekuen. Bukan justru sebagai intrik dan pemenuhan kepentingan secara timpang. Dan untuk menjawab pertanyaan dalam judul tulisan ini, jawaban kedua lebih memungkinkan.
Catatan penulis, tulisan ini belum lebih jauh mengkaji apakah hak angket tersebut cukup secara materiil untuk dilaksanakan? Apakah objek yang di angket sudah tepat atau tidak? Dan kajian-kajian lainnya.