Banjir bandang di berbagai wilayah Sumatera khususnya Sumatra Utara, Sumatra Barat dan wilyah Aceh. Banjir dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan pola yang konsisten: curah hujan lebat hanya menjadi trigger, sementara penyebab utamanya adalah kondisi daerah hulu yang kritis akibat pembukaan hutan secara masif.
Gunung-gunung yang seharusnya menjadi daerah konservasi berubah menjadi lahan sawit, pertambangan emas ilegal, serta pemukiman tanpa perencanaan tata ruang. Ketika hutan hilang, tanah kehilangan kemampuan menyerap air, sehingga air hujan meluncur deras membawa material lumpur, batu dan kayu, bahkan dari banjir bandang pada akhir bulan November 2025 terlihat membawa ribuan gelondongan kayu yang bisa menghancurkan permukiman.
Baca Juga: Analisis Hukum Pidana Terhadap Kejahatan Hutan di Indonesia
Fenomena gunung gundul ini tidak hanya menyisakan kerusakan ekologis, tapi membuat duka seluruh masyarakat Indonesia. Penyebab banjir bandang di Sumatra ini tidak hanya murni karena curah hujan ataupun kontur tanah, akan tetapi ada campur tangan manusia yang di buktikan dengan hanyutnta ribuan gelondongan kayu yang rapi, tanpa cabang, potongan yang simetris dan ada beberapa yang sudah diberi nomor. Hal ini tentunya menimbulkan pertanyaan pertanyaan serius: siapa yang bertanggung jawab secara hukum?
Hak Konstitusional Masyarakat atas Lingkungan Sehat secara tegas di atur dalam UUD 1945 yang mana pada pasal:
- Pasal 28H ayat (1): “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta memperoleh pelayanan kesehatan.”
- Pasal 33 ayat (3): “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”
Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 di sisni menjamin bahwa setiap warga negara berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Ketika terjadi banjir bandang di Sumatra – yang dipicu oleh kerusakan hutan, alih fungsi lahan, dan lemahnya pengawasan tata ruang – hak konstitusional masyarakat secara nyata terlanggar. Banjir tersebut tidak hanya merusak tempat tinggal, tetapi juga membahayakan keselamatan jiwa, mengancam kesehatan, serta menghilangkan rasa aman warga. Hal ini menunjukkan bahwa negara berkewajiban memastikan kualitas lingkungan yang layak, dan kegagalan mencegah bencana ekologis merupakan bentuk tidak terpenuhinya hak konstitusional tersebut.
Baca Juga: Tantangan Hukum Adat: Aksi Solidaritas Merauke Tolak Proyek Strategis Nasional
Sementara itu, Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa sumber daya alam dikuasai oleh negara dan harus digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Dalam konteks banjir bandang di Sumatra, eksploitasi hutan dan sumber daya alam yang tidak terkendali—baik oleh korporasi maupun perorangan – menunjukkan lemahnya fungsi negara dalam mengatur, mengelola, dan mengawasi penggunaan sumber daya tersebut. Ketika pengelolaan bumi dan air justru menimbulkan kerusakan yang memiskinkan masyarakat, maka prinsip kemakmuran rakyat sebagaimana diamanatkan UUD tidak tercapai. Negara wajib memperbaiki tata kelola lingkungan agar pemanfaatan sumber daya alam tidak menimbulkan bencana dan justru mengurangi kesejahteraan masyarakat.
Adapun Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana
UU ini menetapkan kerangka kerja dan tanggung jawab pemerintah (pusat dan daerah) dalam penanganan bencana, termasuk tahap pra-bencana (mitigasi), tanggap darurat, dan pasca-bencana. Pelanggaran dapat terjadi jika ada kelalaian dalam upaya mitigasi, seperti pembangunan fisik dan penyadaran masyarakat di kawasan rawan bencana. Undang-Undang tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU No. 32 Tahun 2009)
Undang-undang ini sangat relevan jika banjir disebabkan atau diperparah oleh kerusakan lingkungan, seperti deforestasi atau alih fungsi lahan yang tidak sesuai aturan.
Secara ringkas, UU yang dilanggar bukan “akibat banjir” itu sendiri, melainkan undang-undang yang mengatur tentang penyebab yang memperparah banjir, utamanya yang berhubungan dengan pengelolaan hutan dan lingkungan hidup, serta potensi kelalaian dalam penanggulangan bencana.
Ada beberapa PT yang terduga memperparah banjir di Sumatra. Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni menyatakan, Kementerian Kehutanan (Kemenhut) menemukan indikasi pelanggaran hukum yang dilakukan 12 perusahaan di Sumatera Utara dan diduga berkontribusi terhadap bencana yang terjadi beberapa waktu belakangan. Kemenhut juga akan kembali mencabut 20 perizinan berusaha pemanfaatan hutan (PBPH) dengan luas mencapai 750.000 hektare di seluruh wilayah Indonesia, termasuk di tiga provinsi terdampak banjir di Pulau Sumatra dalam waktu dekat. Namun hingga saat ini, pemerintah masih menyembunyikan dan belum memerinci nama-nama perusahaan yang diduga menjadi dalang yang semakin memperparah bencana alam Sumatra. Perusahaan-perusahaan besar yang beroperasi di Sumatra bersikap defensif dan membantah tuduhan.
Penduduk di Sumatra ingat dengan perusahaan Bernama Indorayon. Ini adalah perusahaan milik Sukanto Tanoto yang kini sudah berganti nama PT Toba Pulp Lestari Tbk atau yang sering disebut TPL. Isu ini pun menyebar luas melalui media sosial dan TPL menjadi sorotan public.
Tanggung Jawab Hukum yang dapat di kenakan kepada beberapa perusahan yang di duga menjadi penyebab banjir bandang antara lain:
1. Tanggung Jawab Administratif
2. Tanggung Jawab Perdata
3. Tanggung Jawab Pidana
4. Tanggung Jawab Negara (State Liability)
Fenomena gunung gundul yang menjadi pemicu banjir bandang di Sumatera Utara bukan sekadar bencana alam, melainkan hasil dari akumulasi pelanggaran tata ruang, perusakan hutan, serta lemahnya pengawasan negara. Dengan kerangka hukum yang kuat – mulai dari UUD 1945, UU Lingkungan Hidup, UU Kehutanan, hingga UU Minerba – negara memiliki landasan penuh untuk menindak semua pelaku yang menyebabkan kerusakan tersebut. Namun instrumen hukum hanya akan efektif jika diikuti dengan keseriusan pemerintah dan partisipasi masyarakat. Gunung gundul sesungguhnya sedang bicara dan menyampaikan bahwa kerusakan lingkungan adalah kegagalan moral dan hukum yang harus segera diperbaiki.
“Hukum sebagai instrument penyeimbang kehidupan, bukan alat untuk sampai menghancurkan salah satu aspek kehidupan”-Ahmad Alafi
Baca Juga: Etika Pertambangan: Tanggung Jawab terhadap Lingkungan dan Kesejahteraan Masyarakat