PINTER HUKUM
#1 Platform for Legal Education and Consulting • Penyedia Layanan Jasa Hukum Terlengkap dan Terpercaya di Indonesia
Opini  

Melangkah ke Depan Membalik Dampak UU ITE

UU ITE

Latar Belakang dan Definisi UU ITE

Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) adalah undang-undang di Indonesia yang mengatur informasi elektronik serta transaksi elektronik. Undang-undang ini mencakup berbagai jenis data elektronik termasuk tulisan, suara, gambar, dan simbol yang memiliki arti dan dapat dipahami oleh individu yang memahami kode tersebut.

Tujuan awal UU ITE adalah untuk menyediakan kerangka hukum yang mendukung perkembangan teknologi informasi dan transaksi elektronik di Indonesia.

Baca juga: Pasal Berlapis Menanti Pembuat Fake Account yang Melanggar UU ITE

Dampak UU ITE

Membatasi masyarakat dalam mengkritik pemerintah di platform digital sering kali didukung dengan contoh kasus seperti Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti. Mereka adalah aktivis yang menghadapi tuntutan hukum karena mengkritik pejabat pemerintah dengan menggunakan pasal 27 ayat 3 UU ITE yang mengatur tentang penghinaan dan pencemaran nama baik.

Banyak pihak menilai bahwa pasal ini tidak memiliki definisi yang jelas mengenai apa yang dimaksud dengan penghinaan dan pencemaran nama baik, sehingga rentan disalahgunakan untuk membungkam kritik.

Statistik menunjukkan bahwa 88% kasus penghinaan dan pencemaran nama baik di bawah UU ITE berujung pada hukuman penjara, dengan pelapor terbanyak adalah pejabat negara. Ini menunjukkan potensi penyalahgunaan undang-undang ini untuk melindungi kepentingan elit dan menekan kebebasan berpendapat.

Revisi terhadap UU ITE pada tahun 2016 dan 2021 masih belum menyelesaikan masalah ini, karena pasal-pasal yang dianggap karet masih tetap ada dan memberikan kewenangan besar kepada pemerintah untuk memutus akses informasi yang dianggap mengganggu ketertiban.

Sebagai solusi, beberapa pihak menyarankan agar kasus penghinaan dan pencemaran nama baik dialihkan dari ranah pidana ke perdata, seperti yang diterapkan di Amerika Serikat dan beberapa negara lainnya.

Pendekatan perdata akan mengurangi risiko pemenjaraan dan lebih fokus pada kompensasi finansial, sehingga tidak menimbulkan dampak yang besar terhadap kebebasan berpendapat.

Melihat dari sudut pandang yang netral, UU ITE memang memiliki tujuan yang baik untuk mengatur informasi dan transaksi elektronik. Namun, implementasinya sering kali menimbulkan kontroversi, terutama terkait dengan kebebasan berpendapat.

Baca juga: Hak Angket: Upaya Pengawasan DPR atau Penolakan Kekalahan?

Di satu sisi, pemerintah memerlukan alat hukum untuk menjaga ketertiban dan mencegah penyebaran informasi yang merugikan. Di sisi lain, terlalu luasnya definisi dan kewenangan dalam UU ITE berpotensi disalahgunakan untuk membungkam kritik yang sah.

Dalam menyeimbangkan kedua sisi ini, revisi terhadap UU ITE harus dilakukan dengan lebih transparan dan melibatkan partisipasi publik yang lebih luas. Selain itu, perlu adanya pengawasan yang ketat terhadap implementasi undang-undang ini agar tidak digunakan secara sewenang-wenang.

Penerapan mekanisme perdata dalam kasus pencemaran nama baik bisa menjadi salah satu langkah untuk memastikan bahwa kebebasan berpendapat tetap terjaga tanpa mengabaikan perlunya ketertiban dan penghormatan terhadap individu.

Kesimpulannya, UU ITE perlu direvisi secara komprehensif dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan untuk memastikan bahwa hukum ini tidak digunakan untuk membungkam kritik yang sah.

Alternatif penyelesaian kasus pencemaran nama baik melalui ranah perdata juga dapat dipertimbangkan untuk menjaga keseimbangan antara kebebasan berpendapat dan perlindungan terhadap individu.

Respon (1)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *