Daftar Isi
Pertanyaan
Apa arti “bukti permulaan yang cukup“, ditingkat kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan?
Jawaban
Menurut kamus hukum bahwa bukti permulaan adalah keadaan, perbuatan dan atau bukti keterangaan, tulisaan, atau benda yang dapat memberikan petunjuk adanya dugaan kuat bahwa sedang atau telah terjadi suatu tindak pidana.
Ada perbedaan pembuktian pada hukum cara perdata dan pidana. Alat bukti dalam hukum acara perdata meliputi surat, saksi, persangkaan, pengakuan dan sumpah.
Baca juga: Lembaga-Lembaga Penegak Hukum di Indonesia
Sedangkan dalam hukum acara pidana meliputi keteranga saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Baik kasus perdata maupun pidana mensyaratkan batasan minimal untuk dilakukan acara pemeriksaan di Pengadilan.
Bukti permulaan yang cukup disebutkan dalam Pasal 17 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Sedangkan secara tersirat dalam pasal 1905 KUH Perdata dan 169 HIR melalui prinsip unus testis nullus testis (satu saksi tidak dianggap saksi), menurut yahya harahap bahwa alat bukti memiliki batas minimal, bukti yang kurang tersebut bersifat bukti permulaan (begin wan bewijs).
Sementera itu, dalam kasus pidana sesuai dengan arahan pasal 17 UU No. 8 tahun 1981 tersebut bahwa: “perintah penangkapan dilakukan terhadap yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang kuat”.
Baca juga: Reformasi Hukum di Indonesia: Langkah Tepat Menghadirkan Keadilan
Bukti permulaan yang cukup berfungsi sebagai landasan melakukan penyidikan dan menetapkan status tersangka pada seseorang yang diduga kuat melakukan tindak pidana.
Berdasarkan penafsiran dari Mahkamah Konstitusi melalui putusan Nomor 21/PUU-XII/2014 bahwa frasa bukti permulaan yang cukup dimaknai dua alat bukti dalam pasal 184 KUHAP dalam kasus pidana dan pasal 1866 KUH Perdata dalam kasus perdata.
Secara teknis bahwa batas minimal dua ini berdampak pada kualitas alat bukti, memenuhi batas minimal sebagai makna dari cukup tersebut dilakukan agar alat bukti memiliki kekuatan pembuktian untuk mendukung kebenaran yang didalilkan, peristiwa maupun pernyataan.
Baik kepolisian, kejaksaan maupun pengadilan berpegang pada prinsip ini untuk menjalankan tugas dan fungsinya. Bagi kepolisian pasal 184 KUHAP tersebut sebagai dalil untuk melakukan penyidikan dan penetapan serta penangkapan tersangka.
Baca juga: Hukum Acara Perdata Menurut Para Ahli
Bagi kejaksaan sebagai penuntut umum harus memastikan alat bukti tersebut memenuhi syarat formil dan materil untuk diajukan ke pengadilan dan bagi hakim sebagaimana disebutkan dalam pasal 183 bahwa “hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah…”
Pembuktian dengan syarat minimal dua atau diartikan sebagai cukup dalam kasus perdata dan pidana ada perbedaan. Kasus perdata umumnya pembuktian dibebankan kepada pihak yang mengajukan fakta atau penggugat, dalam beberapa kasus khusus seperti dalam UU Lingkungan Hidup beban pembuktian dipikulkan pada pemilik pabrik yang diduga mengotori lingkungan, dalam kasus perlindungan konsumen beban pembuktian dilakukan oleh produsen dan dalam hal perbuatan melawan hukum pihak yang menuntut ganti rugilah yang harus membuktikan adanya kesalahan dan pelaku PMH tersebut. Sedangkan dalam kasus pidana, beban pembuktian diajukan oleh kejaksaan sebagai penuntut umum kepada terdakwa.
Baca juga: Kekuasaan Kehakiman
Kedudukan syarat cukup atau batas minimal dalam pembuktian baik kasus perdata maupun pidana menentukan kekuatan alat bukti. Alat bukti yang tidak kuat akan menunjukkan kualitas hukum dan menentukan kekuatan sebuah kebenaran.
Banyak kasus dimana minimnya bukti dan salah dalam menilai pembuktian masih akan mengaburkan kualitas kebenaran akhirnya ada yang tidak bersalah diputus bersalah dan begitu juga sebaliknya, khususnya dalam kasus pidana yang menerapkan sistem pembuktian negatif (negatief wettelijk bewijsleer) yakni pembuktian dimana hakim memutuskan seseorang bersalah/dijatuhi hukuman haruslah memenuhi dua syarat mutlak yakni: alat bukti yang cukup dan keyakinan hakim.
Sumber:
Marwan dkk. Kamus Hukum. Reality Publhiser, 2009.
KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana)
KUHAPER (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata)
Yahya Harahap. Hukum Acara Perdata. Sinar Grafika, 2008.
Chandra M Hamzah. Penjelasan Hukum tentang Bukti Permulaan yang Cukup. PSHK, 2014.
Munir Fuady. Teori Hukum Pembuktian Pidana dan Perdata. Citra Aditya Bakti, 2020.