Bahasa Indonesia
Bahasa hukum dinilai sebagai instrumen fungsional dan efisien yang memainkan peran penting dalam pembentukan dan implementasi hukum dalam masyarakat. Demikian juga sebaliknya, hanya dengan bantuan bahasa dapat dan mampu memahami dan menegakkan serta mempertahankan hukum dalam masyarakat.
Dalam setiap aktivitas hukum, baik yang berupa tertulis misalnya peraturan perundang-undangan, yurisprudensi, gugatan, pembelaan, surat-surat dalam perkara perdata, maupun berupa keterampilan penggunaan bahasa pada profesi tertentu seperti notaris, polisi, dan pengacara, sehingga pendampingan bahasa sangat diperlukan. Tidak ada satupun dari aktivitas-aktivitas hukum sebagaimana tersebut tidak ada yang dapat dilakukan tanpa bantuan sistem bahasa.
Baca juga: Pengertian Akta dan Macam-macamnya
Pengaruh Bahasa Indonesia dalam Pembuatan Akta
Dalam konteks hukum perdata di Indonesia, terdapat suatu konsep pembuatan Akta sebagai bentuk adanya perjanjian. Melakukan sebuah perjanjian kemudian dituangkan dalam bentuk akta merupakan suatu proses “metamorfosa”.
Artinya, adalah suatu proses perubahan atau peralihan bentuk dari suatu kehendak yang awalnya bersifat abstrak dan disampaikan secara lisan, kemudian dituangkan secara tertulis sebagai wujud konkritisasi dan visualisasi kehendak dan kesepakatan tersebut.
Sebagai wujud metamorfosa, maka mengubah kehendak lisan ke dalam bentuk tulisan membutuhkan dua mekanisme, yaitu mekanisme penyusunan kehendak ke dalam perjanjian dan mekanisme pembuatan perjanjian ke dalam akta tertulis.
Meskipun demikian, dalam pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) atau dalam bahasa belanda disebut dengan Burgerlijk Wetboek menyatakan bahwasanya syarat sah suatu perjanjian ada empat, yaitu:
- Adanya suatu kesepakatan;
- Kecakapan hukum;
- Klausa tertentu; dan
- Klausa yang halal.
Hal tersebut menunjukkan bahwasanya akta dalam suatu perjanjian bukan merupakan syarat sah yang mutlak, hanya saja akta tersebut merupakan sebagai bentuk alat bukti di persidangan ketika terdapat wanprestasi atau pelanggaran terhadap perjanjian tersebut.
Hal tersebut tertuang dalam pasal 1866 KUHPerdata dan pasal 164 Herzein Indisch Regelmant atau dalam bahasa indonesia disebut dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata.
Suatu akta perjanjian yang bersifat otentik dikatakan sah dan memiliki kekuatan hukum mengikat apabila dibuat oleh Notaris. Notaris merupakan pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris.
Notaris sejatinya harus memenuhi persyaratan, dan mengisi permohonan pendaftaran notaris sebagai profesi penunjang pasar modal dalam lampiran peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nomor 67/POJK.04/2017 Tentang Notaris yang Melakukan Kegiatan di Pasar Modal.
Menurut Pasal 1868 KUHPerdata, suatu akta otentik adalah suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat dimana akta tersebut dibuat.
Oleh sebab itu, pengaruh Notaris dalam pembuatan Akta sangatlah besar, karena menentukan bagaimana kekuatan hukum atau berlakunya Akta tersebut.
Oleh sebab itu, dalam hal pembuatan otentik suatu perjanjian harus menggunakan tata bahasa yang baik dan benar, sesuai dengan PUEBI serta bahasa hukum peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia. Bahasa hukum yang dimaksud adalah bahasa Indonesia dimana hanya dalam konteks hukum lah yang memakainya, seperti dan/atau, debitur, kreditur, dan lain sebagainya.
Bahasa hukum memiliki ciri khas yang berbeda dengan bahasa Indonesia seperti pada umumnya. Bahasa hukum relatif lebih kaku dan formal dikarenakan bahasa hukum digunakan dalam hal dokumentasi negara dan alat bukti di persidangan.
Dalam praktiknya, penggunaan bahasa hukum Indonesia belum sempurna sesuai dengan yang semestinya. Masih banyak terdapat istilah-istilah yang diterjemahkan begitu saja tanpa mengindahkan struktur bahasa Indonesia sendiri. Tidak jarang juga bahasa hukum Indonesia sulit dipahami oleh masyarakat awam.
Kalimat-kalimat yang disusun tidak jarang berupa kalimat komplek yang panjang, namun tidak memperhatikan konsistensi dalam membawakan pesan-pesan yang termuat dalam kalimat. Pesan-pesan tersebut tidak jarang sulit dipahami atau saling tumpang-tindih antara pesan satu dengan yang lain, sehingga sulit untuk menentukan apa yang menjadi pesan utama dari suatu kalimat yang dibuat.
Bahasa hukum Indonesia termasuk ke dalam bahasa ilmiah yang apabila digunakan dalam penyusunan perjanjian dan pembuatan akta, menjadi istimewa dan memiliki kekuatan hukum. Hal tersebut sejatinya telah diperkuat dengan terbitnya Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2019 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia yang menjadi rujukan Notaris dalam menulis atau membuat suatu Akta. Akta otentik memiliki kekuatan pembuktian sempurna, selain itu pada akta otentik terkandung nilai-nilai antara lain:
- Lahiriah (uitwendige bewijskracht)
Kemampuan lahiriah akta Notaris, merupakan kemampuan akta itu sendiri untuk membuktikan keabsahannya sebagai akta otentik (acta publica probant sese ipsa), jika dilihat dari luar (lahirnya) sebagai akta otentik serta sesuai dengan aturan hukum yang sudah ditentukan mengenai syarat akta otentik, maka akta tersebut berlaku sebagai akta otentik, sampai terbukti sebaliknya, artinya sampai ada membuktikan bahwa akta tersebut bukan akta otentik secara lahiriah;
- Formal (formele bewijskracht)
Akta Notaris harus memberikan kepastian bahwa sesuatu kejadian dan fakta tersebut dalam akta betul-betul dilakukan oleh Notaris atau diterangkan oleh pihak-pihak yang menghadap pada saat yang tercantum dalam akta sesuai dengan prosedur yang sudah ditentukan dalam pembuatan akta seperti ejaan, kata dan frasa yang sesuai dengan PUEBI; kemudian
- Materil (materiele bewijskracht)
Merupakan kepastian materi suatu akta, bahwa apa yang tersebut dalam akta merupakan pembuktian yang sah terhadap pihak-pihak yang membuat akta atau mereka yang mendapatkan hak dan berlaku untuk umum, kecuali ada pembuktian sebaliknya (tegenbewijs).
Baca juga: Asas Retroaktif dalam Penyusunan Argumentasi Hukum
Apabila dikemudian hari ditemukan bahwa pernyataan atau keterangan dari para pihak adalah salah atau bukan merupakan yang sebenarnya, maka Notaris tidak turut bertanggung jawab atas hal-hal yang dituangkan berdasarkan keterangan tersebut.
Kesimpulan
Maka dapat disimpulkan bahwa Akta Notaris mempunyai kepastian dan menjadi bukti yang sah untuk para pihak dan para ahli waris serta penerima hak mereka. Ketiga macam kekuatan pembuktian tersebut merupakan bentuk kesempurnaan Akta Notaris sebagai akta otentik dan baik para pihak maupun pihak yang mendapatkan hak dari Akta tersebut akan terikat oleh akta tersebut.
Oleh sebab itu, menurut hemat penulis, bahasa indonesia dalam pembuatan Akta otentik yang dibuat oleh Notaris sangatlah penting dikarenakan berimplikasi pada kekuatan pembuktian di persidangan.
Ketika suatu Alat Bukti itu tidak memiliki kekuatan pembuktian maka yang terjadi adalah anggapan bahwa tidak ada suatu kepastian hukum dalam perjanjian yang dibuat. Terkait cacat atau tidaknya suatu Akta Notaris sejatinya tidak dinilai dari bahasa itu sendiri, akan tetapi dinilai dari kecermatan penulisan.
Kecermatan suatu penulisan yang dimaksud adalah ada atau tidaknya unsur-unsur penting pembuatan akta serta benar atau tidaknya penggunaan istilah antar pihak seperti kreditur dan debitur.