Perilaku Tidak Menyenangkan di KUHP
Perilaku tidak menyenangkan dihapus? Pada tahun 2013, Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 1/PUU-XI/2013 menyatakan bahwa frasa dalam Pasal 335 ayat (1) KUHP yang berbunyi ‘sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan’ adalah bertentangan dengan UUD 1945 dan juga tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, sehingga kemudian Mahkamah menghapus delik perilaku tidak menyenangkan dari Pasal 335 ayat (1) KUHP tersebut.
Awal mula dihapuskannya perilaku tidak menyenangkan tersebut adalah dari diajukannya permohonan pengujian materiil Pasal 335 ayat (1) KUHP terhadap UUD 1945 oleh Oei Alimin Sukamto Wijaya. Oei Alimin terlibat pertengkaran pada tahun 2012 silam dan dituntut salah satunya dengan Pasal 335 ayat (1) KUHP.
Kronologinya, Oei Alimin mengirim pesan elektronik, menantang pemilik Hotel Meritus yang sebelumnya sudah memukul Oei Alimin, untuk berkelahi di Jembatan Suramadu. Karena merasa dianiaya, maka Oei Alimin melapor ke Polisi, tetapi ternyata ia dilaporkan balik dan pada akhirnya Oei Alimin ditahan dengan tuduhan melakukan perbuatan tidak menyenangkan karena telah menantang pemilih Hotel Mertius untuk berkelahi meskipun Oei Alimin dipukul terlebih dahulu.
Penahanan Oei Alimin dinilai memiliki tujuan yang tidak jelas dan merupakan ajang pemerasan oleh penegak hukum yang terlibat, hal ini karena Pasal 335 ayat (1) KUHP lama tidak mengatur mengenai perilaku-perilaku apa saja yang termasuk ke dalam perilaku tidak menyenangkan yang dimaksud oleh Pasal tersebut, maka kerancuan serta kesewenang-wenangan terjadi dalam proses penegakan hukum. Lengkapnya Pasal 335 ayat (1) KUHP sebelum penghapusan frasa adalah sebagai berikut:
“(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun atau denda paling banyak empat juta lima ratus rupiah:
(a) Barang siapa secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, dengan memakai kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan, atau dengan memakai ancaman kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan, baik terhadap orang itu sendiri maupun orang lain;
(b) Barang siapa memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu dengan ancaman pencemaran atau pencemaran tertulis.”
KUHP tidak menjelaskan perbuatan apa saja yang termasuk ke dalam kategori perbuatan tidak menyenangkan yang dimaksud oleh Pasal 335 ayat (1) KUHP tersebut, yang diketahui hanyalah Pasal 335 KUHP lama tersebut diatur dalam Bab XVIII tentang Kejahatan Terhadap Kemerdekaan Orang. Delik tidak menyenangkan ini baru dapat diadili apabila ada pengaduan dari pihak yang merasa dirugikan (delik aduan).
Melalui putusannya, Mahkamah menilai frasa tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan, sehingga Mahkamah menghapus aturan delik perilaku tidak menyenangkan dari Pasal 335 ayat (1) KUHP lama tersebut. Setelah keputusan Mahkamah keluar, maka isi dari Pasal 335 ayat (1) KUHP adalah menjadi sebagai berikut:
“Barang siapa secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, dengan memakai kekerasan, atau dengan memakai ancaman kekerasan, baik terhadap orang itu sendiri maupun orang lain.”
Ketentuan Pasal 335 ayat (1) KUHP lama tersebut juga tetap dicantumkan dan diatur oleh KUHP terbaru yang baru akan berlaku secara efektif pada tahun 2026, tepatnya di Pasal 448 ayat (1) huruf a, tetapi ancaman pidananya berubah menjadi pidana penjara paling lama satu tahun atau denda paling banyak Rp10 Juta (kategori II).
Unsur-unsur pada rumusan pasal tersebut yaitu setiap orang, secara melawan hukum, memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, memakai kekerasan atau ancaman kekerasan, baik terhadap orang itu sendiri ataupun orang lain.
Kekerasan atau ancaman kekerasan yang dimaksud menurut R. Soesilo adalah penggunaan tenaga atau kekuatan jasmani yang tidak kecil seperti memukul, menendang, dan lain sebagainya. Sehingga seseorang baru dapat dijerat dengan Pasal 448 ayat (1) KUHP apabila ia dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa orang lain untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.
Baca juga: Diskusi Hukum Nasional “Menakar RKUHP: Manfaat dan Permasalahannya”
Keselarasan Penghapusan Perilaku Tidak Menyenangkan dengan Standar Hak Asasi Manusia dan Praktik Internasional
Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa frasa ‘sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan’ tersebut tidak dapat diukur secara objektif dan kalaupun dapat diukur maka hasil ukurannya akan sangat subjektif karena hanya berdasarkan penilaian korban, para penyidik, dan penuntut umum saja sehingga perumusan delik ini memberikan peluang terjadinya kesewenang-wenangan dari para penyidik dan penuntut umum terhadap pihak yang diadukan.
Sehingga pihak yang diadukan dapat kehilangan kemerdekaan atau hak asasi mereka untuk berekspresi dan menyatakan pendapat, yang bukan tidak mungkin pendapat-pendapat mereka tersebut sebetulnya memiliki itikad yang baik atau karena dalam keadaan terpaksa.
Salah satu tujuan yang harus dicapai oleh Indonesia sebagai negara demokrasi adalah membentuk situasi perlindungan dan penegakan HAM. Salah satu HAM yang tidak dapat dikesampingkan adalah kebebasan berpendapat dan berekspresi. Hak ini merupakan standar dan praktik HAM tidak hanya secara nasional saja tetapi secara internasional.
Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) bahwa memiliki dan mengeluarkan pendapat adalah hak dari setiap orang, dan kebebasan tersebut harus dimiliki tanpa gangguan dari orang lain. Bahkan Pasal 19 DUHAM juga mengatur bahwa setiap orang memiliki hak untuk mencari, menerima dan menyampaikan pendapat dengan cara apa pun itu tanpa memandang batas-batas.
Indonesia sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menurut bagian Menimbang huruf (c) dan bagian Landasan angka 2 dari TAP MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia serta menurut bagian Menimbang huruf (d) UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM (UU HAM), memiliki tanggung jawab dan kewajiban untuk menghormati ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam DUHAM, salah satunya adalah Pasal 19 DUHAM yang mengatur mengenai kebebasan berpendapat.
Pasal 23 ayat (2) UU HAM jo. Pasal 28E (2) UUD 1945 jo. Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 pun juga mengatur bahwa setiap orang bebas untuk memiliki dan mengeluarkan pendapat baik secara lisan atau tertulis melalui media cetak atau media elektronik dengan catatan tidak mengesampingkan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum dan keutuhan bangsa.
Oleh karena itu penghapusan delik perilaku tidak menyenangkan dari KUHP yang membuka peluang dilanggarnya hak asasi milik rakyat Indonesia oleh para pihak yang dapat menyalahgunakan frasa dalam Pasal 335 ayat (1) KUHP lama selaras dan tidak melanggar atau bertentangan dengan standar dan praktik penegakan HAM baik secara nasional maupun internasional.
Baca juga: Draf Final RKUHP: Tindak Pidana Penghinaan Kekuasaan Umum dan Lembaga Negara
Pengaturan Alternatif Untuk Mengatasi Perilaku Tidak Menyenangkan di KUHP Baru
Dihapusnya perilaku tidak menyenangkan pada KUHP tentu bukan berarti perilaku-perilaku tidak menyenangkan yang mengancam dilanggarnya kemerdekaan seseorang berhenti terjadi di kehidupan masyarakat.
Harry A Thumury mengatakan bahwa penghapusan frasa ‘sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan’ dari Pasal 335 ayat (1) KUHP mengakibatkan mereka yang merasa dirugikan dan terancam kemerdekaannya akibat sesuatu perbuatan yang tidak menyenangkan tidak dapat lagi mencari keadilan di hadapan hukum karena sudah tidak ada lagi dasar hukumnya. Oleh karena itu pendekatan atau jalur alternatif harus diadakan untuk mengatasi delik perilaku tidak menyenangkan ini.
Untuk dapat mengatasi terjadinya perilaku-perilaku tidak menyenangkan yang dapat melanggar kemerdekaan orang lain maka lembaga legislatif menyusun beberapa rumusan-rumusan pasal di KUHP terbaru (UU No. 1 Tahun 2023 tentang KUHP), yang menjadi penanganan alternatif untuk mengatasi delik perilaku tidak menyenangkan di kehidupan masyarakat. Pasal-pasal tersebut antara lain ada di Bab V tentang Tindak Pidana Terhadap Ketertiban Umum Bagian Keempat:
- Paragraf 2 (Memasuki Rumah dan Pekarangan Orang Lain) Pasal 257. Dalam pasal ini, seseorang yang secara memaksa memasuki rumah atau pekarangan tertutup milik orang lain dan tidak pergi ketika disuruh pergi adalah termasuk perbuatan tidak menyenangkan karena mengganggu ketentraman orang lain. Ancaman pidananya adalah pidana penjara dari 1 sampai 2 tahun atau pidana denda dari mulai kategori II hingga kategori III;
- Paragraf 7 (Penyiaran atau Penyebarluasan Berita atau Pemberitahuan Bohong) Pasal 263 dan Pasal 264. Menyiarkan atau menyebarluaskan berita yang bohong dan mengakibatkan kerusuhan dalam masyarakat adalah termasuk perbuatan tidak menyenangkan juga. Ancaman pidananya adalah pidana penjara dari 4 sampai 6 tahun atau pidana denda dari kategori V sampai kategori IV;
- Paragraf 8 (Gangguan terhadap Ketenteraman Lingkungan) Pasal 265. Membuat hingar-bingar atau berisik tetangga pada malam hari dan membuat seruan atau tanda-tanda bahaya palsu juga termasuk perbuatan tidak menyenangkan yang mengganggu ketentraman orang lain. Ancaman pidananya denda paling banyak kategori II;
Selain apa yang diatur di dalam Bab V KUHP baru, delik perilaku tidak menyenangkan dalam KUHP baru juga terdapat dalam Bab XVII tentang Tindak Pidana Penghinaan:
- Bagian Kesatu tentang Pencemaran, Pasal 433. Ayat 1 pasal ini mengatur perilaku tidak menyenangkan berupa penyerangan nama baik atau kehormatan orang lain secara lisan dengan cara menuduh sesuatu hal dengan maksud supaya hal itu diketahui oleh masyarakat umum. Ayat ke-2 dalam pasal ini mengatur perilaku sebagaimana diatur oleh ayat (1) pasal ini tetapi dengan cara tertulis atau gambar. Ancaman pidana dari mulai pidana penjara 9 bulan sampai 1 tahun 6 bulan, kemudian pidana denda mulai dari kategori II hingga kategori III. Tetapi jika perbuatan pencemaran ini dilakukan untuk kepentingan umum atau karena terpaksa membela diri, maka tidak akan dipidana;
- Bagian Kedua tentang Fitnah, Pasal 434. Ayat 1 pasal ini mengatur bahwa orang yang melakukan perilaku tidak menyenangkan sebagaimana diatur di Pasal 433 diberikan kesempatan untuk membuktikan tuduhannya tetapi jika ternyata mereka tidak dapat membuktikannya dan kebenarannya bertentangan dengan apa yang dituduhnya, maka tuduhan tersebut menjadi fitnah. Ancaman pidana penjara paling lama 3 tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV;
- Bagian Ketiga tentang Penghinaan Ringan, Pasal 436. Perilaku tidak menyenangkan dalam pasal ini adalah bentuk penghinaan yaitu mencemarkan nama baik orang lain secara lisan maupun tertulis baik di muka umum ataupun di muka orang yang dihina. Ancaman pidana penjara paling lama 6 bulan atau pidana denda paling banyak kategori II;
- Bagian Keempat tentang Pengaduan Fitnah, Pasal 437. Perilaku tidak menyenangkan dalam pasal ini adalah pengaduan pemberitahuan palsu (fitnah) baik yang diajukan sendiri atau meminta orang lain untuk menuliskan pengaduan tersebut kepada pejabat yang berwenang tentang orang lain dengan tujuan supaya nama baik orang lain tersebut diserang. Ancaman pidana penjara paling lama 3 tahun 6 bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV;
- Bagian Kelima tentang Persangkaan Palsu, Pasal 438. Perilaku tidak menyenangkan dalam pasal ini adalah perbuatan menimbulkan persangkaan palsu terhadap orang lain berupa persangkaan orang tersebut telah melakukan suatu tindak pidana padahal kebenarannya tidak. Ancaman pidana penjara paling lama 3 tahun 6 bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV.
Dengan diaturnya rumusan pasal-pasal mengenai perilaku-perilaku yang tidak menyenangkan atau yang mengancam ketentraman dan kemerdekaan orang lain dalam KUHP yang disertai dengan ancaman pidana penjara ataupun pidana denda tertentu, maka rakyat yang merasa telah diganggu ketentramannya oleh orang lain yang memiliki niat jahat, dapat melaporkan perilaku-perilaku tersebut dan memprosesnya secara hukum berdasarkan pasal-pasal KUHP diatas.
Tidak dicantumkannya delik perilaku tidak menyenangkan dalam KUHP baru ini memiliki tujuan yang sama dengan dihapusnya delik tersebut dari Pasal 335 ayat (1) KUHP lama oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 1/PUU-XI/2013, yaitu supaya tidak terjadi lagi kerancuan dalam penegakan hukum dan penjatuhan pidana. Sebagai gantinya, KUHP baru saat ini telah mengatur mengenai delik-delik tersebut secara terpisah dan pasti.
Referensi
Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1/PUU-XI/2013 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia, 1994.
Sari, I.D.M., Gita, H. and Lumbanraja, A.D. “Analisis Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Delik Perbuatan Tidak Menyenangkan”. Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia, Nomor 1 Volume 2, 2019.
Bernadetha Aurelia Oktavira, Pasal Perbuatan Tidak Menyenangkan Dihapus, Ini Dasarnya, hukumonline.com, Diakses pada 8 Juli 2023.
Muhammad Aliefuddin Sayyaf, Apakah Pasal Perbuatan Tidak Menyenangkan di KUHP Masih Berlaku?, Sonora.id, Diakses pada 8 Juli 2023.
Respon (1)