Elaborasi Permasalahan
Konstitusi Indonesia, UUD 1945 sudah mengakomodir ketentuan konstitusi hijau atau green constitution kedalam batang tubuhnya. Tepatnya Pasal 28 H Ayat (1), “setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak mendapatkan pelayanan Kesehatan”. Konstitusi hijau itu merupakan usaha untuk memperkuat tekanan kepada negara, pemerintah, dan korporasi agar menjaga kelestarian lingkungan hidup ketika melakukan usaha pertambangan, perkebunan, dan lain-lain.
Jadi jelas, konstitusi hijau adalah sebuah upaya meningkatkan daya paksa hukum agar negara, pemerintah, dan korporasi melakukan pemeliharaan dan perbaikan terhadap lingkungan hidup yang telah dieksploitasi untuk kepentingan pertambangan. Pada nuansanya adanya konsep konstitusi hijau ini adalah sebagai bentuk pembangunan berkelanjutan yang memikirkan nasib masa depan anak cucu akibat dari kegiatan yang merusak lingkungan salah satu contohnya adalah aktifitas pertambangan yang ada di Bangka Belitung.
Eksploitasi yang dilakukan secara terus menerus tanpa adanya program perencanaan reklamasi sudah barang tentu akan menambah dan memperparah kerusakan lingkungan di Bangka Belitung. Eksploitasi yang dilakukan meninggalkan lubang-lubang bekas galian, lahan-lahan yang telah gundul maupun rusaknya habitat yang ada di sekitar lokasi.
Berdasarkan data yang ada di Biro Pusat Statistik Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, tahun 2014, bahwa lahan sangat kritis sampai potensial kritis jumlahnya sudah mendekati 2 juta hektar, yang masih terus akan bertambah manakala tidak ada usaha-usaha konkrit untuk mereklamasi lahan-lahan kritis tersebut. Bahkan kerap kali ditemui aktivitas pertambangan yang luput dari pengawasan sehingga aktivitas pasca tambang pun tidak terakomodir. Realita yang terjadi tidak satu nafas dengan konsep konstitusi hijau yang digariskan dalam UUD 1945.
Faktor Yang Mendasari
Sebenarnya, hal yang mendasari mengapa lingkungan begitu banyak yang rusak akibat dari kegiatan pertambangan ialah disebabkan dari aktifitas pertambangan ilegal yang tidak memiliki kualifikasi perizinan. Data dari Dinas Kehutanan Provinsi Bangka Belitung, tercatat per tahun 2019 ada 200 ribu dari 654 hektar total kawasan hutan yang mengalami kerusakan akibat dari aktifitas pertambangan biji timah yang ilegal.
Kerusakan hutan tersebut tergolong memprihatinkan di wilayah provinsi Bangka Belitung sebagai salah satu daerah penghasil timah terbesar di dunia. Elemen dan komponen masyarakat melalui kerjasama dengan aparat penegak hukum, stackholder, dan pemerintah harus ditingkatkan untuk mencegah tindakan pengrusakan yang lebih parah lagi dari oknum pertambangan yang tidak memiliki legalitas dalam melakukan aktivitas pertambangan.
Menilik Sejarah, Adanya Perubahan Kontrol
Perubahan kontrol terhadap timah terjadi setelah era Reformasi. Menteri Perindustrian dan Perdagangan mengeluarkan keputusan yang tidak lagi mencantumkan kata ‘timah’ dalam daftar barang-barang ekspor yang diawasi atau diatur pemerintah Keputusan Menperindag No. 146/MPP/ Kep/4/1999 tanggal 22 April 1999. Keputusan ini berimplikasi bahwa siapapun berhak memasarkan timah.
Hal ini kemudian diikuti dengan dikeluarkan peraturan daerah Nomor 6 Tahun 2001 yang pada dasarnya memberi akses kepada masyarakat Bangka untuk menambang. Kabupaten Bangka Tengah kemudian mengikuti dengan mengeluarkan Peraturan Daerah Nomor 08 tahun 2007 tentang pokok- pokok pertambangan umum. Hal ini kemudian menjadikan pertambangan di Bangka Belitung tumbuh tanpa terkendali dan pengawasan terhadap lingkungan tidak terlihat sehingga dampak lingkungan dari penambangan ini terlihat jelas. Semua kabupaten di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung telah terjadi perubahan penggunaan lahan karena aktivitas penambangan.
Konsep Restorasi (Pemulihan) Pasca Tambang
Selama ini reklamasi lahan bekas tambang dilakukan dengan menanaman tanaman akasia (A. mangium dan A. auriculiformisi, gamal dan sengon, tanaman lainnya seperti kelapa, jambu monyet, pisang, pepaya, kacang tanah sayuran. Budidaya tanaman tersebut dikombinasikan dengan usaha peternakan ayam yang merupakan sumber bahan organik bagi lahan ini. Namun budidaya pertanian di tailing timah sangat intensif dan membutuhkan masukan modal yang besar dan tentu sulit untuk dilaksanakan oleh petani umumnya.
Pada dasarnya kegiatan reklamasi harus seimbang dengan pembukaan tambang, tetapi sering reklamasi lahan yang sudah dilakukan, kembali rusak yang disebabkan oleh penambangan ilegal yang dilakukan masyarakat setempat. Hal ini terjadi disebabkan oleh beberapa hal antara lain hasil penambangan dapat langsung dijual tidak memerlukan waktu yang panjang dan harga menguntungkan, sedangkan tanaman hasil reklamasi belum memberikan nilai ekonomi yang berarti bagi masyarakat.
Aktifitas Pertambangan Harus Dilakukan Oleh Perusahaan Yang Memiliki Legalitas
Kegiatan aktifitas pertambangan yang menyangkut keberlangsungan ekonomi, kesejahteraan masyarakat dan yang paling utama adalah lingkungan harus dilakukan pada perusahaan yang memiliki legalitas yang jelas, dalam arti kata memiliki perizinan. Sehingga bentuk pengawasan akan lebih mudah terakomodir, terlebih dampak akibat pasca pertambangan yang berhubungan dengan lingkungan harus sesegera dilakukan karena memiliki dampak jangka panjang terhadap keberlangsungan mahluk hidup di lingkungan.
Dalam data yang penulis rangkum, sejauh ini dari ratusan pemilik IUP yang ada di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, PT. Timah Tbk secara konsisten melaksanakan reklamasi dilahan bekas pertambangan mereka. Reklamasi yang dikerjakan umumnya berupa reklamasi revegetasi yaitu model reklamasi dengan menimbun kembali lobang bekas galian dengan overburden (tanah penutup) yang sengaja dipelihara pada saat land clearing (pembukaan tambang). Setelah dilakukan penutupan kembali lubang bekas galian selanjutnya dilakukan reboisasi (penghijauan) dengan tanaman yang cepat tumbuh atau tanaman lokal lainnya seperti akasia, sengon, kelapa sawit, lamtoro, gamal, ketapang dan lain lain.
Baca juga: Tambang Timah di Bangka Tengah: Problematika dan Solusinya
Sedang untuk tanamaan lokal seperti seruk/puspa, gelam, jambu mete, pelawan, karet dan buah buahan lainnya. Salah satu urgensi yang mendasar aktifitas pertambangan yang harus dilakukan pada perusahaan yang memiliki izin karena konsep green constitution lebih jelas dan terarah. Karena struktur organisasi pada perusahaan biasanya mempunyai divisi lingkungan yang khusus menangani kerusakan lingkungan dan reklamasi. Sudah barang tentu pelaksanaan reklamasinya berjalan dengan baik ketimbang pada oknum yang melaksanakan kegiatan pertambangan yang tidak berizin.
Renungan, Kuatkan Supremasi Hukum
Sebenarnya, permasalahan yang mendasari reklamasi dan revegetasi lahan bekas tambang timah di Provinsi Bangka Belitung adalah pembukaan lahan yang telah direklamasi oleh penambang ilegal. Lemahnya supremasi hukum dan kebutuhan ekonomi masyarakat yang sangat tergantung dengan timah memicu penambangan kembali lahan-lahan bekas tambang timah oleh perusahaan seperti PT. Timah misalnya oleh masyarakat yang dikenal dengan tambang inkonvensional.
Lahan bekas tambang, baik yang belum direklamasi maupun yang telah direklamasi akan ditambang kembali oleh masyarakat untuk mengambil deposit biji timah yang masih tersisa. Kegiatan ini menghambat pemulihan lahan pasca penambangan karena lahan tersebut harus direklamasi dan direvegetasi kembali yang membutuhkan tambahan biaya dan waktu.
Oleh sebab itu, penguatan supremasi hukum dan kerjasama yang baik antara pemerintah, stackholder, dan penegak hukum beserta dengan akademisi harus berkolaborasi dengan baik untuk dapat memberikan edukasi kepada masyarakat akibat kegiatan tambang yang salah yang berujung pada pengrusakan lingkungan yang berjangka panjang, selain itu penegakan hukum pidana harus dioptimalisasikan untuk dapat menangkap para penambang yang nakal dan bandel. Kalau bukan kita, siapa lagi untuk menjaga keberlangsungan
Saya sangat setuju dan sepakat. Pembaharuan yang sangat inovatif melalui konstitusi hijau. Perlu di dukung upaya seperti ini. Sangat inspiratif