Pengertian dan Konsep Anomi
Teori ini dipublikasikan oleh Emile Durkheim untuk menciptakan kondisi yang kacau tiada peraturan. Kata ini berawal dari bahasa Yunani “a” yang bermakna tanpa serta “nomos” yang bermakna hukum ataupun peraturan.
J. M. Van Dick, H. I. Sagel Grande, Dan L.G. Toornvliet (1996: 133-143) berpendapat bahwasanya teori anomi termasuk pada gabungan teori-teori ketertinggalan masyarakat. Teori lain yang termasuk pada teori-teori ketertinggalan masyarakat merupakan teori subkultur delinkuen, teori Cloeard serta Ohlin, serta teori kriminologi ekologis.
Teori anomi disampaikan oleh Sosiolog Perancis, Emille Durkheim (1858-1917), serta Robert Merton. Pandangan Durkheim disampaikan terlebih dahulu diperbandingkan Merton. Durkheim memakai kosakata anomi buat menyatakan suatu situasi akan menghadapi deregulasi.
Baginya pergeseran sosial yang gesit serta menegangkan pada masyarakat memiliki dampak luas atas seluruh olongan pada masyarakat. Moral-moral penting serta moral yang usai dipersetujui sama masyarakat jadi kabur dan hilang. Situasi tersebut menumbuhkan terlaksananya keraguan norma dan kehilangan norma.
Durkheim menciptakan konsep anomi sebagai situasi pada masyarakat yang terlaksana patah semangat ataupun kehilangan etika. Anomi juga adalah dampak pergeseran bermasyarakat yang gesit. Anomi ada pada masing-masing masyarakat serta bertransformasi tidak sekadar pada wujud kejahatan meskipun juga pada perkara bunuh diri.
Seluruhnya ini terlaksana lantaran ketidakhadiran norma-norma sosial, serta kehilangan pengamatan sosial yang bisa mengarahkan perbuatan menyimpang. Robert Merton selanjutnya mengutarakan bahwasanya perbuatan menyesatkan dipandang sebagai suatu karakter abnormal lantaran perbuatan tersebut bertumpu pada individu. Karakter menyimpang hadir lantaran tampak beberapa orang yang menikmati ketimpangan antara harapan yang dipunyai (goal) dengan cara yang tersedia buat menggapai harapan tersebut. Dalam setiap masyarakat didapati 2 macam etika sosial, yakni tujuan sosial (social goals) serta sarana-sarana yang tersedia (acceptable means).
Berdasarkan dua pendapat, yakni antara Durkheim dengan Merton, menurut Romli Atmasasmita bisa dimengerti bahwasanya, pertentangan antara teori anomi akan disampaikan sama Durkheim bersama Merton ialah teori anomi berawal Merton mengutamakan pada differencial acces to opportunity structure, sementara itu teori anomi berawal Durkheim mengutamakan cukup kehilangan norma (normlesness) dengan tiada menerangkan pokok-pokok terlaksananya kehilangan norma.
Baca juga: Mengenal Lebih Dekat dengan Euthanasia Menurut Hukum Islam
Faktor Pendorong Kriminalitas dalam Teori Anomi
Emile Durkheim yakni salah satu perancang yang mampu diklasifikasikan seumpama fungsionalis, serta pemberian gagasannya mengenai radikalisme (violence) yakni diintrodusirnya prinsip anomi, suatu prinsip sosiologi yang sama Emile Durkheim arti menerangkan situasi psikologi yang merasa asing (estranged) sebagai dampak terlepasnya ataupun lenyapnya rasa manusiawi dalam lingkungan kehidupan (uprooted), serta perniagaan meyakini Emile Durkheim yakni pemicu yang dapat membangkitkan situasi anomi tersebut.
Lewat kebijakan itu radikalisme diartikan bagai dampak semenjak pergeseran sosial perniagaan yang tanpa disertakan sehubungan pergeseran kaidah akhirnya keluar kesenjangan di masyarakat dalam melawan situasi tersebut.
Apabila moral yang mau diraih dalam masyarakat tanpa mempunyai kesiapan sarana dalam mekanisme perwujudan maksud, maka berbentuk penyimpangan dari ketertiban bakal bangkit, semisalnya dalam perihal ini radikalisme, akhirnya radikalisme yakni wujud reaksi yang alamiah mengenai masalah yang ada.
Atensi lain dari Robert K. Merton berasaskan karena beragam lembaga sosial yang ada dalam masyarakat, terpenting selama ikatannya sehubungan fungsi institusi, yakni diluaskannya kosa kata fungsi manifes (Manifest Functions) serta fungsi laten (Latent Functions) fungsi manifes merujuk pada peran yang sungguh-sungguh ditekadkan sekalipun fungsi laten yakni fungsi yang tanpa ditekadkan bermula penemuan suatu teknik ataupun lembaga sosial dalam masyarakat. Berseberangan lewat opini serta usulan fungsionalisme, teori konflik terbangun saat skema menyerang secara langsung mengenai teori fungsionalisme struktural serta Dahrendorf ditaksir selaku figur pokok teori konflik.
Baca juga: Teori-teori Hukum
Kritik dan Perdebatan Teori Anomi
Traub serta Little (1975) membagikan kritiknya sebagai berikut: Teorianomie nampaknya berprinsip bahwasanya di setiap masyarakat ditemukan moral-moral serta etika-etika yang berpengaruh yang dipersetujui sebagian luas masyarakatnya, serta teori ini tiada menerangkan dengan cara layak mengapa cuma individu-individu tersendiri dari kelompok masyarakat bawah akan melaksanakan penyimpangan.
Penjabaran Merton sama sekali tanpa meninjau alasan-alasan korelasi pribadi buat jadi deviant serta juga tiada mengamati ikatan kuat antara kecakapan sosial dengan keinginan bahwasanya seseorang demi menerima cap secara resmi sebagai deviant.
Cullen (1983) mengutarakan kritiknya berikut ini:
- Bahwa Durkheim tanpa dengan cara nyata menguraikan sifat dari suasana sosial yang masih terlaksana. Meskipun Durkheim mengungkapkan penjelasan-penjelasan awam melalui merujuk pada istilah common ideas, beliefs, customs, tendencies, danopinions. Tetapi penjelasan-penjelasan tersebut terlihat independen serta berkarakter eksternal berawal pemahaman individu.
- Durkheim tidak berubah dalam menguraikan bagaimana “currentanomy”mengakibatkan bunuh diri. Ia setidaknya sudah mengarahkan current anomy pada bunuh diri, bahwasanya perkara-perkara yang serempak semisalnya perceraian serta kedamaian yang mengejutkan mengarah mencetuskan bunuh diri.
- Dalam seluruh catatannya mengenai suicide, Durkheim tak sukses membicarakan bagaimana suasana sosial bisa membuat penyimpangan perbuatan di dalam masyarakat.
Referensi
Erisamdy Prayatna, Teori-Teori dalam Kriminologi, erisamdyprayatna.com, diakses pada tanggal 28 Juli 2023.
Hardianto Djanggih dan Nurul Qamar, “Penerapan Teori-Teori Kriminologi.
Dalam Penanggulangan Kejahatan Siber (Cyber Crime)”, Pandecta, No. 1 Vol. 13 Juni 2018.
Angga Natalia, “Faktor-Faktor Penyebab Radikalisme Dalam Beragama.
(Kajian Sosiologi Terhadap Pluralisme Agama Di Indonesia)”, Al-Adyan, No. 1 Vol. 9 Januari-Juni 2016.
Respon (1)