Pemilihan umum merupakan pilar utama yang menandai berlakunya konsep demokrasi dalam menjalankan pemerintahan dengan pondasi kedaulatan rakyat. Sejak kemerdekaan tahun 1945, Indonesia tercatat telah melaksanakan dua belas kali pemilihan umum, pada 1955 hingga 2019.
Dengan demikian, pemilihan umum tahun 2024 akan menjadi pemilu ketiga belas yang diselenggarakan dalam sejarah ketatanegaraan di Indonesia. Dasar pemikiran yang melandasi fundamentalnya peran pemilu sebagai instrumen kedaulatan rakyat, ditegaskan dalam UUD 1945 Pasal I ayat 2, bahwa kedaulatan tertinggi berada ditangan rakyat dan dijalankan menurut Undang-Undang Dasar.
Sedang dalam Pasal 22E, dijelaskan secara inklusif mengenai pemilihan umum, asas, dan lembaga yang berwenang menyelenggarakanya dalam pasal 22E ayat (1), asas yang penting, dan menjadi parameter kesuksesan dari sebuah pemilihan umum, ialah tercapainya atmosfer pemilihan yang berdifat langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Baca juga: KPU Ajukan Banding Penundaan Pemilu, IMMH UI: Fokus Tahapan Pemilu Saja
Peran penting pemilu dalam politik hukum di Indonesia, mengharuskanya memiliki kompleksitas aturan hukum berkualitas, handal, dan memadai. Progresifitas serta kapasitas hukum secara formil juga harus dibarengi oleh komitmen dan kemampuan lembaga penegak hukum dalam menangani berbagai potensi dan pelanggaran pemilu di Indonesia.
Sebagai ajang politik praktis yang mengkombinasikan kepentingan hukum dan politik, pemilu sangat rentan akan berbagai potensi kecurangan dan pelanggaran, sehingga kapasitas infrastruktur hukum juga harus relevan dan ideal.
Polemik pelanggaran dan kecurangan pemilihan umum telah menjadi satu dari serangkaian permasalahan yang mengemuka setiap kali pesta demokrasi dijalankan. Orientasi untuk memenangkan hati dan suara rakyat dalam kontestasi lima tahunan itu telah menjadikan pemilihan umum sebagai ranah persaingan dan ajang unjuk berbagai cara untuk memenangkan kepentingan partai dan kelompok tertentu.
Politik uang (money politics), kampanye hitam (black campaign), jual beli suara, hingga penggunaan kekerasan menjadi bahan bahasan sehari-hari yang terus mewarnai siaran media sepanjang tahun politik. Merujuk pada data Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI, pada tahun 2019, Bawaslu telah melakukan penanganan atas 4.506 laporan dan 18.995 temuan dugaan pelanggaran.
Dari jumlah tersebut, terdapat sebanyak 16.134 pelanggaran administrasi, 373 pelanggaran kode etik, 582 tindak pidana dan 1.475 pelanggaran perundang-undangan lain. Banyaknya pelanggaran pemilu, selain disebabkan oleh faktor-faktor pendorong, juga memiliki keterkaitan dengan lemahnya instrumen hukum dalam penegakanya.
Dari total dugaan kasus pelanggaran pemilu yang masuk, banyak diantaranya yang tidak dapat ditangani secara maksimal di pengadilan lantaran berbenturan dengan berbagai kompleksitas aturan.
Baca juga: PN Jakarta Pusat Putuskan Tunda Pemilu 2024, Jelas Inkonstitusional
Selain itu, peraturan perundang-undangan yang menetapkan batasan waktu penyelesaian perkara juga menjadikan kemampuan badan penegak hukum semakin terbatas dan tidak dapat mengadili setiap pelanggaran secara tuntas, terlebih, dengan jumlah kasus yang demikian banyak kuantitasnya.
Dalam kondisi yang demikian, waktu menjadi diskurus yang menentukan. Kewenangan Bawaslu untuk menangani kasus pelanggaran baik administrasi, kode etik, maupun pidana harus diekstensikan hingga melewati waktu penetapan oleh KPU.
Dengan kata lain, Bawaslu berwenang menyelesaikan perkara bahkan setelah penetapan hasil. Namun, hal ini bukan tanpa catatatan, pasalnya, esensi dari penetapan hasil, yang seharusnya bersifat absolut, atau setidaknya kuat, menjadi fleksibel dan dapat berubah jika terdapat rekomendasi dari Bawaslu.
Penyelenggaraan pemilu meninggalkan berbagai macam permasalahan ikutan yang berkepanjangan. Salah satunya, ialah berbagai permasalahan hukum yang sulit dituntaskan. Dalam pandangan Topo Santoso, pakar hukum pidana Universitas Indonesia, permasalahan pemilihan umum di Indonesia berkaitan erat dengan kelemahan kerangka hukum ditingkat hulu.
Terdapat banyak kasus yang tidak dapat diadili secara tuntas, lantaran berbagai macam kompleksitas yang berhadapan dengan batasan waktu yang ditetapkan dalam UU Pemilihan Umum.
Pelanggaran pemilu dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 dibagi menjadi tiga jenis, yakni pelanggaran adminsitrasi, kode etik, dan tindak pidana. Dalam sistem penyelesaian perkara pelanggaran pemilihan umum, proses penanganan dilakukan melalui sistem peradilan cepat.
Pertama, dalam penanganan pelanggaran administrasi, Bawaslu memiliki waktu selama 14 hari untuk memutus perkara dan merekomendasikan hasilnya kepada KPU untuk ditindaklanjuti.
Kedua, dalam pelanggaran kode etik, Bawaslu dapat mengajukan penanganan atas temuan tersebut kepada Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
Sedangkan, untuk penanganan pelanggaran pidana, Bawaslu memiliki waktu selama 7 hari untuk memproses dan memutuskan, untuk kemudian dilimpahkan kepada penyidik dan menyelesaikanya secara tuntas paling lama 3 bulan.
Kewenangan Bawaslu dalam penanganan perkara pelanggaran ini diperluas dengan amanah UU No.7 Tahun 2017. Tidak hanya sebagai badan pengawas, Bawaslu juga memiliki kewenangan mengadili putusan perkara proses.
Hal ini terkait dengan Penyelesaian Sengketa Proses Pemilu (PSPP) yang didefinisikan dalam Pasal 466 UU Pemilu sebagai sengketa yang terjadi antara calon maupun peserta pemilu dengan keputusan KPU selaku penyelenggara pemilu.
Dengan demikian, kewenangan menangani pelanggaran yang dimiliki Bawaslu, berkaitan dengan kewajiban melakukan penyelidikan dan pengkajian dugaan pelanggaran, baik administrasi, kode etik, maupun tidak pidana.
Dalam optimalisai fungsi dan kualitas penegakan hukumnya, penulis mempertimbangkan ekstensifitas kewenangan Bawaslu sampai dengan atau dapat melebihi batas penetapan hasil pemilu oleh KPU.
Bawaslu Berwenang Menangani Pelanggaran Pemilu Pasca Penetapan Hasil
Batasan waktu yang menjadi limitasi utama bagi Bawaslu dalam mengoptimalisasi upaya penanganan pemilu sejatinya berakar dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Sayang dalam pelaksanaanya, banyak kasus di masyarakat yang terjadi dengan penyelesaian yang membutuhkan waktu lebih dari batasan yang ditetapkan, sehingga menjadi gugur dan tidak dapat dilakukan penuntutan. Penetapan batasan waktu bagi Bawaslu untuk menangani pelanggaran pemilu setelah diadakanya penetapan hasil merupakan upaya limitasi terhadap prinsip penegakan hukum yang semestinya.
Baca juga: Presidential Threshold: Sejarah Ambang Batas Pencalonan dari Pemilu ke Pemilu
Selama ini, kasus-kasus pelanggaran kontemporer banyak yang terjadi masih terbatas penangananya, akibat batasan waktu yang terlampau singkat. Batas waktu penanganan perkara pemilu ini, pada kenyataanya tidak sebanding dengan durasi waktu yang dimiliki Bawaslu dalam menangani dugaan pelanggaran.
Asas Luber Jurdil
Dalam pasal 22E ayat 3, disebutkan bahwa Pemilihan Umum di Indonesia diselenggarakan dengan berdasar pada asas Langsung,Umum, Bebas, Rahasia, Jujur, dan Adil. Instrumentasi pelaksanaan penegakan hukum harus dilakukan dengan mengarahkan kualitas pemilu menuju karakter yang demikian, dengan tidak memberi toleransi bagi pelanggaran dalam prosesnya.
Jika kewenangan Bawaslu untuk menangani sengketa pelanggaran Pemilu dibatasi hingga saat penetapan hasil, defisiensi jelas menjadi problem yang mengemuka. Pasalnya, tidak semua kasus dapat diselesaikan secara cepat, dan banyak diantaranya yang menuntut penyelesaian berlarut.
Meski hal ini berarti membutuhkan proses, biaya, dan waktu yang lebih panjang, namun tetap perlu dilakukan untuk menjamin kualitas pemilihan umum dan penegakan hukumnya secara berkeadilan.
Terlebih, merujuk pada Peraturan Bawaslu Nomor 31 Tahun 2018, masa kewenangan Gakkumdu baru berakhir setelah dilakukanya pelantikan. Hal ini, dengan tujuan untuk memberi keluangan waktu bagi Bawaslu dan penegak hukum lainya guna secara optimal menyelesaikan pelanggaran pemilu dan menciptakan keadilan substantif.
Bahkan, dengan batasan waktu yang diekstensikan, masih terdapat berbagai problematika, hal ini akan menjadi lebih bermasalah jika batasan waktu itu direduksi hanya sampai penetapan hasil oleh KPU.
Asas Fiat Justitia Ruat Caelum
Hukum harus ditegakan, dalam kondisi yang bagaimanapun. Penanganan pelanggaran Pemilu yang merupakan problematika laten dalam kehidupan berdemokrasi di Indonesia harus diimbangi dengan kapasitas dan kemampuan Bawaslu dalam mendayagunakan sumber daya waktu yang dimiliki.
Baca juga: Bupati Sumenep Ingkar Janji, IMKS: Perbaiki Jalan dan Subsidi Kapal
Dengan memberi ruang kewenangan bagi Bawaslu untuk mengadili dan memutus pelanggaran atau sengketa proses pemilihan umum, baik secara mediasi maupun ajudikasi, keadilan dan tujuan materiil dari pemilu dapat didekati secara lebih baik. Bawaslu, dalam lingkup kewenangannya tidak memiliki beban ganda untuk mengejar waktu, sehingga lebih optimal dalam penegakan hukum.
Menolak Reduksionisme Yuridis
Pertimbangan penting dalam pembatasan waktu penanganan pelanggaran pemilihan umum, dalam lingkup kewenangan Bawaslu, adalah kepentingan politik praktis. Jika gagasan kewenangan yang melampaui waktu penetapan hasil ditetapkan, dikhawatirkan hal ini menimbulkan ketidakstabilan politik, karena para calon yang sudah ditetapkan dapat berubah statusnya, sekaligus mengganggu integritas Komisi Pemilihan Umum.
Akibatnya, hasil pemilihan umum menjadi diragukan. Untuk itu, dilakukan upaya pembatasan sengketa proses oleh Bawaslu, dan sebagai gantinya terdapat mekanisme sengketa hasil oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Namun, hal ini pada dasarnya berpotensi reduksionis. Menundukan kepentingan hukum atas alasan pragmatisme politik malah berakibat pada menjamurnya para wakil rakyat yang tidak berkualitas, lantaran banyak diantaranya yang lolos meski telah melakukan berbagai upaya kecurangan pemilu, namun tidak terselesaikan akibat pembatasan waktu kewenangan Bawaslu.
Jaminan atas penyelenggaraan pemilu yang baik, harus dimulai dengan mengupayakan substansi hukum yang mapan, dan mampu menangani perkara-perkara konkret di masyarakat. Bawaslu, sudah seharusnya memiliki kewenangan menangani pelanggaran pemilu, termasuk pasca penetapan hasil secara nasional.
Efektifitas Penegakan Hukum
Pembatasan waktu penanganan pelanggaran pemilu, hingga saat ini, adalah problematika mendasar yang memerlukan penyelesaian. Bawaslu, sebagai lembaga yang menjalankan tugas fundamental dalam memastikan jalanya pemilu secara ideal, harus memiliki kapasitas kewenangan hukum yang luas. Sudah seharusnya, Bawaslu dapat melakukan penanganan pelanggaran dengan tidak dibatasi oleh waktu penetapan hasil oleh KPU.
Selain itu, tidak menutup kemungkinan adanya temuan-temuan pelanggaran yang mendekati waktu atau dihari penetapan KPU. Jika kewenangan ini dibatasi, maka lebih banyak potensi kasus yang tidak terselesaikan. Hal ini menunjukan disefisiensi penegakan pemilu, dan merupakan sebuah degradasi dalam proses penyelenggaraanya.
Penyelesaian Sangketa Sebagai ‘Mahkota’ Bawaslu
Benturan kepentingan dalam proses penyelanggaraan pemilu adalah hal yang tidak dapat dihindari. Dalam upaya mewujudkan stabilitas demokrasi, Bawaslu seyogyanya secara efektif menjalankan kewenangan penyelesaian sangketa, sebagai wujud ‘mahkota’ dan peranan sentral dalam penegakan hukum kepemiluan.
Baca juga: Menelisik Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Benarkah Melanggar Konstitusi?
Efektifinas peran ini, dapat dilihat misalnya pada pemilu 2014, MK menangani sebanyak 767 sangketa pemilu legislatif, sedangkan pada pemilu 2019, jumlahnya berkurang menjadi 340. Kapasitas Bawaslu dalam menjalankan fungsi semi-peradilan menunjukan hasil yang demikian signifikan.
Untuk itu, penguatan institusional, dengan tidak mengurangi batasan waktu adalah pilihan terbaik, bahkan seharusnya, ambang batas waktu ini diekstensikan untuk dapat memastikan terselesaikanya setiap pelanggaran dan sangketa kepemiluan di Indonesia.
Epilog
Sistem pemilihan umum di Indonesia telah mengalami berbagai perubahan yang fundamental, termasuk dalam upaya penegakan hukum. Pemilu sebagai ranah konstestasi politik, membawa serta berbagai potensi kecurangan, pelanggaran, dan upaya-upaya “jalur kiri” lainya. Sebagai upaya penanganan, diperlukan kapasitas lembaga penegak hukum yang mumpuni, baik secara substantif maupun prosedur kewenanganya.
Diskursus urgentif terkait kewenangan Bawaslu adalah dalam ekstensi kewenangan, yakni batasan waktu penanganan pelanggaran sampai dengan pengumuman hasil oleh KPU. Dalam konteks demikian, pro dan kontra, serta kelebihan dan kekurangan menjadi mengemuka.
Kesetujuan bagi Bawaslu untuk tidak memiliki kewenangan menangani pelanggaran setelah penetapan hasil berdasar atas argumentasi bahwa Bawaslu bukan lembaga penegak hukum sepenuhnya, ada dan pentingnya pembatasan waktu, ranah tugas pasca pemilu yang berada dibawah yurisdiksi kewenangan lembaga lain, dan perlunya optimalisasi serta perbaikan mekanisme, bukan ekstensi waktu berkepanjangan.
Sementara itu, kedudukan argumen Bawaslu untuk tidak menjalankan kewenangan penanganan hingga setelah penetapan KPU menemui berbagai penentangan, terutama lantaran melumpuhkan proses penegakan hukum oleh Bawaslu akibat keterbatasan waktu, sulit ditegakanya pemilu yang luber jurdil, melewati asas-asas hukum fundamental, serta bersifat reduksionisme terhadap penegakan hukum yang berkeadilan.
Baca juga: TAHAPAN DAN JADWAL PENYELENGGARAAN PEMILU TAHUN 2024
Perbaikan dalam penanganan pelanggaran pemilihan umum di Indonesia, dalam mewujudkan iklim Pemilu Serentak 2024 yang berkeadilan, harus dimulai dengan pengkajian rumusan substansi dan kewenangan Bawaslu.
Batasan waktu, yang selama ini menjadi salah satu problematika laten, harus disiasati dengan beberapa strategi urgentif. Dua pendekatan yang menjadi fokus artikel ini, ialah pada optimalisasi pengawasan, dan ekstensitas waktu.
Pertama, Bawaslu sebaiknya tetap terbatas kewenanganya, dengan tidak menangani pelanggaran setelah penetapan hasil. Sebaliknya, Bawaslu, secara inklusif harus mengoptimalkan upaya pengawasan, edukasi, dan peningkatan kualitas pemilu dengan prosedur yuridis yang sudah ada. Hal ini efektif, tanpa menimbulkan problematika ikutan lain.
Kedua, memperpanjang waktu kewenangan Bawaslu dengan memberi kuasa penanganan setelah penetapan hasil. Pembatasan waktu yang menjadi limitasi efektifitas kinerja harus dirubah dengan memberi ruang kebebasan yang lebih baik bagi proses penegakan hukum.
Semestinya, Bawaslu dapat menyelesaikan penanganan kasus dalam ranah hukumnya secara tuntas, tanpa terbatas waktu yang sangat singkat dan berpotensi reduksionis. Melalui usaha-usaha perbaikan yang pragmatis dan berorientasi pada kemanfaatan, keadilan sebagai visi besar Pemilu Serentak 2024 dapat diupayakan perwujudanya.
Referensi
Respon (1)