Esensi Euthanasia
Euthanasia pada dasarnya berasal dari bahasa Yunani yaitu eu yang artinya baik atau tanpa penderitaan dan thanatos yang berarti mati yang dalam arti sebenarnya bukan seseorang yang menyebabkan kematian melainkan perbuatan yang dilakukan tujuannya untuk menghilangkan penderitaan orang yang sedang menghadapi kematian.
Tindakan euthanasia ini merupakan tindakan yang bersifat kesengajaan yang dilakukan oleh tenaga medis atas permintaan yang besangkutan. Euthanasia aktif dan euthanasia pasif merupakan dua jenis tindakan euthanasia.
- Euthanasia aktif merupakan satu perbuatan yang dilakukan oleh tenaga medis dengan cara memberikan obat-obatan yang mempercepat kematian seseorang serta menghentikan semua alat-alat kesesehatan yang sedang dijalani sehingga organ-organ vital seperti jantung dan pernafasan tidak dapat berfungsi dengan baik, sehingga menyebabkan pasien akan meninggal dunia.
- Euthanasia pasif merupakan satu perbuatan yang menghentikan segala perawatan medis yang sedang dijalani dan tidak diberikan obat sama sekali. Biasanya dokter sudah memiliki perhitungan, apabila semua alat bantu kesehatan yang sedang dipakai oleh orang tersebut dilepas, maka orang tersebut akan meninggal dunia. Euthanasia pasif ini biasanya dilakukan apabila ada pasien gawat darurat yang tidak bisa tertolong.
Euthanasia pada dasarnya adalah menghilangkan nyawa seseorang agar terlepas dari segala penderitaan, hal ini biasanya juga ditemukan apabila ada pasien dengan kondisi ekonomi yang rendah sehingga dirinya meminta kepada dokter untuk mengakhiri hidupnya. Berdasarkan hal tersebut euthanasia akhirnya membawa perdebatan, apakah perbuatan tersebut diperbolehkan atau tidak dan apakah hal tersebut benar menurut ilmu kedokteran?
Baca juga: Childfree dalam Perspektif Hukum Islam
Euthanasia dalam Ilmu Kedokteran dan Hukum di Indonesia
Dalam ilmu kedokteran Beauchamp and Childress (1944) menyebutkan setidaknya ada empat prinsip untuk mencapai suatu keputusan, dalam istilah kedokteran ialah “keputusan etik”.
Prinsip tersebut ialah:
- Prinsip otonomi, dalam prinsip ini seorang dokter haruslah menghormati segala keputusan yang dibuat oleh pasiennya, dalam artian dokter menghormati hak asasi manusia yang dimiliki.
- Prinsip beneficience, prinsip ini erat kaitannya dengan moral. Artinya segala tindakan yang dilakukan oleh dokter haruslah memprioritaskan kebaikan pasien. Seorang dokter haruslah berjuang agar pasiennya tetap dalam kondisi yang baik dan terhindar dari kondisi buruk.
- Prinsip non-malficience, hampir sama dengan prinsip beneficience, prinsip non-malficience sejatinya melarang segala tindakan yang pada akhirnya memperburuk keadaan pasien. Prinsip ini dikenal dengan prinsip “primum non nocere” atau “above all do no harm”. Dalam hal ini seorang dokter harus memilih pengobatan yang resikonya sangat kecil.
- Prinsip justice, prinsip ini adalah prinsip yang mengutamakan keadilan bagi pasienya. Keadilan dalam hal ini adalah seorang dokter haruslah memberikan pelayanan yang sama kepada setiap pasiennya.
Berdasarkan prinsip tersebut, pada dasarnya dilarang, namun pada prakteknya di beberapa negara masih ada yang melegalkan perbuatan euthanasia. Salah satu contohnya adalah Belanda yang menjadi negara pertama yang melegalkan praktek euthanasia.
Aturan hukum di Belanda pada akhirnya menerbitkan satu undang-undang yang mengizinkan euthanasia, tepatnya pada tanggal 10 April 2001 dan undang-undang ini dinyatakan berlaku satu tahun setelahnya yakni 1 April 2002. Euthanasia di Belanda boleh diajukan apabila kondisi pasien sudah sangat parah.
Akan tetapi praktek euthanasia secara formal masih dilarang oleh hukum pidana Belanda, namun apabila dokter melakukan perbuatan euthanasia, dokter tersebut tidak dapat dituntut oleh pengadilan asalkan sudah mengikuti prosedur yang sudah ditetapkan.
Berbeda dengan Belanda, Indonesia melarang perbuatan euthanasia. Praktek euthanasia pada dasarnya melanggar Pasal 11 kode etik kedokteran Indonesia tahun 2012 yang menyatakan bahwa “Setiap dokter wajib senantiasa mengingat kewajiban dirinya melindungi hidup makhluk insan”.
Indonesia sendiri belum memiliki aturan khusus mengenai euthanasia, dalam hukum Indonesia praktek euthanasia secara eksplisit diatur dalam KUHP tepatnya pada Pasal 344 dan 304. Dalam Pasal 344 menyatakan “Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”.
Serta dalam Pasal 304 dijelaskan “Barang siapa dengan sengaja menempatkan atau membiarkan seorang dalam keadaan sengsara, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan dia wajib memberi kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”. Konsep euthanasia juga diatur lebih lanjut dalam hukum Islam dan menjadi perdebatan juga di kalangan ulama-ulama.
Kedudukan Euthanasia Dalam Hukum Islam
Pro dan kontra terkait praktek euthanasia ini juga terjadi dalam hukum Islam serta ulama-ulama Islam. Sama halnya seperti hukum positif di Indonesia, dalam hukum Islam juga belum memiliki kejelasan mengenai boleh atau tidaknya praktek euthanasia. Dalam artian praktek euthanasia tindakan yang menimbulkan ketidakpastian, apakah tindakan ini menimbulkan dosa atau tidak.
Namun ada satu hal yang pasti, apabila praktek euthanasia dilakukan secara aktif yang dilakukan berdasar keinginan dari dokter itu sendiri tanpa adanya kesepakatan dari pihak keluarga dan pasien itu sendiri merupakan perbuatan yang diharamkan dan menimbulkan dosa (jarimah).
Pada dasarnya kehidupan dan kematian yang menentukan ialah Allah SWT. Perbuatan merenggut kehiduapan orang yang menderita terkhususnya karena praktek euthanasia tidak dapat dibenarkan. Islam pada hakikatnya mengajarkan pada umatnya untuk selalu sabar dan berprasangka baik dalam menghadapi segala ujian yang diberikan kepada hambanya. Nabi SAW bersabda:
”Jika seseorang dicintai Allah maka ia akan dihadapkan kepad acobaan yang beragam”.
Dalam QS Az Zumar ayat 53 mengatakan:
“Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari ramat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah yang maha pengampun lagi maha penyayang”.
Larangan praktek euthanasia aktif dijelaskan dalam kitab Al-Quran serta Hadits. Dalam Al-Quran pada QS. Al-An’amayat 151 yang menyatakan:
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu sebab yang benar”.
Adapun pembunuhan yang dikecualikan dalam ayat ini, contohnya seperti membunuh pada saat perang dalam membunuh kaum kafir.
Sebagaimana yang tertera dalam QS. An- Nisa ayat 29:
”Dan janganlah kamu membunuh dirimu sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepadamu”
Yang berarti Islam sejatinya tidak mengindahkan pembunuhan dalam bentuk apapun, terkhusunya praktek euthanasia aktif, umat Islam haruslah percaya bahwa segala ujian pasti memiliki hikmah di dalamnya dan hal tersebut merupakan kuasa dari Allah SWT.
Referensi
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
IndriePrihastuti, “Euthanasia Dalam Pandangan Etika Secara Agama Islam, Medis Dan Aspek Yuridis Di Indonesia”, JurnalFilsafat Indonesia, Nomor 2, Volume 1, Tahun 2018.
TjandraSridjajaPradjonggo, Suntik Mati (Euthanasia) Ditinjau Dari Aspek Hukum Pidana Dan Hak Asasi Manusia Di Indonesia, JurnalIlmiah Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Nomor 1, Volume 1, 2016.
Helly Prajitno Soetjipto, Konteks Dan Konstruksi Sosial Mengenai Kematian Elektif (Euthanasia), BuletinPsikologi, Nomor 1, Volume 8, Tahun 2000.
Muh. Amiruddin, Perbandingan Pelaksanaan Euthanasia Di Negara Yang Menganut Sistem Hukum Eropa Kontinental Dan Sistem Hukum Anglo Saxon, Jurisprudentie, Nomor 1, Volume 4, 2017.
Arifin Rada, Euthanasia Dalam Perspektif Hukum Islam, Perspektif, Nomor 2, Volume 18, 2013.
Respon (6)