Pengertian Syarat dan Rukun
Rukun yaitu sesutu yang mesti ada yang menentukan sah dan tidaknya seuatu pekerjaan (ibadah), dan sesuatu itu termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu, seperti membasuh muka untuk wudhu’ dan takbiratul ihram untuk sholat.
Syarat yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), tetapi sesuatu itu tidak termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu, seperti menutup aurat untuk sholat.
Sah yaitu sesuatu pekerjaan (ibadah) yang memenuhi rukun dan syarat.
Baca juga: Ayah Angkat dan Ayah Tiri Sebagai Wali Nikah, Boleh?
Rukun perkawinan
Jumhur ulama sepakat bahwa rukun perkawinan itu terdiri atas:
-
Adanya calon suami dan istri yang akan melakukan perkawinan.
-
Adanya wali dari pihak calon pengantin wanita.
Akad nikah akan dianggap sah apabila ada seorang wali atau wakilnya akan menikahkannya, berdasarkan sabda nabi SAW yang artinya:
“perempuan mana saja yang menikah tanpa seizing walinya, maka pernikahan batal”
Dalam hadis lain, yang artinya;
“janganlah seorang perempuan menikahkan perempuan lainnya, dan janganlah seorang perempuan menikahkan dirinya sendiri”.
-
Adanya dua orang saksi.
Pelaksanaan akad nikah akan sah apabila dua orang saksi yang menyaksikan akad nikah tersebut, berdasarkan sabdu nabi SAW yang artinya:
“tidak ada nikah kecuali terdapat wali dan saksi yang adil”.
-
Sighot akad nikah, yaitu ijab qabul yang diucapkan oleh wali atau wakilnya dari pihak wanita, dan dijawab oleh calon pengantin laki-laki.
Tentang jumlah rukun nikah ini, para ulama berbeda pendapat:
Imam malik mengatakan bahwa rukun nikah itu ada lima macam, yaitu:
1. Wali dari pihak perempuan
2. Mahar
3. Calon pengantin laki-laki
4. Calon pengantin perempuan
5. Sighot akad nikah
Imam syafi’I berkata bahwa rukun nikah ituada lima macam, yaitu:
1. Calon pengantin laki-laki
2. Calon pengantin perempuan
3. Wali
4. Dua orang saksi
5. Sighat akad nikah
Menurut ulama Hanafiyah, rukun nikah itu hanya ijab dan Kabul saja (yaitu akad yang dilakukan oleh pihak wali perempuandan pengantin laki-laki).
Sedangkan menurut segolongan yang lain rukun nikah itu ada empat, yaitu:
1. Sighot
2. Calon pengantin perempuan
3. Calon pengantin laki-laki
Pada garis besarnya syarat-syarat sahnya perkawinan itu ada dua:
1. Calon mempelai perempuannya halal dikawini oleh calon mempelai laki-laki.
2. Akad nikahnya dihadiri oleh para saksi
Secara terperinci sebagai berikut:
1. Syarat-syarat kedua mempelai
A. Syarat-syarat pengantin pria
1. Beragama islam
2. Jelas bahwa dia betul laki-laki
3. Orangnya diketahui dan tertentu
4. Calon mempelai laki-laki Jelas halal kawin dengan calon istri
5. Calon mempelai laki-laki tahu pada calon istri serta tahu betul calon istrinya halal baginya
6. Calon suami rela (tidak dipaksa) untuk melakukan perkawinan itu
7. Tidak sedang melakukan ihram
8. Tidak mempunyai istri yang haram dimadu dengan calon istri
9. Tidak sedang mempunyai istri empat
B. Syarat-syarat pengantin perempuan
1. Beragama islam atau ahli kitab
2. Jelas bahwa dia betul wanita
3. Wanita itu tentu orangnya
4. Halal bagi calon suami
5. Wanita itu tidak dalam ikatan perkawinan dan tidak dalam masa ‘iddah
6. Tidak dipaksa
7. Tidak dalam keadaan ihram haji atau umroh
C. Syarat-syarat wali
Wali hendaklah seorang laki-laki, muslim, baligh, berakal, dan adil (tidak fasik).
D. Syarat-syarat saksi
Saksi yang menghadiri akad nikah haruslah dua orang saksi laki-laki, muslim, baligh, berakal, melihat dan mendengar serta mengerti (paham) akan maksud akad nikah.
Tetapi menurut golongan hanafih dan hambali, boleh juga saksi itu satu orang lelaki dan dua orang perempuan. Dan menurut hanafih, boleh dua orang buta atau dua orang fasik. Orang tuli, orang tidur, dan orang mabuk tidak boleh menjadi saksi.
Ada yang berpendapat bahwa syarat-syarat saksi itu adalah sebagai berikut:
– Berakal, bukan orang gila
– Baligh, bukan anak-anak
– Merdeka, bukan budak
– Islam
– Kedua orang saksi itu mendengar
Undang-Undang Republik Indonesia Nomer 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Bab II
Syarat-syarat perkawinan
Pasal 6
Perkawinan harus berdasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai
Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua
Dalam hal salah seorang dari dua orang tua telah meninggal dunia ataua dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.
Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga mempunyai hubungan darah dalam garis keterunan lurus ke atas sekama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.
Baca juga: Pernikahan Sirih antara Pelakor dan Suami-beristri apakah sah dimata hukum?
Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat (2), (3), dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka pengadilan dalam daerah hokum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3), dan (4) pasal ini.
Ketentuan tersebut ayat (1) sampai ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hokum masing-masing agamnya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan menentukan lain.
Pasal 7
Perkawinan hanya diizinkan jika pria sudah mencapai umur 19 (Sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.
Dalam hal penyimpangan dalam ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun wanita.
Ketentuan-ketentuan ini mengenai keadaan salah seorang atau kedua orang tua tersebut dalam pasal 6 ayat (3) dan (4) undang-undang ini, berlaku juga dalam hal permintaan dispensasi tersebut ayat (2) pasal ini dengan mengurangi yang dimaksud dalam pasal 6 ayat (6).
Pasal 8
Perkawinan dilarang antara dua orang yang:
Berhubungan darah dalam garis keterunan lurus ke bawah ataupun ke atas;
Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya;
Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu, dan ibu/bapak tiri;
Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi/paman susuan;
Berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri, dalam hal suami beristri lebih dari seorang;
Mempunya hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.
Pasal 9
Seorang yang masih terikan tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal yang tersebut pada pasal 3 ayat (2) dan pasal 4 undang-undang ini.
Pasal 10
Apabila suami dan istri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka diantara mereka tidak boleh melangsungkan perkawinan lagi, sepanjang hokum masing-masaing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.
Pasal 11
Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu.
Tenggang waktu jangga waktu tunggu tersebut ayat (1) akan diatur dalam peraturan pemerintah lebih lanjut.
Kompilasi Hukum Islam
Buku 1
Hokum perkawinan
Bab IV
Rukan dan syarat perkawinan
Bagian kesatu
Rukun
Pasal 14
Untuk melaksanakan perkawinan harus ada:
1. Calon suami:
2. Calom istri:
3. Wali nikah:
4. Dua orang saksi dan: