PINTER HUKUM
#1 Platform for Legal Education and Consulting • Penyedia Layanan Jasa Hukum Terlengkap dan Terpercaya di Indonesia
Dialog  

Pernikahan Sirih antara Pelakor dan Suami-beristri apakah sah dimata hukum?

islam

Daftar Isi

Pertanyaan

Bagaimana status pernikahan sirih seseorang dengan pelakor?

Jawaban

Pengertian Pelakor

Pelakor identik dengan seorang perempuan yang melakukan perebutan seorang laki-laki dari pernikahan lain yang sah secara hukum. Perebutan tersebut kemudian dikenal dengan istilah perselingkuhan.

Perbuatan ini kerap sekali mudah dilancarkan oleh suami sah dalam suatu pernikahan bersama pasangan selingkuhannya karena dilakukan secara sembunyi-sembunyi dari istri sah.

Walaupun demikian, aksi pasangan yang berselingkuh dengan pelakor tetap tidak diperbolehkan dalam hukum positif yang berlaku di Indonesia.

Baca juga: Perbedaan Acara Pemeriksaan Biasa, Cepat, dan Singkat

Menurut Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagai dasar hukum perkawinan di Indonesia menentukan tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang maha esa.

Dengan kehadiran seorang pelakor, maka akan dapat menjadi pemicu retaknya hubungan suatu rumah tangga.

Pernikahan Sirih menurut Hukum Positif

Problematika hubungan antara pelakor dan pasangan suami sah tidak hanya sampai disitu saja, keabsahan pernikahan sirih yang pada praktiknya, dilakukan oleh keduanya, kerap mengundang segudang pertanyaan, tentang bagaimana legalitas pernikahan sirih untuk hubungan pelakor dan suami sah.

Baca juga: Pengertian Residivis Dalam Hukum Pidana

Sebagaimana kita ketahui, hukum positif di Indonesia tidak mengenal terminologi Nikah Sirih (perkawinan sirih), dikarenakan pada praktiknya, perkawinan sirih dilakukan tanpa wali sebab tidak memperoleh izin dari istri sah dan untuk merahasiakan hubungan perkawinan dari pihak istri sah serta perkawinan sirih tidak dicatatkan pada kantor pegawai pencatat nikah, dalam hal ini Kantor Urusan Agama (KUA) bagi yang beragama islam dan Kantor Catatan Sipil bagi yang beragama selain islam.

Syarat sah nya suatu perkawinan

Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menyebutkan :

“Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu” yang berarti bahwa hukum agama serta kepercayaan para penganutnya adalah syarat utama perkawinan yang digariskan dalam Undang-undang Perkawinan dan tidak dilarang selama tidak bertentangan dengan agama serta kepercayaan para penganutnya.

Baca juga: Eksistensi Restorative Justice Dalam Hukum Positif Indonesia

Namun, di sisi lain, ada kewajiban yang harus dipenuhi oleh pasangan yang melangsungkan pernikahan untuk mencatatkan pernikahannya menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku guna mendapatkan akta perkawinan sebagai bukti telah terjadinya suatu perkawinan.

Tentulah untuk mendaftarkan perkawinan kedua dari suami sah, harus mendapatkan persetujuan atau izin terlebih dahulu dari istri sah pernikahan sebelumnya, sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 3 Ayat (2) dan pasal 5 Ayat (1) huruf a Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan:

Pasal 3 Ayat (2)

“Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan”

Pasal 5 Ayat (1) huruf a

“Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 Ayat (1) Undang-undang ini, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut (a) adanya persetujuan dari istri-istri

Akibat hukum yang akan ditimbulkan dari pernikahan sirih antara pasangan pelakor dan suami sah adalah ketiadaan status hukum dari anak dan istri yang diperoleh dari pernikahan sirih di hadapan negara.

Baca juga: Negara Hukum Tapi Masih Marak Pelanggaran, Yuk Simak Faktanya Di Indonesia!

Kesimpulan

Dengan demikian, walaupun pernikahan sirih antara pasangan pelakor dan suami sah telah memenuhi persyaratan sah suatu pernikahan menurut Undang-undang Perkawinan di Indonesia karena telah sah secara agama dan kepercayaan.

Pernikahan sirih tersebut pada praktiknya tetap harus mendapatkan persetujuan atau izin terlebih dahulu dari istri sah perkawinan sebelumnya.

Sumber Referensi:

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *