PINTER HUKUM
#1 Platform for Legal Education and Consulting • Penyedia Layanan Jasa Hukum Terlengkap dan Terpercaya di Indonesia
Opini  

Kasus Korupsi Sahbirin Noor: Dampak Korupsi Pejabat Publik dalam Perspektif Teori Ilmu Negara

Sahbirin Noor

Gubernur Kalimantan Selatan (Kalsel), Sahbirin Noor, yang dikenal sebagai “Paman Birin,” telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait kasus dugaan suap dan gratifikasi. Penetapan tersangka ini diumumkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) selasa lalu.

Wakil Ketua KPK, Nurul Ghufron mengatakan, pihaknya menetapkan Sahbirin Noor bersama enam orang tersangka lainnya yang termasuk pejabat daerah, pengusaha, dan pihak swasta. Penetapan dilakukan setelah dilakukan operasi tangkap tangan (OTT) yang melibatkan para tersangka.

Baca juga: Kasus Suap yang Dilakukan oleh Gubernur Kalimantan Selatan dalam Perspektif Ilmu Negara

Adapun KPK menetapkan Sahbirin Noor sebagai tersangka karena dia diduga menerima fee 5 persen terkait sejumlah proyek. Pertama, pembangunan Lapangan Sepakbola di Kawasan Olahraga Terintegrasi Provinsi Kalimantan Selatan dengan penyedia jasa PT Wiswani Kharya Mandiri yang bernilai sekitar Rp 23 miliar. Kedua pembangunan Gedung Samsat Terpadu dengan penyedia jasa PT Haryadi Indo Utomo (HIU) dengan nilai Rp 22 miliar. Yang  terakhir adalah  pembangunan Kolam Renang di Kawasan Olahraga Terintegrasi Provinsi Kalimantan Selatan dengan penyedia jasa CV Bangun Banua Bersama (BBB) dengan nilai Rp 9 miliar.

KPK telah mengamankan sejumlah uang yang diduga bagian dari fee 5 persen untuk Sahbirin Noor saat OTT, yakni senilai Rp 13 miliar dari proyek-proyek tersebut. Rp 1 miliar untuk fee pembangunan Lapangan Sepakbola Kawasan Terpadu, pembangunan Kolam Renang Kawasan Olahraga Terpadu, dan pembangunan Gedung Samsat. Selain itu ditemukan uang senilai Rp 12 miliar dan US$ 500 yang juga diduga terkait bagian dari fee 5% untuk Sahbirin Noor terkait pekerjaan lain di Dinas PUPR Provinsi Kalimantan Selatan

Penetapan tersangka ini mengundang perhatian publik, terutama terkait laporan kekayaan yang terus meningkat. Harta kekayaannya mencapai Rp24,8 miliar terdiri dari 13 bidang tanah dan bangunan di berbagai kota, termasuk Banjarmasin dan Tanah Bumbu. Ia juga memiliki kendaraan mewah serta aset lainnya.

Dalam perspektif teori ilmu negara

kasus ini dapat dikaitkan dengan fungsi kontrol dan akuntabilitas dalam sistem pemerintahan. Salah satu tugas utama negara adalah memastikan bahwa pejabat publik bertindak sesuai dengan hukum dan etika, terutama dalam pengelolaan dana publik. Dugaan korupsi yang melibatkan pejabat tinggi seperti gubernur mengindikasikan kegagalan mekanisme kontrol di level pemerintahan daerah.

Teori ilmu negara juga menyoroti pentingnya checks and balances antara lembaga eksekutif dan lembaga penegak hukum. Dalam hal ini, peran KPK sebagai lembaga independen sangat penting dalam menjaga integritas negara. KPK bertindak sebagai alat negara untuk mencegah dan menindak tindakan korupsi, sebuah ancaman besar terhadap kedaulatan hukum dan demokrasi.

Kasus ini juga memperlihatkan bagaimana kekuasaan bisa disalahgunakan oleh aktor negara yang memiliki posisi strategis. Dalam teori Montesquieu tentang trias politica, kekuasaan harus dipisahkan dan diawasi secara ketat untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan wewenang. Ketika seorang gubernur yang memiliki kekuasaan eksekutif tinggi terlibat dalam kasus korupsi, hal ini mengganggu fungsi negara dalam melayani rakyatnya dan menciptakan kesenjangan dalam sistem demokrasi.

Selain itu, teori social contract (kontrak sosial) yang dikemukakan oleh Jean-Jacques Rousseau dapat digunakan untuk menjelaskan dampak dari tindakan korupsi pejabat publik. Dalam kontrak sosial, rakyat memberikan kepercayaan dan kekuasaan kepada pemerintah dengan harapan mereka akan melindungi kepentingan bersama. Ketika pejabat menyalahgunakan kekuasaan untuk keuntungan pribadi, seperti dalam kasus Sahbirin Noor, kontrak sosial tersebut rusak, dan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah menurun.

Dalam konteks ini, transparansi dan akuntabilitas merupakan elemen fundamental dalam menjaga keberlangsungan dan stabilitas negara. Kasus korupsi yang menjerat pejabat tinggi seperti Sahbirin menunjukkan bahwa meskipun ada mekanisme kontrol, praktik korupsi masih bisa terjadi. Negara harus memperkuat lembaga-lembaga pengawas untuk memastikan bahwa kekuasaan digunakan sesuai dengan mandat yang diberikan oleh rakyat.

Solusi Penegakan Hukum

Solusi penegakan hukum harus didasarkan pada beberapa prinsip inti yaitu yang pertama dengan prinsip supremasi hukum (Rechtsstaat) hukum harus ditegakkan secara adil dan tanpa diskriminasi, penanganan ini harus dilakukan oleh lembaga independen seperti KPK, tanpa campur tangan politik untuk menjaga keadilan.

Kedua prinsip akuntabilitas yaitu pejabat publik yang korup harus bertanggung jawab penuh atas perbuatannya, hukuman yang diberikan harus setimpal dan mencakup pengembalian aset yang dikorupsi,untuk memberi efek jera dan memperbaiki kerugian negara.

Ketiga penegakan hukum harus berjalan transparan, proses hukum yang terbuka memastikan kepercayaan publik terhadap pemerintah dan mencegah manipulasi hukum yang sering terjadi pada kasus pejabat tinggi.

Keempat  diperlukan penguatan institusi pengawasan, seperti KPK,BPK, agar mampu bekerja lebih efektif dan indpenden dalam mencegah dan menindak korupsi.

Kelima proses ini harus menjaga keadilan sosial, aset yang dikorupsi harus dikembalikan kepada negara dan digunakan untuk kepentingan rakyat, khususnya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Baca juga: Implementasi Konsep Keadilan Restoratif Melalui Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi Sebagai Upaya Pencegahan dan Penanggulangan yang Optimal

Kesimpulan

Kasus Sahbirin Noor menggambarkan pentingnya integritas pejabat publik dan peran negara dalam menjaga akuntabilitas. Negara tidak hanya memiliki fungsi administrasi, tetapi juga bertanggung jawab dalam memastikan bahwa kekuasaan tidak disalahgunakan. Mekanisme kontrol yang lebih kuat dan pengawasan yang ketat diperlukan agar korupsi dapat dicegah dan kepercayaan publik terhadap pemerintah tetap terjaga.

Penulis

Destya Akhirul Fitriana

Mahasiswa Universitas  Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.

Respon (2)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *