PINTER HUKUM
#1 Platform for Legal Education and Consulting • Penyedia Layanan Jasa Hukum Terlengkap dan Terpercaya di Indonesia
Opini  

Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Meninjau Efektivitas Sistem Peradilan Agama

Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) merupakan persoalan serius yang menjadi momok bagi banyak keluarga di Indonesia. Meski telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, kasus-kasus KDRT masih terus terjadi. Salah satu upaya perlindungan hukum bagi koban KDRT adalah melalui proses peradilan, khususnya Peradilan Agama bagi yang beragama Islam. Namun, efektivitas peradilan ini masih menjadi pertanyaan besar.

KDRT merupakan bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang mengancam sendi-sendi kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Kekerasan yang terjadi dalam lingkup rumah tangga tidak hanya berdampak pada korban secara fisik, tetapi juga mengakibatkan trauma psikologis yang mendalam.

Menurut data Komnas Perempuan, sepanjang tahun 2022 terdapat 431.471 kasus kekerasan terhadap perempuan, dengan 28% di antaranya merupakan kasus KDRT. Angka ini meningkat dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 348.446 kasus. Fakta ini menunjukkan bahwa upaya perlindungan hukum bagi korban KDRT masih belum optimal.

Baca juga: Kekerasan dalam Rumah Rumah Tangga (KDRT) Termasuk Delik Biasa  atau Aduan?

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga menjadi payung hukum utama dalam menangani kasus KDRT di Indonesia. Undang-undang ini mendefinisikan KDRT sebagai:

“Setiap perbuatan terhadap seseorang, terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.”

Adapun bentuk-bentuk KDRT yang diatur dalam undang-undang ini meliputi kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, dan penelantaran rumah tangga. Sementara itu, lingkup rumah tangga mencakup suami, istri, anak, orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang tersebut karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan/atau hubungan yang tinggal di rumah tangga.

Kekerasan Dalam Rumah Tangga Pada Peradilan Agama

Dalam konteks peradilan, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama memberikan kewenangan kepada Peradilan Agama untuk menangani perkara-perkara tertentu bagi pemeluk agama Islam. Salah satu kewenangan tersebut adalah menangani perkara-perkara yang berkaitan dengan KDRT.

Penelitian yang dilakukan oleh Pusat Studi Wanita Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta pada tahun 2021 menunjukkan bahwa Peradilan Agama memiliki peran penting dalam memberikan perlindungan hukum bagi korban KDRT, khususnya bagi perempuan Muslim. Penelitian ini menganalisis putusan-putusan Pengadilan Agama terkait KDRT dan menemukan bahwa hakim Pengadilan Agama cenderung lebih sensitif dalam memberikan pertimbangan hukum yang berperspektif gender dan melindungi hak-hak korban KDRT.

Namun, efektivitas Peradilan Agama dalam memberikan perlindungan hukum bagi korban KDRT masih menghadapi sejumlah tantangan. Salah satunya adalah masih kurangnya pemahaman dan kepekaan terhadap isu-isu KDRT di kalangan sebagian hakim Pengadilan Agama.

Penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta pada tahun 2020 menemukan bahwa sebagian hakim Pengadilan Agama masih memiliki pandangan stereotip terhadap korban KDRT dan cenderung melihat KDRT sebagai masalah rumah tangga yang tidak perlu dibawa ke ranah hukum.

Tantangan lain adalah keterbatasan akses bagi korban KDRT untuk mendapatkan bantuan hukum dan pendampingan selama proses peradilan. Banyak korban KDRT yang berasal dari kalangan ekonomi lemah dan tidak memiliki akses yang memadai terhadap sumber daya hukum. Hal ini menyebabkan mereka sering kali tidak mendapatkan pendampingan hukum yang memadai selama proses peradilan, sehingga hak-hak mereka kurang terlindungi.

Selain itu, masih terdapat kelemahan dalam implementasi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga itu sendiri. Penelitian yang dilakukan oleh Komnas Perempuan pada tahun 2022 menemukan bahwa masih terdapat kekurangan dalam hal sosialisasi undang-undang ini, serta kurangnya koordinasi antara penegak hukum dan lembaga-lembaga terkait dalam menangani kasus-kasus KDRT.

Baca juga: Perbedaan Delik Biasa dan Delik Aduan

Efektivitas Peradilan Agama

Untuk meningkatkan efektivitas Peradilan Agama dalam memberikan perlindungan hukum bagi korban KDRT, beberapa langkah penting perlu diambil. Pertama, perlu dilakukan peningkatan kapasitas dan pemahaman hakim Pengadilan Agama terkait isu-isu KDRT dan perspektif gender. Hal ini dapat dilakukan melalui program-program pelatihan dan pendidikan khusus bagi hakim Pengadilan Agama.

Kedua, perlu dilakukan upaya untuk meningkatkan akses korban KDRT terhadap bantuan hukum dan pendampingan selama proses peradilan. Hal ini dapat dilakukan melalui kerja sama dengan lembaga-lembaga bantuan hukum, organisasi masyarakat sipil, dan pemerintah daerah.

Ketiga, perlu dilakukan sosialisasi yang lebih luas dan efektif mengenai Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, serta peningkatan koordinasi antara penegak hukum dan lembaga-lembaga terkait dalam penanganan kasus-kasus KDRT.

Keempat, perlu dilakukan upaya untuk memperkuat kapasitas dan sumber daya Peradilan Agama dalam menangani kasus-kasus KDRT. Hal ini dapat dilakukan melalui penambahan jumlah hakim dan staf yang memiliki kompetensi dalam menangani kasus-kasus KDRT, serta penyediaan fasilitas dan infrastruktur yang memadai bagi korban KDRT selama proses peradilan.

Kelima, perlu dilakukan upaya untuk mempromosikan nilai-nilai keadilan dan kesetaraan gender dalam masyarakat, terutama dalam lingkungan keluarga. Hal ini dapat dilakukan melalui program-program pendidikan dan kampanye publik yang melibatkan tokoh-tokoh agama, masyarakat, dan pemerintah.

Dengan mengambil langkah-langkah tersebut, diharapkan efektivitas Peradilan Agama dalam memberikan perlindungan hukum bagi korban KDRT dapat ditingkatkan. Upaya ini tidak hanya penting untuk melindungi hak-hak korban KDRT, tetapi juga untuk menciptakan lingkungan keluarga yang aman, damai, dan bebas dari kekerasan.

Kekerasan dalam rumah tangga merupakan pelanggaran terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang tidak dapat ditolerir dalam masyarakat yang beradab. Korban KDRT, terutama perempuan dan anak-anak, seringkali mengalami dampak psikologis yang berkepanjangan, seperti trauma, kecemasan, dan depresi. Hal ini dapat mempengaruhi kualitas hidup mereka dan menghambat perkembangan potensi diri.

Di sisi lain, pelaku KDRT juga perlu mendapatkan penanganan yang tepat agar tidak mengulangi perbuatannya di masa depan. Peradilan Agama dapat berperan dalam memberikan sanksi yang adil dan tegas terhadap pelaku, sekaligus memberikan rehabilitasi dan konseling yang diperlukan untuk mengubah pola pikir dan perilaku mereka.

Dengan perlindungan hukum yang efektif dari Peradilan Agama, diharapkan korban KDRT dapat memulihkan rasa aman dan kepercayaan diri, serta mendapatkan keadilan yang selayaknya. Hal ini juga dapat menjadi contoh bagi masyarakat luas bahwa kekerasan dalam rumah tangga merupakan tindakan yang tidak dapat dibenarkan dan akan mendapatkan konsekuensi hukum yang tegas.

Selain itu, upaya perlindungan hukum bagi korban KDRT melalui Peradilan Agama juga sejalan dengan nilai-nilai keadilan dan kesetaraan gender yang diajarkan dalam agama Islam. Peradilan Agama dapat menjadi media untuk mempromosikan nilai-nilai ini dalam masyarakat, terutama dalam lingkungan keluarga Muslim.

Namun, tantangan dalam meningkatkan efektivitas Peradilan Agama dalam menangani kasus KDRT tidak dapat diabaikan. Perlu adanya komitmen yang kuat dari seluruh pemangku kepentingan, mulai dari pemerintah, lembaga peradilan, organisasi masyarakat sipil, hingga masyarakat itu sendiri, untuk mendukung upaya ini. Dengan kerja sama dan koordinasi yang baik, diharapkan perlindungan hukum bagi korban KDRT dapat diwujudkan secara optimal.

Respon (1)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *