PINTER HUKUM
#1 Platform for Legal Education and Consulting • Penyedia Layanan Jasa Hukum Terlengkap dan Terpercaya di Indonesia

Pertanggung Jawaban Direksi Saat Perusahaan Melukai Lingkungan

Banjir bandang yang terjadi di Aceh dan Sumatra hampir selalu diberi label bencana alam. Padahal, air tidak datang sendiri. Ia membawa jejak deforestasi yang dilegalkan melalui izin usaha, pembukaan hutan yang tak terkendali, serta pengawasan negara yang longgar terhadap aktivitas korporasi di kawasan hulu. Hutan yang semestinya berfungsi sebagai penyangga kehidupan perlahan berubah menjadi lahan produksi, sementara risiko ekologisnya ditanggung oleh masyarakat di wilayah hilir. Kerusakan lingkungan ini merupakan dampak langsung dari tindakan yang tidak bertanggung jawab.

Setiap hujan lebat, pola yang sama kembali terulang. Sungai meluap, permukiman terendam, dan warga dipaksa mengungsi. Namun, setelah air surut, yang tertinggal bukan hanya lumpur dan kerugian, melainkan juga pertanyaan yang jarang dijawab secara serius: siapa yang bertanggung jawab? Narasi bencana alam kerap menjadi jalan pintas untuk menutup mata dari fakta bahwa kerusakan lingkungan merupakan hasil dari keputusan manusia, bukan sekadar kehendak cuaca. Kita harus mulai mengakui bahwa tindakan kita berkontribusi pada kerusakan lingkungan.

Selama deforestasi terus diperlakukan sebagai konsekuensi wajar dari pertumbuhan ekonomi, hukum akan selalu tertinggal di belakang kepentingan bisnis. Kerusakan lingkungan direduksi menjadi risiko usaha, bukan pelanggaran hukum yang menuntut pertanggungjawaban. Dalam kondisi seperti ini, masyarakat terus menjadi korban berulang, sementara para pengambil keputusan di balik meja direksi relatif aman, berlindung di balik badan hukum dan dalih kepatuhan administratif. Untuk itu, perlu adanya kesadaran akan pentingnya perlindungan lingkungan.

Baca Juga: Kekosongan Delik Pasal 114 UU Narkotika dalam KUHP Nasional: Dekriminalisasi Peredaran Gelap Narkotika dan Konsekuensi Yuridisnya

Lebih ironis lagi, kerugian sosial dan ekologis yang ditimbulkan nyaris tidak pernah dihitung secara serius dalam neraca kebijakan. Negara hadir cepat dalam penyaluran bantuan darurat, tetapi lamban ketika harus menelusuri akar masalah dan menegakkan akuntabilitas. Tanpa keberanian untuk menempatkan deforestasi sebagai pelanggaran hukum yang serius, banjir bandang akan terus diperlakukan sebagai peristiwa alamiah, padahal sesungguhnya ia adalah produk dari pembiaran struktural.

Aceh dikenal sebagai salah satu benteng terakhir hutan hujan tropis Sumatra. Namun, pembukaan lahan untuk perkebunan, pertambangan, dan proyek berskala besar telah menggerus fungsi ekologis hutan secara signifikan. Ketika kawasan resapan air hilang, hujan lebat tidak lagi diserap tanah, melainkan berubah menjadi banjir bandang yang menghantam permukiman warga. Dalam konteks ini, bencana bukanlah takdir alam, melainkan akibat dari keputusan manusia khususnya keputusan korporasi.

Pertanyaan krusial yang harus diajukan adalah: siapa yang bertanggung jawab? Apakah cukup hanya menyalahkan perusahaan sebagai badan hukum, ataukah direksi sebagai pengambil keputusan juga harus dimintai pertanggungjawaban?  Jawabannya dapat ditemukan dalam dua instrumen hukum utama, yakni Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT) dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH).

UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas menempatkan direksi sebagai organ yang bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan. Pasal 92 ayat (1) UU PT menegaskan bahwa direksi menjalankan pengurusan perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan. Namun, kepentingan perseroan tidak dapat dimaknai secara sempit sebagai keuntungan ekonomi semata. Dalam konteks perusahaan berbasis sumber daya alam, tujuan perseroan harus sejalan dengan kepatuhan terhadap hukum lingkungan dan perlindungan kepentingan masyarakat.

Dengan demikian, ketika perusahaan melakukan deforestasi yang berujung pada banjir bandang dan penderitaan masyarakat, dapat dikatakan bahwa direksi telah gagal menjalankan prinsip kehati-hatian (duty of care) dan kewajiban fidusia (fiduciary duty). Pasal 97 ayat (3) Pasal 97 ayat (2) dan(3)

“Pengurusan Perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaksanakan setiap anggota Direksi dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab.”

“Setiap anggota Direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian Perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai dalam menjalankan tugasnya.”

UU PT bahkan membuka ruang pertanggungjawaban pribadi bagi direksi yang bersalah atau lalai dalam menjalankan tugasnya. Kerugian yang timbul bukan hanya kerugian finansial perseroan, tetapi juga kerugian hukum akibat tuntutan masyarakat, sanksi administratif, dan rusaknya reputasi perusahaan.

Baca Juga: Ketika Gunung Gundul Bicara: Tanggung Jawab Hukum di Balik Banjir Bandang Sumatera Utara

Penguatan terhadap pertanggungjawaban ini ditemukan dalam UU PPLH. Pasal 69 ayat (1) UU 32/2009 melarang setiap orang melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup. Deforestasi masif yang menghilangkan fungsi hutan sebagai penyangga ekologis jelas memenuhi unsur perusakan lingkungan. Dalam konteks Aceh, kerusakan tersebut terbukti memiliki hubungan kausal dengan terjadinya banjir bandang.

Lebih jauh, Pasal 88 UU PPLH memperkenalkan prinsip strict liability atau tanggung jawab mutlak. Prinsip ini menegaskan bahwa penanggung jawab usaha wajib bertanggung jawab atas kerugian lingkungan tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan. Artinya, perusahaan tidak dapat berlindung di balik dalih izin usaha atau ketidaksengajaan. Prinsip ini penting untuk melindungi masyarakat yang selama ini berada pada posisi lemah dalam menghadapi korporasi besar.

UU PPLH juga membuka ruang pertanggungjawaban pidana terhadap pengurus korporasi. Pasal 116 menyatakan bahwa apabila tindak pidana lingkungan dilakukan oleh atau atas nama badan usaha, maka tuntutan pidana dapat dijatuhkan kepada badan usaha dan/atau pengurusnya. Ketentuan ini sejalan dengan UU PT yang menempatkan direksi sebagai aktor utama pengambil keputusan. Direksi yang mengetahui risiko ekologis namun tetap melanjutkan kegiatan usaha dapat dimintai pertanggungjawaban pidana secara pribadi.

Sering kali, direksi berlindung di balik Pasal 97 ayat (5)

“Anggota Direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) apabila dapat membuktikan:

  1. kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;
  2. telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan;
  3. tidak mempunyai benturan kepentingan; dan
  4. telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut.”

prinsip business judgment rule, dengan alasan bahwa setiap keputusan bisnis mengandung risiko. Namun, prinsip ini hanya berlaku jika keputusan diambil dengan itikad baik, berdasarkan informasi yang memadai, serta tidak melanggar hukum. Keputusan yang mengabaikan dampak lingkungan dan keselamatan masyarakat jelas tidak dapat dibenarkan sebagai risiko bisnis yang wajar.

Kasus banjir bandang di Aceh dan Sumatra harus menjadi momentum untuk menegaskan bahwa badan hukum tidak boleh dijadikan tameng untuk menghindari tanggung jawab individu. Jika hanya perusahaan yang dihukum sementara direksi tetap aman, maka keadilan ekologis tidak pernah tercapai. Masyarakat akan terus menjadi korban, sementara kerusakan lingkungan berulang tanpa efek jera.

Dengan membaca UU PT dan UU PPLH menunjukkan bahwa hukum Indonesia sebenarnya telah memiliki perangkat yang cukup untuk menuntut akuntabilitas korporasi secara utuh. Tantangannya terletak pada keberanian penegakan hukum. Direksi harus diposisikan bukan hanya sebagai penggerak keuntungan, tetapi juga sebagai penjaga keberlanjutan lingkungan dan keselamatan masyarakat. Tanpa itu, banjir bandang akan terus dianggap sebagai bencana alam, padahal sesungguhnya ia adalah akibat dari kebijakan yang abai terhadap hukum dan nurani.

Baca Juga: Etika Pertambangan: Tanggung Jawab terhadap Lingkungan dan Kesejahteraan Masyarakat

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *