PINTER HUKUM
#1 Platform for Legal Education and Consulting • Penyedia Layanan Jasa Hukum Terlengkap dan Terpercaya di Indonesia

MENAKAR REFORMASI KUHAP: EKSPANSI KEWENANGAN APARAT DAN RISIKO REPRESI NEGARA

reformasi kuhap

I. Latar Belakang

Selasa, 18 November 2025 menandai salah satu transformasi terbesar dalam sistem peradilan pidana Indonesia sejak diberlakunya KUHAP Tahun 1981. Hal tersebut, buntut dilaksanakan pengesahan Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Selang beberapa waktu, KUHAP yang lama dianggap tidak lagi mampu menjawab perkembangan teknologi, cyber crime, dan kebutuhan untuk disesuaikan dengan KUHP yang baru. Pemerintah menyatakan bahwa pemberlakuan KUHP baru pada tahun 2026 dapat berpotensi menimbulkan kekosongan hukum acara jika tidak terdapat KUHAP yang baru.

Meskipun demikian, hal tersebut mendapat respon kekhawatiran dari berbagai kalangan, terutama akademisi hukum, Komnas HAM, organisasi bantuan hukum, dan masyarakat sipil yang menolak proses legislasi RUU KUHAP. Proses penyusunan yang dianggap terlalu cepat dengan partisipasi publik yang bisa dibilang cukup rendah dan kurangnya ruang untuk kajian akademik lebih mendalam. Bahkan, sehari sebelum persetujuan tingkat II di DPR, draft terakhir RUU KUHAP baru dipublikasikan.

Di sisi lain, reformasi KUHAP bersinggungan langsung dengan hak-hak fundamental warga negara, seperti hak atas kebebasan, hak atas privasi, hak untuk tidak disiksa, hak atas bantuan hukum, hingga hak mendapatkan peradilan yang adil (fair trial). Hal tersebut, berarti bahwa setiap perubahan harus dilakukan denganhati-hati dan dipelajari secara menyeluruh karena dampaknya akan menjadi sistemik dan berjangka panjang.

Beberapa pasal yang dianggap berpotensi melanggar hak asasi manusia, seperti penyadapan tanpa izin hakim, pemeriksaan tanpa penasihat hukum, penggeledahan elektronik yang longgar, dan masa penahanan yang dianggap terlalu lama, membuat polemik ini menjadi lebih kuat. Banyak orang berpendapat bahwa KUHAP baru memiliki kecenderungan untuk memperluas otoritas aparat penegak hukum tanpa memperkuat sistem pengawasan independen.

Dengan demkian, mempelajari pasal-pasal yang kontroversial dalam KUHAP baru dan implikasinya terhadap hak asasi manusia menjadi sangat penting, tidak hanya bagi akademisi, tetapi juga pembuat kebijakan dan masyarakat umum.

Baca Juga: Dinamika Vervolging dan Opsporing Kasus Korupsi: Kepatuhan Formil dan Integritas Materiil Proses A Quo dalam Perspektif KUHAP

II. Isu Hukum 

  1. Apakah prinsip fair trial, due process of law, dan standar HAM Internasional memastikan bahwa hak tersangka dan terdakwa dapat dilindungi oleh KUHAP baru?
  2. Pasal mana saja dari KUHAP baru yang menimbulkan kemungkinan pelanggaran hak asasi manusia dan bagaimana hal ini berdampak pada implementasi hukum acara pidana di Indonesia?
  3. Bagaimana KUHAP baru menjaga keseimbangan antara efektivitas penegakan hukum dan perlindungan warga negara?

III. Pembahasan/Analisis

  1. Prinsip Fair Trail dan Due Procces dalam KUHAP Baru

Secara normatif, KUHAP baru mengklaim menyediakan perlindungan yang lebih baik terhadap tersangka. Misalnya, terdapat peraturan yang mewajibkan penyidik untuk memberi tahu tersangka tentang hak-hak mereka, mempertegas kewajiban untuk menyediakan bantuan hukum, dan mengatur pemeriksaan elektronik sebagai bentuk adaptasi teknologi.

Namun, perlindungan tersebut seringkali hanya bersifat deklaratif. Mekanisme pengawasan independen yang kurang, terutama dalam hal penyadapan, penahanan, dan penggunaan alat bukti elektronik tidak mengikuti peraturan yang tampaknya progresif.

Asas fair trial sebagaimana termuat dalam berbagai instrumen hukum internasional seperti International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) Pasal 14, menekankan pada hak setiap orang untuk diadili secara adil, terbuka, dan oleh pengadilan yang kompeten, independen, serta imparsial (Pakpahan dkk., 2025). Dalam hal tersebut, prinsip fair trail mencakup beberapa elemen fundamental:

  • Hak atas penasihat hukum sejak tahap awal;
  • Hak untuk tidak dipaksa memberikan pengakuan;
  • Hak atas privasi dan perlindungan terhadap penyadapan;
  • Hak untuk segera dihadapkan kepada hakim;
  • Hak untuk menguji legalitas

Dalam beberapa ketentuan KUHAP baru, prinsip-prinsip tersebut tidak diatur secara eksplisit atau bahkan dilemahkan melalui istilah seperti “keadaan mendesak”, “alasan subjektif”, atau “dapat dilakukan meskipun penasihat hukum belum hadir”. Pada akhirnya, ketidakjelasan standar ini menciptakan ruang interpretasi yang sangat besar bagi penyidik, yang pada akhirnya berpotensi mengurangi perlindungan terhadap tersangka.

Baca Juga: Filosofi KUHP Nasional

     2. Analisis Pasal-Pasal yang Berpotensi Melanggar HAM
 a. Pasal 5 ayat (2) RUU KUHAP 

Penyelidik atas perintah Penyidik dapat melakukan tindakan berupa:

  1. penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan penahanan; b. pemeriksaan dan penyitaan surat; c. mengambil sidik jari, melakukan identifikasi, memotret seseorang dan data forensik seseorang; dan
  2. membawa dan menghadapkan seseorang pada Penyidik.” bunyi Pasal 5 ayat
  • RUU (Rancangan Undang-Undang)

Menurut Koalisi Masyarakat Sipil Reformasi KUHAP, semua bisa kena pasal ini. Sebab, penangkapan bisa dilakukan pada tahap penyelidikan yang belum terkonfirmasi ada tidaknya tindak pidana.

Pada Pasal 5 KUHAP existing, tindakan yang bisa dilakukan pada tahap penyelidikan sangat terbatas, tidak sama sekali diperbolehkan untuk menahan seseorang (Adam & Putri, 2025). Koalisi tersebut menyoroti bahwa Pasal 5 RUU KUHAP membuka ruang bagi tindakan penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan, bahkan penahanan pada tahap penyelidikan, meskipun pada fase ini tindak pidana belum dipastikan terjadi.

b.  Pasal 7 ayat (3) RUU KUHAP dan Pasal 8 ayat (3) RUU KUHAP

“PPNS dan Penyidik  Tertentu  dalam pelaksanaan tugas dan wewenangnya berada di bawah koordinasi dan pengawasan Penyidik Polri.” bunyi Pasal 7 ayat (3) RUU KUHAP. Sementara Pasal 8 ayat

  • mengatur, penyerahan berkas perkara oleh PPNS atau Penyidik Tertentu dilakukan melalui Penyidik Polri untuk kemudian secara bersama-sama menyerahkan berkas perkara kepada Penuntut Umum (Adam & Putri, 2025).

Secara keseluruhan, penempatan seluruh PPNS dan Penyidik Khusus di bawah koordinasi Polri dinilai berisiko memusatkan kekuasaan secara berlebihan pada satu lembaga. Kondisi ini dipandang problematis karena Polri sendiri masih menghadapi tunggakan penyelesaian perkara dan belum optimal dalam menindaklanjuti laporan masyarakat, sehingga perlu ada mekanisme pembagian kewenangan dan pengawasan yang lebih seimbang.

c. Pasal 16 RUU KUHAP

Penyelidikan dapat dilakukan dengan cara: a. pengolahan tempat kejadian perkara; b. pengamatan; c. wawancara; d. pembuntutan; e. penyamaran; f. pembelian terselubung; g. penyerahan di bawah pengawasan; h. pelacakan; i. penelitian dan analisis dokumen; j. mendatangi atau mengundang seseorang untuk memperoleh keterangan; dan/atau k. kegiatan lain yang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,” bunyi Pasal 16 ayat (1) RUU KUHAP.

RUU KUHAP dinilai membuka ruang penyalahgunaan kewenangan karena metode undercover buy dan controlled delivery, yang sebelumnya terbatas pada penyidikan kasus narkotika, kini dapat digunakan pada seluruh jenis tindak pidana tanpa batasan dan tanpa pengawasan hakim. Kondisi ini meningkatkan risiko penjebakan dan rekayasa perkara oleh aparat, sehingga tahap penyelidikan berpotensi melampaui fungsi awalnya.

d. Pasal 79 ayat (8) RUU KUHAP

“Mekanisme Keadilan Restoratif dilaksanakan pada tahap: a. penyelidikan; b. penyidikan; c. penuntutan; dan d. pemeriksaan di sidang pengadilan,” bunyi pasal 79 ayat (8) RUU KUHAP

Aturan tersebut dinilai membuka peluang penyalahgunaan kewenangan, karena seseorang dapat diperas atau dipaksa melakukan penyelesaian damai dengan alasan restorative justice, bahkan ketika pada tahap penyelidikan belum ada kepastian bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi.

e.  Pasal 96 RUU KUHAP dan Pasal 100 ayat (1) KUHAP

Penangkapan dilakukan paling lama 1×24 (satu kali dua puluh empat) jam, kecuali ditentukan lain oleh Undang-Undang.” bunyi Pasal 96 RUU KUHAP. Sementara itu, bunyi Pasal 100 ayat (1) “Penahanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 hanya dapat dilakukan berdasarkan surat perintah penahanan atau penetapan Hakim terhadap Tersangka atau Terdakwa yang melakukan tindak pidana atau melakukan percobaan atau pembantuan melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.”

Aturan baru tersebut membuka peluang penggunaan upaya paksa tanpa pengawasan yudisial yang memadai, sehingga ruang kesewenang-wenangan aparat menjadi lebih besar. Penangkapan dapat berlangsung lebih lama dari ketentuan dasar, dan penahanan tetap dimungkinkan tanpa perbaikan terhadap praktik aturan sektoral yang selama ini sering disalahgunakan. Ketiadaan mekanisme kontrol seperti pemeriksaan habeas corpus membuat perlindungan terhadap hak individu semakin lemah.

f.  Pasal 113 ayat (4) RUU KUHAP, Pasal 120 ayat (1) RUU KUHAP, Pasal 136 RUU KUHAP, dan Pasal 140 ayat (7) RUU KUHAP

Kewenangan upaya paksa yang dapat dilakukan tanpa persetujuan pengadilan dinilai sangat problematis karena memberikan ruang luas bagi aparat untuk melakukan penggeledahan, penyitaan, penyadapan, dan pemblokiran hanya berdasarkan penilaian subjektif. Kondisi ini meningkatkan risiko penyalahgunaan wewenang dan melemahkan perlindungan terhadap hak privasi serta jaminan due process of law bagi setiap orang.

g. Pasal 146 ayat (1) RUU KUHAP

Terhadap pelaku tindak pidana yang tidak dapat dimintai pertanggungjawaban karena penyandang disabilitas mental dan/atau intelektual berat sebagaimana dimaksud dalam KUHP, pengadilan dapat menetapkan tindakan berupa rehabilitasi atau perawatan,”. Bunyi Pasal 146 ayat (1) RUU KUHAP.

Aturan tersebut dinilai membuka ruang penghukuman tanpa batas waktu bagi penyandang disabilitas mental dan intelektual, sekaligus menempatkan mereka seolah tidak memiliki kapasitas hukum. Ketentuan ini juga berpotensi melegitimasi perampasan kebebasan secara sewenang-wenang karena sanksi yang dijatuhkan tidak diperlakukan sebagai putusan pidana, sehingga tidak memiliki batas waktu yang jelas, mekanisme pengawasan, maupun prosedur penghentian tindakan.

Baca Juga: Perbedaan Upaya Hukum Biasa Dan Upaya Hukum Luar Biasa

      3. Efisiensi Penegakan Hukum dan Risiko Represi Negara

Pemerintah menilai ketentuan-ketentuan seperti penyadapan, penyitaan digital, dan fleksibilitas penahanan diperlukan untuk mengatasi kejahatan modern. Namun,

tanpa pembatasan dan pengawasan ketat, peningkatan kewenangan aparatur justru dapat mengancam demokrasi dan rule of law.

Di beberapa negara, perluasan kewenangan penyidikan selalu diimbangi dengan judicial control, penguatan independent oversight mechanism, dan pembatasan ketat atas penyadapan. Dalam KUHAP baru, komponen-komponen ini relatif lemah.

Semakin jelas bahwa ada konflik antara efektivitas penegakan hukum dan perlindungan hak individu. Meskipun KUHAP baru dibuat untuk meningkatkan efisiensi, hasilnya adalah peningkatan risiko penyalahgunaan kewenangan, terutama ketika pengawasan yudisial tidak diperkuat.

IV. Kesimpulan

KUHAP baru adalah reformasi penting, tetapi membawa konsekuensi serius bagi perlindungan HAM. Meski pemerintah mengklaim adanya peningkatan perlindungan tersangka, sejumlah pasal penting justru membuka ruang penyalahgunaan kekuasaan. Penyadapan tanpa izin hakim, penggeledahan elektronik yang longgar, penahanan berbasis bukti subjektif, serta lemahnya pengawasan praperadilan adalah faktor paling berisiko.

Untuk memastikan bahwa KUHAP baru tetap berada dalam koridor konstitusional, diperlukan evaluasi dan uji materiil menyeluruh dari Mahkamah Konstitusi karena ada banyak kemungkinan pelanggaran HAM. Untuk memastikan bahwa prinsip negara hukum tetap dijunjung tinggi, pengawasan publik, advokasi akademik, dan partisipasi lembaga HAM sangat penting.

Oleh karena itu, pembaruan KUHAP tidak boleh berhenti pada pengesahan undang-undang; harus diikuti dengan pengawasan yang ketat terhadap pelaksanaan undang-undang, aturan pelaksanaan yang jelas, dan sistem koreksi hukum yang kuat di tingkat yudisial.

V. Daftar Bacaan

Pakpahan dkk. (2025). Implementasi Asas Fair Trial dan Open Justice dalam Legal Memorandum dan Eksaminasi sebagai Sarana Pengawasan Akuntabilitas Hakim, Jurnal Riset Rumpun Ilmu Sosial, Politik dan Humaniora, Vol 4, No 1, Hal 497-510.

Fair Trials (2025). https://www.fairtrials.org/the-right-to-a-fair-trial/#the-rule-of-law-90. Diakses pada 25 November 2025

Ady Thea DA (2025). KUHAP Baru: Kontroversi Kewenangan Besar Penyidik Polri, PPNS Cuma Bisa Tangkap Atas Perintah?. Hukum Online. KUHAP Baru: Kontroversi Kewenangan Besar Penyidik Polri, PPNS Cuma Bisa Tangkap Atas Perintah?. Diakses pada 25 November 2025

Mimin Hartono (2025), RKUHAP dan Potensi Pelanggaran HAM. Kompas.id.

RKUHAP dan Potensi Pelanggaran HAM. Diakses pada 25 November 2025

Adam dan Trikarina Putri (2025), Pasal-pasal Kontroversial dalam RUU KUHAP yang Segera Disahkan DPR. Tempo.co. Pasal-pasal Kontroversial dalam RUU KUHAP yang Segera Disahkan DPR. Diakses pada 26 November 2025

DPR RI (2025), RUU tentang Hukum Acara Pidana (didalam Prolegnas RUU Prioritas Tahun 2025 tertulis RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana). Situs Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia – DPR RI. Diakses pada 26 November 2025

Parlementaria (2025), Puan Pimpin Pengesahan UU KUHAP yang Baru: Berlaku Mulai 2 Januari 2026. Jdih.dpr.go.id. Parlementaria Terkini – JDIH SETJEN DPR. Diakses pada 26 November 2025

Ady Thea DA (2025), Komnas HAM Catat 5 Potensi Pelanggaran HAM dalam KUHAP Baru.https://www.hukumonline.com/berita/a/komnas-ham-catat-5-potensi-pelanggaran-h

am-dalam-kuhap-baru-lt6925a774e1351/. Diakses pada 26 November 2025

Marsudin Nainggolan (2025), Sistem Pembuktian Terbuka Dalam KUHAP Baru, Era Baru Peradilan Pidana Indonesia. https://dandapala.com/article/detail/sistem-pembuktian-terbuka-dalam-kuhap-baru-era-ba ru-peradilan-pidana-indonesia. Diakses pada 26 November 2025.

Baca Juga: Peran Hukum Administrasi saat Ekonomi Negara Terpuruk

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *