PINTER HUKUM
#1 Platform for Legal Education and Consulting • Penyedia Layanan Jasa Hukum Terlengkap dan Terpercaya di Indonesia
Opini  

Apakah Bahasa Indonesia Sudah Memihak Kesetaraan?

bahasa

Bahasa bukan sekadar sarana untuk berkomunikasi, melainkan juga sebagai cermin budaya dan nilai sosial yang dianut masyarakat di suatu wilayah tertentu. Salah satu isu penting yang kerap muncul dan tidak pernah padam adalah bagaimana bahasa mencerminkan posisi gender serta kesetaraan antara laki-laki dan perempuan.

Oleh karena itu, apakah bahasa Indonesia dalam implementasinya sudah memihak kesetaraan gender? Apakah kosakata bahasa Indonesia sudah benar-benar mendukung kesetaraan atau justru malah melanggengkan diskriminasi? Ternyata dalam penerapannya, bahasa Indonesia masih merefleksikan adanya ketimpangan gender. Tercermin dari terjemahan bahasa Indonesia anime berjudul Spirited Away produksi Studio Ghibli yang menyebut “nenek sihir” untuk menamai penyihir perempuan. Dan setelah dipikir mengapa tidak ada sebutan untuk “kakek sihir”?

Baca Juga: Bahasa dalam Transaksi Bisnis dan Perusahaan Hukum

Berdasarkan artikel yang berjudul “Bahasa dan Ketimpangan Gender” yang ditulis oleh Muhamad Jaeni dalam jurnal MUWAZAH, volume 1, nomor 2, edisi Juli-Desember 2009, halaman 166, dipaparkan bahwa memang benar diskriminasi yang menunjukkan ketidakadilan bisa juga terjadi dalam ranah bahasa.

Dalam konteks kehidupan sehari-hari, bahasa yang kita ucapkan dan dengar memang tidak netral, melainkan penuh dengan stereotip gender yang memperkuat peran dan posisi tertentu bagi laki-laki dan perempuan. Ketimpangan itu muncul dalam kosakata yang dipakai, yang dalam kasus ini terjadi pada bahasa Indonesia. Dibuktikan dengan adanya kata-kata bernada negatif yang lebih sering ditujukan untuk perempuan, Misalnya seperti penggunaan istilah “nenek sihir”, “suster ngesot”, “tante girang”, “putri malu”, dan “putri tidur”.

Fenomena yang terjadi dalam bahasa Indonesia tersebut menggambarkan bagaimana bahasa dalam kehidupan sehari-hari berperan sebagai instrumen yang melestarikan bias gender. Kata-kata seperti “nenek sihir”, “suster ngesot”, “tante girang”, “putri malu”, dan “putri tidur” merupakan contoh istilah yang memuat konotasi negatif dan malangnya mengarah kepada perempuan.

Penggunaan istilah-istilah tersebut memperkuat pandangan masyarakat bahwa perempuan memiliki ciri-ciri tertentu yang dibatasi oleh stereotip, seperti dianggap licik, genit, pemalu berlebihan, atau pasif. Sementara istilah sepadan yang merujuk kepada laki-laki dengan konotasi negatif serupa hampir tidak ditemukan. Keadaan ini menunjukkan ketimpangan dalam bahasa yang sudah tertanam dalam struktur sosial.

Baca Juga: Algoritma Mesin dan Keadilan dalam Putusan Hakim

Maka dari itu, diperlukan upaya terpadu untuk dapat menghapus ketidaksetaraan gender dalam berbahasa. Misalnya dengan mengedukasi masyarakat tentang pentingnya bahasa inklusif demi menciptakan lingkungan sosial yang lebih adil. Kemudian pemerintah dan lembaga pendidikan perlu mendorong penggunaan kosakata yang netral dan mengganti istilah-istilah bernada negatif dengan sebutan yang lebih objektif dan menghormati perempuan.

Selain itu, media massa dan platform digital dapat berperan aktif mengkampanyekan bahasa yang ramah gender. Beberapa pendekatan tersebut bertujuan untuk membongkar pola pikir masyarakat yang sudah terlampau bias gender. Dengan kolaborasi antara edukasi, kebijakan publik, dan prakarsa budaya, perubahan penggunaan bahasa ini diharapkan dapat memicu pergeseran sosial menuju keseimbangan yang menghargai kesetaraan gender dalam kehidupan sehari-hari.

Baca Juga: Pengaruh Bahasa Indonesia yang Tepat dalam Pembuatan Akta

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *