PINTER HUKUM
#1 Platform for Legal Education and Consulting • Penyedia Layanan Jasa Hukum Terlengkap dan Terpercaya di Indonesia

Kekosongan Delik Pasal 114 UU Narkotika dalam KUHP Nasional: Dekriminalisasi Peredaran Gelap Narkotika dan Konsekuensi Yuridisnya

delik narkotika

Pendahuluan

Kodifikasi KUHP Nasional merupakan tonggak penting dalam pembaruan hukum pidana Indonesia [1]. Namun harmonisasi dengan undang-undang sektoral tidak selalu dilakukan secara konsisten, terutama dengan UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

Setelah dianalisis, terdapat kekosongan hukum sangat serius: Pasal 114 UU Narkotika delik inti peredaran gelap narkotika dicabut dan tidak dirumuskan ulang dalam KUHP Nasional, sehingga menimbulkan abolitio criminis. Lebih ironis lagi, pasal yang justru telah dikritik Mahkamah Agung sebagai pasal “karet” atau “keranjang sampah”, yaitu Pasal 112, malah dipertahankan dan dibuatkan padanan di KUHP Nasional.

Kondisi ini menunjukkan tidak hanya cacat harmonisasi, tetapi juga kerapuhan logika kebijakan kriminal dalam penataan kembali delik narkotika.

Pasal 622 KUHP Nasional dan Pencabutan Delik Narkotika

Pencabutan Pasal 111–126 UU Narkotika

Pasal 622 ayat (1) huruf w KUHP menyatakan bahwa Pasal 111 sampai Pasal 126 UU Narkotika dicabut dan tidak berlaku sejak KUHP mulai berlaku. Tetapi pasal-pasal tersebut masih dapat “hidup” apabila KUHP merumuskan padanan normatifnya.

Karena itu sejumlah ketentuan dipindahkan ke KUHP, antara lain[2]:

  • Pasal 112 → Pasal 609 huruf a,
  • Pasal 113 → Pasal 610 huruf a,
  • Pasal 117 → Pasal 609 huruf b,
  • Pasal 118 → Pasal 610 huruf b.

Pemindahan ini menegaskan bahwa keberlakuan delik narkotika kini bergantung sepenuhnya pada apakah KUHP menyediakan rumusan pengganti.

Baca Juga: Dampak Hukum Bagi Pengguna Narkoba dalam Masyarakat

Pasal 112 yang Bermasalah Justru Dipertahankan

Putusan Mahkamah Agung Nomor 1071 K/Pid.Sus/2012 tanggal 26 Juni 2012 menilai Pasal 112 adalah pasal karet. Majelis menyebutnya sebagai “keranjang sampah”, karena[3]:

  • pengguna atau pecandu yang hanya menguasai narkotika untuk dipakai sendiri tetap terjerat Pasal 112,
  • pasal ini digunakan tanpa mempertimbangkan maksud, niat, atau keadaan terdakwa,
  • ruang lingkupnya terlalu luas sehingga seluruh bentuk penguasaan narkotika dianggap tindak pidana peredaran.

MA menegaskan bahwa pendekatan demikian keliru dan tidak mempertimbangkan keadaan individual terdakwa.

Namun ironisnya, pasal yang telah diperingatkan bermasalah ini justru dirumuskan ulang oleh KUHP menjadi Pasal 609.

Pasal 114 yang Justru Penting Menghilang dari KUHP

Berbanding terbalik dengan Pasal 112, Pasal 114 yang merupakan delik inti untuk menindak bandar, kurir, dan pelaku transaksi narkoba tidak memiliki padanan di KUHP nasional.

  • Tidak ada remapping.
  • Tidak ada rumusan baru.
  • Tidak ada substitusi delik.

Dengan demikian, Pasal 114 termasuk pasal yang dicabut sepenuhnya oleh Pasal 622 ayat (1) huruf w KUHP Nasional.

Akibatnya:

  • Pasal 114 dinyatakan tidak berlaku begitu KUHP Nasional mulai berlaku.
  • Perbuatan menawarkan, menjual, membeli, menjadi perantara, atau menyerahkan narkotika tidak lagi merupakan tindak pidana.

Hal ini menciptakan abolitio criminis total terhadap peredaran gelap narkotika.

Akibat Dekriminalisasi Menurut Pasal 3 KUHP Nasional

Karena Pasal 114 tidak lagi merupakan tindak pidana, ketentuan Pasal 3 KUHP berlaku penuh.

Terhadap Proses Perkara

Pasal 3 ayat (2) dan ayat (3) menegaskan bahwa apabila perbuatan tidak lagi merupakan tindak pidana, maka[4]:

  • penyelidikan,
  • penyidikan,
  • penuntutan,
  • dan pemeriksaan di pengadilan

wajib dihentikan ex officio oleh pejabat berwenang.

Terhadap Terpidana

Pasal 3 ayat (4) dan ayat (5) menentukan bahwa[5]:

  • pelaksanaan putusan pemidanaan harus dihentikan,
  • pejabat berwenang wajib melakukan penghentian tersebut secara ex officio.

Dengan demikian, semua terpidana Pasal 114 yang sedang menjalani pidana wajib dihentikan pelaksanaan pidananya segera setelah KUHP Nasional berlaku.

Baca Juga: Kenali Jenis-jenis Saksi dalam Perkara Pidana

Dampak Sistemik Kekosongan Pasal 114 UU Narkotika

Hilangnya Dasar Hukum untuk Menjerat Peredaran Gelap Narkotika

Seluruh perbuatan inti peredaran narkotika yaitu menjual, membeli, menyerahkan, menjadi kurir, atau menjadi perantara tidak dapat lagi dipidana. Negara kehilangan delik yang paling strategis dalam pemberantasan narkoba.

Penghentian Massal Perkara dan Pelaksanaan Pidana

Karena penghentian bersifat ex officio, maka:

  • seluruh proses hukum yang sedang berjalan harus dihentikan,
  • seluruh pelaksanaan pidana harus dihentikan.

Ini menghasilkan efek sistemik paling besar dalam sejarah penegakan hukum narkotika.

Munculnya Kecacatan Logika Hukum dalam Pemberantasan Narkotika

Ketika pasal yang paling bermasalah (Pasal 112) justru dipertahankan, sedangkan pasal paling penting untuk memerangi bandar dan jaringan peredaran (Pasal 114) justru dihapus, maka:

  • rezim pemidanaan narkotika kehilangan struktur logis,
  • fokus penegakan hukum menjadi tidak proporsional,
  • kebijakan kriminal kehilangan koherensi antara tujuan dan instrumen hukumnya,
  • sistem hukum justru lebih keras pada pengguna, tetapi melumpuhkan instrumen terhadap bandar.

Ini menandai cacat logika hukum (logical defect) dalam desain pemberantasan narkotika pada KUHP Nasional.

Kesimpulan

Pencabutan Pasal 111–126 UU Narkotika melalui Pasal 622 KUHP dan ketiadaan padanan Pasal 114 dalam KUHP Nasional menghasilkan dekriminalisasi penuh terhadap delik peredaran gelap narkotika. Akibatnya:

  • seluruh proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara Pasal 114 wajib dihentikan ex officio,
  • seluruh pelaksanaan pidana terhadap terpidana Pasal 114 wajib dihentikan ex officio,
  • negara kehilangan delik inti untuk menindak transaksi dan distribusi gelap narkotika.

Selain itu, pilihan legislasi untuk mempertahankan Pasal 112 yang telah dinilai Mahkamah Agung sebagai pasal karet sementara menghapus Pasal 114 yang menjadi basis penindakan terhadap pelaku peredaran gelap, menunjukkan deviasi serius dalam politik hukum pemberantasan narkotika.

Kebijakan ini bukan saja tidak konsisten, tetapi secara substansial menjauh dari tujuan konstitusional yang diamanatkan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, yaitu memberikan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.

Baca Juga: Hambatan dan Tantangan dalam Sistem Pembuktian Terbalik Tindak Pidana Korupsi

Referensi

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2023 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Putusan Mahkamah Agung Nomor 1071 K/Pid.Sus/2012

[1] Penjelasan Umum Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2023 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

[2] Pasal 622 ayat (15) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2023 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

[3] Pertimbangan Hukum Putusan Mahkamah Agung Nomor 1071 K/Pid.Sus/2012

[4] Pasal 3 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2023 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

[5] Pasal 3 ayat (4) dan ayat (5) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2023 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *