Transformasi digital telah membawa perubahan besar dalam lanskap industri keuangan. Lahirnya teknologi finansial (FinTech) menawarkan kesegaran bagi konsumen dengan layanan seperti pembayaran digital, pinjaman online, dan investasi crowdfunding yang menjanjikan akses lebih mudah dan efisien terhadap produk dan jasa keuangan. Namun, di balik kemudahan ini, terdapat tantangan besar dalam hal regulasi dan perlindungan konsumen berdasarkan hukum perdata.
Studi yang dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada tahun 2021 mengungkap fakta mengejutkan bahwa meskipun jumlah pengguna FinTech di Indonesia telah meroket hingga melebihi 40 juta pengguna aktif, namun masih ada kekhawatiran terkait perlindungan konsumen dan risiko penipuan dalam industri ini (OJK, 2021). Hal ini menunjukkan bahwa perkembangan FinTech berjalan lebih cepat dibandingkan dengan kemampuan regulasi untuk mengimbanginya.
Baca juga: Tantangan Legal Tech dalam Transformasi Layanan Hukum Perdata: Peluang dan Resiko
Dalam konteks hukum perdata, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) menjadi payung hukum utama untuk menjamin hak-hak konsumen dalam bertransaksi, termasuk dalam layanan FinTech. Pasal 4 UUPK menegaskan hak konsumen untuk memperoleh informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai produk atau layanan yang ditawarkan. Sementara Pasal 7 UUPK mengatur kewajiban pelaku usaha untuk memberikan informasi yang sama mengenai kondisi dan jaminan barang atau jasa.
Meskipun demikian, penerapan UUPK dalam konteks FinTech bukanlah hal yang mudah. Sebagian besar layanan FinTech beroperasi di platform digital dan menggunakan kontrak elektronik, yang membutuhkan penyesuaian dalam penafsiran dan penerapan hukum perdata yang ada. Tantangan ini semakin kompleks mengingat sifat industri FinTech yang cepat berkembang dan lintas batas, seringkali melampaui yurisdiksi hukum nasional.
Oleh karena itu, kerjasama internasional menjadi kunci dalam mengatur dan mengawasi praktik-praktik FinTech yang berpotensi merugikan konsumen. Namun, disisi lain, regulasi yang terlalu ketat dapat menghambat inovasi dan perkembangan industri FinTech itu sendiri. Maka, dibutuhkan keseimbangan antara inovasi dan perlindungan konsumen dalam kerangka regulasi yang responsif terhadap dinamika perkembangan teknologi FinTech.
Aspek krusial dalam melindungi konsumen di industri FinTech adalah keterbukaan informasi. Konsumen harus mendapatkan informasi yang jelas, komprehensif, dan tidak menyesatkan mengenai produk atau layanan yang ditawarkan, termasuk biaya, risiko, dan ketentuan-ketentuannya. Informasi ini harus disajikan dalam format yang mudah dipahami oleh konsumen.
Di samping itu, mekanisme penyelesaian sengketa yang efisien juga merupakan kunci dalam menjamin hak-hak konsumen. Konsumen harus memiliki akses yang mudah untuk menyampaikan keluhan atau pengaduan, dan proses penyelesaian sengketa harus dilakukan secara adil dan transparan. Dalam konteks ini, Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa (LAPS) dapat menjadi saluran yang efektif bagi konsumen untuk menyelesaikan sengketa dengan pelaku usaha FinTech secara cepat dan terjangkau, menjembatani kepentingan konsumen dan pelaku usaha dengan cara yang lebih sederhana dan fleksibel dibandingkan dengan proses litigasi di pengadilan.
Mekanisme penyelesaian sengketa yang efisien merupakan komponen penting dalam upaya melindungi konsumen di industri FinTech. Dengan sifat industri yang cepat bergerak dan seringkali melintasi batas yurisdiksi, konsumen harus memiliki akses yang mudah untuk menyampaikan keluhan atau pengaduan terkait layanan FinTech yang mereka gunakan. Proses penyelesaian sengketa juga harus dilakukan secara adil dan transparan, dengan mempertimbangkan hak-hak dan kepentingan kedua belah pihak.
Dalam konteks ini, Badan Penyelesaian Sengketa (BPS) dapat menjadi saluran yang sangat efektif bagi konsumen untuk menyelesaikan perselisihan dengan pelaku usaha FinTech. BPS menawarkan proses yang lebih cepat dan terjangkau dibandingkan dengan proses peradilan di pengadilan. Konsumen dan pelaku usaha dapat menyelesaikan sengketa melalui mekanisme seperti konsiliasi atau arbitrase, yang menjembatani kepentingan kedua belah pihak dengan cara yang lebih sederhana dan fleksibel.
Kehadiran BPS dalam industri FinTech menjadi sangat penting mengingat sifat transaksi yang seringkali melibatkan nilai kecil namun dengan frekuensi yang tinggi. Proses peradilan di pengadilan seringkali memakan waktu dan biaya yang tidak sebanding dengan nilai sengketa itu sendiri. BPS dapat memberikan solusi yang lebih efisien dan terjangkau bagi konsumen untuk memperoleh ganti rugi atau penyelesaian yang adil.
Baca juga: Asas Hukum Perdata
Selain itu, BPS juga dapat membantu menjembatani kesenjangan pemahaman antara konsumen dan pelaku usaha FinTech. Sebagai industri yang relatif baru, konsumen seringkali kurang memahami risiko dan implikasi hukum dari layanan FinTech yang mereka gunakan. BPS dapat berperan dalam memberikan edukasi dan fasilitasi yang lebih komprehensif kepada kedua belah pihak, sehingga tercapai solusi yang adil dan dapat diterima oleh semua pihak.
Oleh karena itu, perkembangan teknologi FinTech memang membawa kemajuan yang signifikan dalam industri keuangan, namun di sisi lain juga menimbulkan tantangan besar dalam aspek regulasi dan perlindungan konsumen berdasarkan hukum perdata. Upaya untuk mencapai keseimbangan antara inovasi dan perlindungan konsumen, dengan memperkuat kerangka regulasi yang mampu mengikuti laju perkembangan teknologi FinTech, menjadi kunci agar konsumen dapat menikmati manfaat dari kemajuan ini secara aman dan terjamin hak-haknya sebagai konsumen.
Penulis
Raply Anugrah
Mahasiswa Hukum Universitas Bangka Belitung