PINTER HUKUM
#1 Platform for Legal Education and Consulting • Penyedia Layanan Jasa Hukum Terlengkap dan Terpercaya di Indonesia

Hak Asuh Anak (Hadhanah) Menurut Hukum Islam

Hak Asuh Anak

Hak Asuh Anak (Hadhanah) Menurut Hukum Islam

Berbicara mengenai kasus perceraian, biasanya tak lepas dari masalah hak asuh anak yang juga merupakan dampak dari perceraian itu sendiri. Kewajiban untuk mengasuh merupakan sebuah keharusan sebagaimana Pasal 45 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan). 

Dalam Islam, konsep hak asuh anak biasa dikenal sebagai Hadhanah. Q.S. Al-Baqarah ayat 233 merupakan dasar hukum utama dalam Islam mengenai Hadhanah, menjelaskan bahwasanya kewajiban memelihara anaknya terus berlanjut sampai memasuki usia Tamyiz, baik dalam masa perkawinan maupun sudah bercerai.

Baca juga: Pahami! Hak Asuh Anak dalam Pandangan Islam

Dalam artikel ini, akan dibahas mengenai pengertian hak asuh anak (hadhanah), rukun dan syarat hak asuh anak (hadhanah), serta macam-macam hak asuh anak (hadhanah).

Pengertian Hak Asuh Anak

Secara etimologis, kata hak asuh anak (Hadhanah) berasal dari kata hadhan, yahdun, hadnan, ihtadhana, hadinatun, dan hawadin dalam Bahasa Arab, yang memiliki arti mengasuh anak, pengasuh anak, ataupun memeluk anak.

Diperkuat dengan pendapat Muhammad bin Ismail Al Amir, bahwa kata Hadhanah bermula dari kata ahdhan dengan kasrah huruf “ha” yang merupakan masdar dari kata hadhanah syabiyyah yang artinya dia mengasuh atau memelihara bayi.

Adapun secara terminologis, hak asuh anak (hadhanah) adalah merawat dan mendidik seseorang yang belum mumayyiz atau yang kurang mampu kecerdasannya, karena mereka tidak atau belum mampu memenuhi kebutuhan nya sendiri.

Pengertian ini diperkuat dengan pendapat Abdul Azis Dahlan, bahwa Hadhanah adalah wewenang untuk merawat dan mendidik anak yang belum mumayyiz atau orang dewasa tetapi kehilangan akal atau kecerdasan berpikirnya.

Jadi, Hadhanah dapat diartikan sebagai kewenangan untuk mengasuh, merawat, dan mendidik anak yang belum mumayyiz. Adapun dalam konteks perceraian, Hadhanah adalah hak untuk mengasuh, merawat, dan mendidik anak yang belum mumayyiz akibat dari putusnya perkawinan.

Rukun dan Syarat Hak Asuh Anak (Hadhanah)

Menurut Amir Syarifuddin dalam bukunya yang berjudul Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, terdapat 2 rukun Hadhanah, yaitu:

  1. Hadhin, atau bisa diartikan sebagai orang yang mengasuh;
  2. Mahdhun, yaitu anak yang diasuh.

Adapun syarat-syarat Hadhanah sebagai berikut:

  • Syarat Hadhin
  1. Beragama Islam, yaitu orang yang mengasuh anak tersebut haruslah beragama Islam. Sebab, Hadhanah berhubungan erat dengan perwalian;
  2. Dewasa, yang dapat diartikan sebagai orang yang mampu mengurus dirinya sendiri dan orang lain;
  3. Berakal Sehat, yang dapat diartikan sebagai orang yang tidak memiliki gangguan kejiwaan. Sebab, hal tersebut tentu membahayakan anak;
  4. Mampu Mendidik, yang dapat diartikan bahwa orang tersebut haruslah mampu dalam hal fisik dan batinnya;
  5. Merdeka, yaitu tidak diperbolehkannya seorang budak untuk mengurus anak. Sebab, mengurus anak tentunya akan menjadi beban tersendiri bagi seorang budak yang pekerjaannya menuruti perintah tuannya;
  6. Amanah, yaitu orang tersebut dapat dipercaya dalam mengurus anak dan tidak menelantarkannya;
  7. Ibu tidak menikah lagi.
  • Syarat Mahdhun
  1. Anak-anak. Dalam konteks hukum islam, anak belum mumayyiz.
  2. Belum sempurna akalnya.

Macam-macam Hak Asuh Anak (Hadhanah)

Dalam konteks Perceraian, umumnya hak asuh diutamakan ke ibu. Namun, ada bebrapa kondisi yang membuat hak asuh tersebut teralihkan kepada ayah ataupun pihak lain, sebagaimana merujuk pada Pasal 156 huruf c Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Berikut macam-macam pembagian Hadhanah akibat perceraian:

  • Hadhanah Anak di Bawah 5 Tahun.

Biasanya, hakim akan mempertimbangkan siapa diantara ayah dan ibu dari anak tersebut yang lebih layak untuk mendapatkan hak asuh. Namun, apabila merujuk pada Pasal 105 KHI, hak asuh anak yang usianya masih di bawah 12 tahun akan diberikan kepada ibu. Meski begitu, ayah tetap akan menanggung seluruh biaya yang dibutuhkan untuk memelihara, merawat, dan mendidik anak tersebut.

Akan tetapi, ibu juga bisa kehilangan hak asuhnya dan beralih ke ayah. Sebab-sebab ibu kehilangan hak asuh yaitu:

  1. Masuk penjara;
  2. Berperilaku buruk;
  3. Tidak bisa menjamin kesehatan jasmani dan rohani anaknya.
  • Hadhanah Anak Perempuan.

Dasar hukum untuk menentukan hak asuh anak perempuan sebenarnya sama dengan anak dibawah 5 tahun. Bahwa apabila anak masih dibawah 12 tahun, maka hak asuh anak lebih mengutamakan ibu. Namun, apabila anak sudah berumur lebih dari 12 tahun, anak tersebut berhak menentukan orang tua mana yang pantas untuk dirinya.

  • Hadhanah Jika Istri Meminta Cerai.

Pada kasus ini, ketentuan hak asuh anak sebenarnya masih sama dengan poin 1 dan 2. Namun, alasan-alasan istri meminta cerai bisa menyebabkan perubahan hak asuh tersebut jatuh kepada seorang ayah. Misalnya karena kesibukan istri dalam bekerja, yang menyebabkan kekhawatiran penelantaran anak tersebut.

  • Hadhanah Jika Istri Terbukti Selingkuh.

Perilaku selingkuh bisa dikatakan kegagalan istri menjadi ibu apabila merujuk pada Pasal 34 ayat (2) UU Perkawinan. Perilaku istri tersebut dinilai tidak berkelakuan baik dan tidak memiliki kecakapan sebagai seorang ibu, terutama dalam mendidik anaknya. Karenanya, hak asuh akan teralihkan demi kebaikan anak.

Kesimpulan

Dalam Islam, Hadhanah merujuk pada kewenangan untuk mengasuh, merawat, dan mendidik anak yang belum mumayyiz. Rukun Hadhanah terdiri dari hadhin (orang yang mengasuh) dan mahdhun (anak yang diasuh) yang masing-masing memiliki syrat-syaratnya tersendiri.

Baca juga: Hak Anak dan Istri Pasca Cerai

Selain itu, Hadhanah akibat perceraian memiliki berbagai macam, yaitu : a) Hadhanah anak di bawah 5 tahun; b) Hadhanah anak perempuan; c) Hadhanah jika istri meminta cerai; dan d) Hadhanah jika istri terbukti selingkuh.

Referensi

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Instruksi Presiden Republik Indonesia (Inpres) No. 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (KHI).

Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996.

Amir Syaripuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, Kencana: Prenada Media, 2006

Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, Jakarta: PT Mahmud Yunus Wadzurya, 1989.

Muhammad bin Ismail al-Amir, Subulus Salam Syarah Bulughul Maram (Ali Nur Medan, Terjemahan), Jakarta: Darus Sunnah, 2012.

Dudung Maulana, “Telaah Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam Tentang Hadhanah”, Posita: Jurnal Hukum Keluarga Islam, No.01, Vol.01, 2023.

Respon (1)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *