Donor ASI dalam Islam
Menjaga kesehatan bayi merupakan salah satu faktor utama dalam proses tumbuh kembang anak, salah satu cara yang dilakukan dalam menjaga kesehatan seorang bayi adalah pemberian nutrisi melalui Air Susu Ibu (selanjutnya disebut ASI). Efektifnya pemberian ASI berjalan hingga bayi mencapai usia 6 (enam) bulan, selanjutnya bayi dapat menerima asupan lainnya demi menjaga tumbuh kembang anak tersebut.
Namun, tidak sedikit ditemukan kendala dalam pemberian ASI yang menyebabkan seorang ibu dapat saja tidak mampu memberikan ASI untuk sang anak, salah satu kendalanya adalah ketika produksi ASI dari sang ibu belum maksimal yang biasanya disebabkan oleh bayi yang lahir secara prematur. Hal lainnya yang menyebabkan seorang ibu tidak dapat memberikan ASI terhadap anaknya, yakni ketika seorang ibu mengidap penyakit yang menular sehingga sebagai langkah pencegahan dengan cara melarang ibu tersebut untuk memberikan ASI terhadap anaknya.
Agama islam sendiri, tidak mengharamkan tindakan pemberian ASI oleh seorang ibu yang bukan merupakan ibu kandung dari si bayi. Akan tetapi, perlu diperhatikan bahwa pemberian ASI kepada seorang bayi yang bukan merupakan anak kandungnya memiliki akibat hukum, yaitu si anak yang diberikan ASI memiliki hubungan anak dan orang tua dengan ibu yang bukan ibu kandungnya sebagai akibat diberikannya ASI terhadapa anak tersebut.
Hal tersebut juga berlaku pada bayi dengan anak dari ibu yang bukan ibu kandungnya jika ibu tersebut memiliki anak maka hubungan antara bayi dengan anak dari ibu pemberi ASI yang bukan merupakan ibu kandungnya adalah saudara sepersusuan (mahrom), tetapi hubungan tersebut tidak berlaku pada hal yang berkaitan dengan pewarisan.
Baca juga: Pengesahan RUU Kesehatan Bermasalah Menuai Banyak Polemik
Dalil dan Fatwa Terkait Donor ASI
Al-Quran sendiri telah menjelaskan perihal donor ASI atau pemberian ASI yang bukan berasal dari ibu kandung dan akibat hukumnya pada hal tersebut, seperti dalam surah Al-Baqarah ayat 233:
Dan ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, bagi yang ingin menyusui secara sempurna. Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut. Seseorang tidak dibebani lebih dari kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita karena anaknya dan jangan pula seorang ayah (menderita) karena anaknya. Ahli waris pun (berkewajiban) seperti itu pula. Apabila keduanya ingin menyapih dengan persetujuan dan permusyawaratan antara keduanya, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin menyusukan anakmu kepada orang lain, maka tidak ada dosa bagimu memberikan pembayaran dengan cara yang patut. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.
Pada surah Ali Imran ayat 23, juga dijelaskan perihal donor ASI serta hubungannya dengan anak dari si pendonor ASI:Dan ibu-ibumu yang menyusui kamu dan saudara-saudara sepersusuanmu.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa akibat dari didnonorkannya ASI kepada seorang bayi, maka pendonor ASI dan anak pendonor ASI merupakan mahrom dari si bayi tersebut. Meskipun hubungan tersebut tidak berlaku pada hal pewarisan. Oleh karena itu, antara bayi dengan anak pendonor merupakan saudara sepersusuan dan merupakan mahrom dari bayi tersebut. Hal ini berkaitan dengan persoalan perihal perkawinan di mana ketika si bayi merupakan mahrom dari saudara sepersesuannya maka memiliki akibat hukum yang sama dengan saudara kandung, yakni antara sesamanya diharamkan untuk menikah. Pada hadits Nabi Muhammad SAWyang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dijelaskan bahwa:
Pernikahan diharamkan (untuk dinikahi) bagi mereka sebagai akibat persusuan serta apa saja yang diharamkan (untuk dinikahi) dari nasabnya. (HR Bukhari, Kitab Al-Syahadaat Bab Al-Syahadatu Ala Al-Ansaab Muslim, Kitab Al-Radhaa’ Bab Yakhrumu Min AlRadhaa’ Maa Yakhrumu Min Al-Wilaadah)
Sehingga dalam penerapannya keluarga bayi dengan pendonor harus saling mengenal satu sama lain, hal tersebut semata-mata mencegah adanya perkawinan antara saudara sepersusuan. Di mana secara hukum islam hal tersebut merupakan perbuatan yang diharamkan.
Baca juga: Beredar Wine Berlabel Halal, Pemerintah Beri Penjelasan
Etika dan Praktik Donor ASI dalam Nilai-Nilai Islam
Majelis Ulama Indonesia (selanjutnya disebut MUI) juga telah menaruh perhatian lebih pada aktifitas donor ASI tersebut, hal itu terbukti dengan dikeluarkannya Fatwa MUI Nomor: 28 Tahun 2013 Tentang Seputar Masalah Donor ASI Ibu (Istirlda’). Adapun dalam ketentuan tersebut dimuat hal-hal yang berkaitan dengan syarat, etika, serta bagaimana praktik donor ASI tersebut, seperti:
- Seorang ibu boleh memberikan ASI kepada anak yang bukan anak kandungnya dengan merujuk ketentuansyar’i
- Ibu yang mendonor ASI bukanlah ibu hamil dan ibu tersebut harus sehat, baik fisik maupun mental
- Pemberian ASI menyebabkan terjadinya mahrom (haram terjadinya pernikahan) sebagai akibat adanya radla’ (persusuan)
- Terjadinya mahrom tersebut sebagai akibat radla’ jika: usia anak yang menerima susuan maksimal dua tahun qamariyah, Ibu pendonor ASI diketahui identitasnya secara jelas, Jumlah ASI yang dikonsumsi sebanyak minimal lima kali persusuan, Cara penyusuannya dilakukan baik secara langsung ke puting susu ibu (imtishash) maupun melalui perahan, ASI yang dikonsumsi anak tersebut mengenyangkan.
- Donor ASI berakibat berlakunya hukum persusuan ketika masuk ASI ke dalam perut seorang anak yang berusia 0 sampai 2 tahun, baik melalui penyusuan maupun perahan.
- Seorang muslimah boleh mendonorkan ASI kepada bayi non muslim atas dasar kebaikan antar manusia.
- Donor ASI tidak untuk dikomersialisasi atau diperjualbelikan, pemberian imbalan berupaujrah (upah) kepada pendonor diperbolehkan, tetapi pemberian tersebut dimaksudkan sebagai jasa pengasuhan anak bukan sebagai jual beli ASI.
Berdasarkan penjabaran fatwa MUI di atas, maka dapat dipahami bahwa terdapat hal-hal penting yang harus diperhatikan dari tindakan pemberian ASI, hal tersebut ditujukan agar donor ASI sesuai dengan nilai-nilai islam. Selain daripada hal tersebut, mengingat ASI merupakan nutrisi yang sangat penting bagi bayi sebagai penunjang tumbuh kembang bayi, maka aspek-aspek kesehatan perlu diperhatikan di mana pada fatwa di atas terdapat pula penjabaran yang berkaitan dengan aspek kesehatan. Oleh karenanya tindakan donor ASI secara hukum islam merupakan perbuatan yang diperbolehkan selama mengikuti etika dan tata cara sesuai dengan fatwa MUI.
Referensi:
Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor28 Tahun 2013 Tentang Seputar Masalah Donor Air Susu Ibu (Istirdla’)
Novita Agustina, ASI dan Manfaatnya, Kementrian Kesehatan Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan, diakses 1 Agustus 2023.
Naeli Rokhmah, Donasi (Donor) ASI, Tinjauan Hukum dan Etika Dalam Islam, NU Cilacap Online, diakses 1 Agustus 2023.