Ibadah Haji adalah rukum Islam kelima yang sifatnya wajib oleh setiap umat Islam yang memenuhi syarat istitaah atau mampu, yaitu berupa fisik, mental, dewasa, merdeka, bahkan finansial yang cukup. Dalam konsepnya bahwa haji adalah kegiatan berkunjung ke Baitullah untuk melaksanakan beberapa amalan-amalan seperti wukuf, tawaf, sa’i serta amalan lainnya pada masa tertentu untuk mendapatkan pahala dan ampunan dari Allah SWT.
Dalam ibadah haji yang dilakukan oleh setiap Muslim dan Muslimah adalah sifatnya mampu serta sekali seumur hidup, yang mana hal ini ditetapkan pada Al-Qur’an, Sunnah, dan Ijma. Adapun dasar dari kewajiban haji berdasarkan Al-Qur’an yaitu pada Surat Ali Imran ayat 96-97. Adapun negara juga bertanggungjawab atas penyelenggaraan ibadah haji sebagaimana dalam Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 dan payung hukum pelaksanaan ibadah haji berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji.
Dalam Hukum Islam memang telah mengatur mengenai ibadah haji sesuai dengan syarat-syarat haji. Begitu juga satu keluarga Muslim bila mana menjalankan ibadah haji, tidak sedikit orang tua membawa serta anaknya yang masih kecil di Arab Saudi. Lalu bagaimana dalam kacamata Hukum Islam mengenai hukum haji bagi anak-anak yang belum baligh?
Baca juga: Upaya Keseragaman Usia Dewasa dalam Undang-Undang: Berapakah?
Konsep Baligh dalam Hukum Islam
Baligh merupakan salah satu syarat wajib dalam ibadah haji. Secara Hukum Islam bahwa konsep baligh dalam bahasa Arab yaitu “sampai”, dengan maksud yaitu telah sampainya usia seseorang pada tahap kedewasaan atau berakhirnya masa kanak-kanak. Pengertian balig menurut Syaikh Salim bin Sumair Al-Hadlrami dalam kitabnya Safinatun Najah menyatakan terdapat 3 hal yang menandai seorang anak menginjak akil baligh yaitu apabila telah mencapai usia 15 tahun keatas, telah mengalami mimpi basah bagi laki-laki serta sudah mengalami haid bagi perempuan meskipun usianya kurang dari 15 tahun.
Parameter usia dewasa dalam Hukum Islam yang pakai adalah Undang-Undang Perkawinan pada Pasal47 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana diubah dengan UU No. 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pada intinya bawah batas anak belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah menikah masih di bawah kekuasaan orang tua selama tidak dicabut dari kekuasaannya. Serta berdasarkan dalam KHI termuat dalam Pasal 98 ayat (1) yang intinya batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, dan tidak cacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan.
Maka dari itu yang harus dilakukan seorang muslim ketika sudah balig adalah wajib bagi seseorang untuk melakukan tuntutan hukum syara’, yaitu berupa wajib melakukan hukum syariat, sholat 5 waktu, puasa Ramadhan, menunaikan zakat dan haji bagi yang mampu, dan menutup aurat bagi perempuan serta laki-laki.
Baca juga: Resensi Buku: Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia
Pelaksanaan Ibadah Haji oleh Anak Kecil Sebelum Balig
Mengenai ibadah haji yang dilakukan oleh anak kecil sebelum balig sebenarnya terdapat sudut pandang yang berbeda dari ulama dan mazhab dalam Islam yaitu mazhab Maliki serta mazhab Syafii membolehkan dan sah, dan menurut mazhab Hambali. Menurut Syekh Sa’id bin Abdul Qodir Basyanfar menyatakan bahwa anak kecil tidak wajib menunaikan ibadah haji, tetapi jika ia menunaikan ibadah haji maka ibadahnya sah.
Pelaksanaan ibadah haji oleh anak kecil yang belum balig adalah belum bisa menggugurkan kewajiban yang ada dalam rukun Islam karena belum mencapai masa balig yang menjadi syarat sahnya ibadah haji. Setiap kegiatan ibadah haji yang mampu dilakukan oleh anak kecil sendiri ialah wuquf di Arafah, mabit di Muzdalifah, dan lainnya. Bilamana kegiatan haji yang tidak mampu dilakukan sendiri oleh anak kecil maka walinya yang akan melakukannya seperti melempar jumrah yang digantikan walinya.
Begitu juga anak kecil sudah mumayyiz (titik usia tertentu yang dapat membedakan antara baik dan jahat), maka dia dapat berniat ihram untuk dirinya sendiri serta mampu melakukan manasik haji. Bilamana belum mumayyiz, maka walinya atau orang tuanya yang harus melakukannya.
Baca juga: PENGERTIAN ZAKAT, LENGKAP!
Tanggung Jawab dan Pahala dalam Pelaksanaan Ibadah Haji oleh Anak Kecil
Seperti yang telah disinggung sebelumnya bahwa tanggungjawab ibadah haji oleh anak kecil adalah sah. Bila anak kecil tersebut belum mampu melaksanakannya sendiri maka walinya yang melakukannya.
Tanggungjawab ibadah haji tersebut pada hakikatnya masih pada orang tua atau walinya karena anak kecil masih dikatakan belum balig secara Islam bilamana sebelum mencapai akil baligh. Begitu pula terdapat riwayat Ibnu Abbas bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Anak kecil yang dihajikan keluarganya lalu ia dewasa, wajib baginya menunaikan haji lagi.”
Ibadah haji oleh anak kecil yang sebelum mencapai balig maka tetap akan mendapatkan pahala. Merujuk kepada kitab Tuhfat al-Ahwadzi juz 3 halaman 110 terdapat keterangan tentang masalah ibadah haji oleh anak kecil pada intinya bahwa dari Imam Nawawi menegaskan menurut Imam Syafi’i, Malik, Ahmad, dan mayoritas ulama mengatkan pada intinya bahwa haji anak kecil sah serta memperoleh pahala, walaupun tidak mencukupinya dari haji, namun jatuhnya adalah sunnah. Hal ini menjelaskan bahwa anak kecil yang belum balig melakukan ibadah haji tidak mencukupi pada rukun Islamnya yang ke 5, tetapi akan mendapatkan pahala sebagai ibadah sunah.
Referensi:
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-UndangNomor 1 Tahun 1974 tentangPerkawinan
UU No. 16 Tahun 2019tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Kompilasi Hukum Islam
Umami Ulul. 2019. DEFINISI BĀLIGH MENURUT HUKUM ISLAM & HUKUM POSITIF TERKAIT DENGAN KEWAJIBAN ORANG TUA DALAM PEMBERIAN NAFKAH. Skripsi Universitas Negeri Islam Semarang.
https://islam.nu.or.id/syariah/tiga-tanda-seorang-anak-dikatakan-baligh-ZOGmU, diakses pada tanggal 27 Juli 2023 pukul 22.00 WIB.