PINTER HUKUM
#1 Platform for Legal Education and Consulting • Penyedia Layanan Jasa Hukum Terlengkap dan Terpercaya di Indonesia
Opini  

Resentralisasi Kewenangan Izin Usaha Tambang Dalam Dimensi Hubungan Kekuasaan Pemerintah Pusat Dan Daerah

Izin Usaha Tambang

Penguasaan Sumber Daya Alam

Di dalam ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia pada pasal 33 ayat 3 telah mengatur bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Suasana kebatinan yang dijelaskan pada norma konstitusi tersebut ialah arah penguasaan sumber daya alam nasional dikuasai oleh Negara dengan tujuan untuk kemakmuran rakyat.

Prinsip dikuasai Negara dan prinsip untuk kemakmuran rakyat adalah klausul yang saling berkaitan yang apabila terpisahkan akan menyebabkan terjadi monopoli sumber daya alam. Dalam tafsiran yang disampaikan oleh Mahkamah Konstitusi sebagai The Guardion of Constitution bahwa dikuasai oleh Negara ialah makna penguasaan oleh Negara dalam arti luas yang bersumber dari konsep kedaulatan rakyat atas segala sumber kekayaan bumi, dan air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya, termasuk pula di dalamnya pengertian kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber-sumber kekayaan tersebut.

Rakyat secara kolektif tersebut itu dikonstruksikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 memberikan mandat kepada Negara untuk mengadakan kebijakan (beleid) dan tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad), dan pengawasan (toezichthoudensdaad) untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Hal ini, Demi terwujudnya pembangunan yang berkelanjutan, tujuan dari pengelolaan SDA dalam konteks ini juga harus dirancang sedemikian rupa sehingga dapat menyokong pembangunan yang berkelanjutan.

Penafsiran MK tersebut menjelaskan tentang konsep penguasaan Negara berasal dari kedaulatan rakyat yang secara tersirat bukan dimiliki secara absolut namun dalam mekanisme menjalankan kewenangan untuk membuat kebijakan dan tindakan pengurusan, pengaturan, pengelolaan dan pengawasan yang berorientasi pada kemakmuran rakyat.

Sumber daya alam merupakan potensi yang dimiliki oleh seluruh elemen mahluk hidup yang dalam dimensi pengelolaan dan pendayagunaannya diatur oleh Negara melalui kebijakan seperti UU Minerba, UU Kehutanan, UU Minyak Bumi dan Gas serta atribusi yang diberikan oleh UUD 1945 kepada daerah untuk mengatur SDA yang berpotensi di wilayah daerah melalui instrument UU PEMDA.

Dalam pandangan yang disampaikan oleh Moh. Mahfud MD bahwa hak menguasai Negara seharusnya justru memberi jalan bagi tindakan responsive lainnya karena dari hak tersebut pemerintah dapat melakukan tindakan-tindakan yang berpihak bagi kepentingan masyarakat.

Menurut Martwa SW Sumardjono tentang kewenangan Negara harus dibatasi dengan dua hal, yakni:

Pertama, hal-hal yang diatur oleh Negara tidak boleh berakibat pelanggaran hak asasi manusia yang dijamin oleh UUD 1945.

Kedua, pembatasan yang bersifat substantif dalam arti peraturan yang dibuat oleh Negara harus relevan dengan tujuan yang hendak dicapai, yaitu untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Izin Usaha Tambang

Pemerintah pusat dan pemerintah daerah sebagai wujud representasi dari Negara tentu harus membuat pengaturan hukum tentang pengelolaan SDA yang membuka ruang alternatif bagi rakyat dalam menunjang kontribusi perekonomian nasional melalui kewenangan-kewenangan yang telah diatribusikan oleh UUD 1945.

Dalam konteks hukum pertambangan dan mengenai aktifitas pertambangan, dalam UU Minerba No. 3 Tahun 2020 tentang perizinan pertambangan (IUP) Izin Usaha Pertambangan memiliki keterkaitan dengan kontrol hubungan kekuasaan pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

Hubungan kekuasaan ini menjadi isu hukum ketika kewenangan izin tambang ternyata telah bernafaskan sentralistik lagi yang sebelumnya melalui pelimpahan kewenangan desentralisasi dalam konsep otonomi daerah yang diberikan kepada daerah melalui UU No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah.

Adanya efek penarikan kembali kewenangan kepada pemerintah pusat telah menunjukkan adanya suasana disharmonisasi pengaturan hukum positif yang berlaku di Indonesia dengan hubungan peraturan perundang-undangan tentang pertambangan dan peraturan pemerintah daerah dalam dimensi kontrolitas hubungan kekuasaan pempus dan pemda melalui otonomi daerah.

Konsep Pembagian Sistem Otonomi Daerah
Sumber Bagan: Bambang Karsono dan Amalia, Buku Ajar Otonomi Dearah Dan Pasal 18 UUD NRI 1945, Telah Dimodifikasi Oleh Penulis

Sebenarnya, soal pergeseran izin pengelolaan tambang mineral dan batubara yang dialihkan ke pemerintah daerah sebelum seperti yang terjadi saat ini yang ditarik kembali kewenangannya pada pemerintah pusat melalui haluan politik hukum mengenai hubungan pempus dan pemda dari asas dekosentrasi yang bernuansakan sentral menjadi desentralisasi yang bernuansakan semangat kedaerahan melalui otonomi daerah dengan pelimpahan kewenangan yang bersifat seluas-luasnya sesuai dengan norma konstitusi UUD 1945 BAB Pemerintahan Daerah pada pasal 18, 18A dan pasal 18B.

Landasan konstitusional inilah yang menjadi semangat dalam mengatur dan mengurusi kewenangan rumah tangganya sendiri melalui otonomi yang seluas-luasnya yang juga menyangkut perihal kewenangan dalam mengatur dan memberikan izin pertambangan serta mengelola melalui instrument hukum pemerintah daerah yakni Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah.

Namun, perjalanan historisnya pada saat penerbitan dan yang dikeluarkan oleh pemerintah tentang UU Minerba No. 4 Tahun 2009 yang saat ini berdasarkan dengan status a quo yaitu UU Minerba No. 3 Tahun 2020 antara UU PEMDA selaras dalam soal kewenangan tata kelola tambang mineral dan batubara dengan adanya semangat otonomi daerah  dimana pemda melalui daerah Kabupaten/Kota memiliki kewenangan terkait hal tersebut kemudian ditarik kembali melalui garis kebijakan pemerintah perihal kewenangan perizinan pertambangan dari pemda Kab/Kota telah dibagi antara pempus dan pemda provinsi pada UU Pemda yang dijelaskan pada pasal 14 ayat 1 yang berbunyi “Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan bidang kehutanan, kelautan, serta energi dan sumber daya mineral dibagi antara Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi”.

Suasana yang tergambarkan dalam pasal tersebut tidak lagi memberikan kewenangan segala hal yang berkaitan dengan penjelasan pasal tersebut, karena kewenangan sudah terbagi menjadi kewenangan pemerintah pusat dan pemerintah provinsi.

Melihat kompleksitas yang terjadi, adanya disharmonisasi dan tidak koheren antara UU PEMDA 2014 dengan UU Minerba No. 3 Tahun 2020 atas perubahan UU No. 4 Tahun 2009 tentang aturan kelola pertambangan yang mencederai semangat otonomi yang seluas-luasnya dalam hal pengelolaan pertambangan ditarik ke nuansa sentralistik oleh UU PEMDA 2014 sehingga memberikan dampak wilayah kabupaten/kota memiliki kehilangan kewenangan perihal pengelolaan pertambangan ditambah lagi saat ini atribusi yang sebelumnya diberikan pada pemerintah daerah provinsi tentang pengelolaan izin tambang batu bara menjadi kewenangan pemerintah pusat melalui UU Minerba No.3 Tahun 2020 dan ini juga pasti berdampak pada pendapatan asli daerah (PAD) bagi wilayah potensial pertambangan seperti salah satunya Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Sejatinya, tujuan hukum pada intinya adalah menciptakan tatanan masyarakat yang tertib. Dalam dimensi hubungan kekuasaan yang stabil dan optimal terhadap peran pemerintah pusat dan pemerintah daerah mengenai pengelolaan izin usaha tambang.

Dalam UU No 3 Tahun 2020 banyak meniadakan kewenangan pemerintah daerah dalam penyelenggaraan pertambangan minerba sehingga mengesampingkan asas desentralisasi dan berujung menuju rezim sentralistik dimana seluruh kewenangan penguasaan pertambangan mineral dan batubara berupa kebijakan (beleid), pengaturan (regelendaad), pengurusan (bestuursdaad), pengawasan (toezichthoudensdaad), dan pengelolaan (beheersdaad) ditarik ke pemerintah pusat yang akan berpengaruh terhadap hubungan pusat dan daerah selama undang-undang ini berlaku.

Otoritas perizinan di sektor pertambangan mineral dan batubara yang dijelaskan pada UU PEMDA No. 23 Tahun 2014, diperjelas adanya kewenangan dalam urusan sektor minerba menjadi bagian daripada kewenangan di pempus dan pemda provinsi. Dalam hal ini Pemerintah daerah kab/kota tidak mempunyai kewenangan di bidang terkait perizinan pada subsektor mineral dan batubara.

Sebagai konsekuensi hukum dari sistem desentralisasi tersebut , tidak semua urusan Negara/pemerintah dikelola sendiri Pemerintah pusat. Dalam berbagai urusan pemerintahan bisa juga dipertimbangkan dilaksanakan dengan bantuan pemerintahan dibawahnya melalui konsep otonomi atau tugas pembantu (medebewind).

Struktur pemerintahan pusat diatur oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan peraturan perundang-undangan lainnya (misalnya keputusan MPR, undang-undang, atau keputusan pemerintah daerah secara keseluruhan Urusan pemerintahan dikelola oleh pemerintahan yang berada dibawahnya atau pemerintah daerah disalurkan dari pusat ke daerah atau membantu menjalankan urusan pemerintahan pusat tertentu).

Urusan pemerintahan yang diserahkan dari pusat kepada daerah, menjadi urusan rumah tangga daerah, dan daerah mempunyai kebebasan (verijheid) untuk mengurus dan mengatur sendiri dengan pengawasan dari pemerintah pusat atau suatu pemerintahan yang lebih tinggi tingkatnya dari daerah yang bersangkutan. Dengan tetap adanya pengawasan, kebebasan itu tidak mengadung arti adanya kemerdekaan (onafhankelijk).

Sehingga menurut penulis, dalam praktiknya, hubungan pemerintah pusat dan daerah seringkali menimbulkan gesekan kepentingan. Pada sektor sumber daya mineral dan pertambangan batu bara Negara dalam hal ini pemerintah pusat mempunyai kendali penuh atas pengelolaan pertambangan mineral dan batubara.

Perubahan kebijakan ini tidak bisa dilepaskan dari konteks konfigurasi politik para pemangku kebijakan yang sedang berkuasa. Ketika penguasa baru saja tampil dan menyusun kekuatan, maka dikembangkan kebijakan yang agak terbuka, namun ketika kekuasaan sudah berhasil mengkonsolidasi diri, maka kebijakan bisa dirubah dengan tertutup, otoritarisme, atau totaliterisme.

Sumber Referensi

Dwi Haryadi, 2021, Hukum Pertambangan Minerba, UBB Press: Bangka.

Mahkamah Konstitusi, 2008, Ikhtisar Putusan MK 2003-2008, Jakarta, Sekjen dan Kepaniteraan MK.

Dwi Haryadi, dkk. 2023. Dialektika Unsur Merintangi Kegiatan Usaha Pertambangan Dengan Prinsip Demokrasi. Jurnal Hukum XVII. No. 1.

Moh. Mahduf MD, 2017, Politik Hukum Di Indonesia, PT Raja Grafindo Persada: Jakarta.

Marta SW Sumardjono, 1998, Kewenangan Negara Untuk Mengatur Konsep Penguasaan Tanah Oleh Negara, Pidato Pengukuhan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, 14 Februari 1998.

Elmina A Herista, Faisal, dkk. 2023. Pembelaan Terpaksa Melampaui Batas (Noodweer Exces) Dalam Perkara Pidana Putusan Nomor 34/PID.B/2020/PN MII. Jurnal Ius Civile 7. No. 1.

Emilda Yofita, Erwin Syahruddin, 2020, “Hubungan Pemerintah Pusat Dengan Daerah Dalam Kebijakan Pertambangan Mineral dan Batubara”, Pakuan Law Review, Vol. 6, No. 2.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *