Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang dipakai di Indonesia merupakan warisan kolonial Belanda. Banyak pasal yang sudah tidak relevan ketika diimplementasikan dengan aspek sosiologis di Indonesia. Seperti pasal 134, 136 bis, 137 KUHP yang mengandung delik Haatzai Artikelen yang secara historis, delik ini merupakan salah satu cara kolonial untuk membungkam orang-orang yang kritis terhadap kebijakannya. Hal ini sangat mencederai aspek demokratis yang dianut Indonesia.
Pasal-pasal tersebut telah dicabut oleh MK melalui Putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006 karena dinilai bisa menimbulkan multitafsir dan disalahgunakan oleh penguasa. Namun, putusan itu tidak berjalan mulus. Pada draf RKUHP pada pasal 218 ayat (1) yang berbunyi “Setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV.” Ini merupakan bentuk reaktivasi pasal-pasal karet yang telah dicabut MK sebelumnya. Juga hampir mirip dengan yang tertera dalam pasal 351 ayat (1) RKUHP “Setiap orang yang di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina kekuasaan umum atau lembaga negara dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori II,” hal ini sangat berakibat fatal pada kebebasan berpendapat dan perputaran roda demokrasi.
Baca juga: Arti “Bukti Permulaan yang Cukup”
Polemik kemunculan pasal tersebut mendapat atensi khusus dari para pegiat pers serta mahasiswa karena dinilai cukup menghambat kegiatan demonstrasi atau penyampaian pendapat di muka umum. Tertera dalam pasal 273 draf RKUHP “Setiap orang yang tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada yang berwenang mengadakan pawai, unjuk rasa, atau demonstrasi di jalan umum atau tempat umum yang mengakibatkan terganggunya kepentingan umum, menimbulkan keonaran, atau huru-hara dalam masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak kategori II,”
Menurut Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) Bayu Satrio Utomo, hal ini dinilai dapat menimbulkan preseden buruk bagi demonstran serta rawan diskriminalisasi. “Ini tentu akan mengkriminalisasi kami yang sering turun ke jalan, yang sering berada di lapangan,” ujar Bayu.
Sampai saat ini, beredar 14 pasal kontroversial yang ditimbulkan dari penyusunan draf Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP), di antaranya:
Baca juga: Lembaga-Lembaga Penegak Hukum di Indonesia
- Pasal 218 tentang penghinaan kepada presiden
- Pasal 240 tentang penghinaan kepada pemerintah
- Pasal 353 dan 354 tentang penghinaan kepada kekuasaan umum atau lembaga negara
- Pasal 280 dan 281 tentang penghinaan terhadap pengadilan
- Pasal 304 tentang penghinaan terhadap agama
- Pasal 598 tentang hukum yang hidup di masyarakat
- Pasal 414 tentang kontrasepsi
- Pasal 415 tentang aborsi
- Pasal 417 tentang perzinaan
- Pasal 418 tentang kohabitasi
- Pasal 67, 99, 100, dan 101 tentang hukuman mati
- Pasal 273 tentang demonstrasi
- Pasal 277 tentang pembiaran unggas
- Pasal 431 tentang gelandangan
Pasal-pasal tersebut dinilai bermasalah karena mengabaikan asas pada hukum pidana yaitu lex certa artinya rumusan delik pidana harus jelas dan lex stricta artinya harus tegas tanpa adanya analogi. Para mahasiswa yang turun ke jalan memiliki dua tuntutan terkait RKUHP yaitu untuk membuka draf RKUHP dan membahas pasal-pasal yang bermasalah.
Arsul Sani anggota Komisi III DPR RI menyatakan bahwa pihaknya maupun pemerintah membantah bahwa penyusunan RKUHP ini cenderung tertutup. Ia berkata bahwa data inventarisasi adalah berasal dari masukan-masukan dari Aliansi Reformasi Nasional KUHP yang merupakan kumpulan dari 20 LSM. Sejalan dengan Arsul, Sufmi Dasco, Wakil Ketua DPR RI menyatakan bahwa pihaknya belum dapat membuka draf RKUHP lantaran permasalahan teknis yang masih banyak terdapat di dalamnya. Permasalahan ini masih ditangani oleh Komisi III yang akan menindaklanjutinya dengan rapat pandangan mini fraksi.
Baca juga: Perbedaan Antara Advokat dan Pengacara Menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) ini akan menjadi acuan dalam pemidanaan di Indonesia. Oleh karenanya, diperlukan atensi khusus dari para pihak agar terciptanya undang-undang yang sesuai dengan cita-cita bangsa dan berorientasi kepada peradaban modern. “Adanya RUU KUHP ini dapat menghasilkan hukum pidana nasional dengan paradigma modern, tidak lagi berdasarkan keadilan retributif, tetapi berorientasi pada keadilan korektif, restoratif, dan rehabilitatif,” ujar Edward O.S Hiariej, Wamenkumham RI.
Pertanyaan:
-
Apa kegunaan dari RUU KUHP?
Jawaban: Sebagai acuan hukum pidana dalam mengatur dan menciptakan ketertiban masyarakat dan melindungi masyarakat dari tindak pidana.
-
Apa isi dari pasal 218 RUU KUHP?
Jawaban: Tentang penghinaan terhadap martabat presiden.