Indonesia telah merancang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sejak 1963 yang disahkan DPR RI pada tanggal 6 desember 2022 kemarin. KUHP yang baru ini dibuat berlandaskan dengan living law atau hukum yang hidup di dalam masyarakat Indonesia. Namun, Indonesia telah hidup dengan hukum pidana yang diturunkan oleh Belanda selama bertahun-tahun. Lalu, apa yang mendorong pembuatan KUHP yang baru ini?
Ada beberapa hal yang menyebabkan kurang sesuainya hukum pidana yang lama dengan diri Indonesia. Contohnya, sifat Belanda lebih condong ke sifat individualis sedangkan Indonesia lebih condong ke sifat kolektif, sehingga pidana yang diberikan kepada pelaku sangat terbatas dan pengaduan yang dapat diajukan juga terbatas hanya kepada pihak-pihak tertentu saja. Contohnya seperti pengaduan mengenai perzinahan hanya dapat dilakukan oleh suami ataupun istri saja, sehingga sangat terbatas apabila terjadi perzinahan yang mengganggu orang lain namun mereka tidak dapat menggugatnya.
Baca juga: Politik Identitas Menjelang Pemilu 2024, Begini KUHP Baru Mengaturnya
Selain itu, penetapan hukum menurut Belanda juga berlandaskan dengan rasionalitas, logika, dan fakta sehingga tidak mempertimbangkan faktor-faktor lain yang bisa menjadi penyebab kriminalitas itu sendiri. Contohnya, seperti pasal 362 tentang pencurian. Dalam KUHP lama tidak ada pertimbangan tentang motif dari pelaku, padahal mungkin saja pelaku pencurian tersebut melakukan tindak pidana ini karena kelaparan dan tidak memiliki uang untuk membeli makanan, artinya orang-orang dengan kondisi semacam ini sebenarnya tidak memiliki niatan untuk berbuat jahat, namun adanya urgensi bagi mereka untuk terus bertahan hidup. Tapi dimata KUHP lama hal-hal tersebut tidak bisa dipertimbangkan selama mereka telah melakukan tindak pidana.
Tak hanya itu, adat dan budaya yang ada di Belanda dan di Indonesia juga sangat berbeda. Indonesia memiliki ribuan adat dan budaya, sedangkan Belanda tidak. Sehingga KUHP turunan Belanda ini tidak mencerminkan jati diri Indonesia yang memiliki keberagaman budaya. Asas-asas kekeluargaan dan gotong royong menjadi salah satu ciri khas bangsa Indonesia. Dalam KUHP baru dapat dilihat dengan jelas bahwa hukum adat yang ada di Indonesia sangat dihargai dan diperhatikan. Hal ini dapat dilihat pada pasal 2 KUHP baru yang menjelaskan dapat berlakunya pidana menurut hukum adat selama sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, hak asasi manusia, dan asas umum yang diakui masyarakat bangsa-bangsa. Selain itu, penerapan asas-asas kekeluargaan dalam KUHP baru juga dapat dilihat pada pasal 458 ayat (2) yang menjelaskan tentang pidana pemberat terhadap pembunuhan yang dilakukan kepada ibu, ayah, istri, suami, atau anak. Sebelumnya, pada KUHP lama tidak ada perbedaan pidana terhadap kasus pembunuhan, hal ini dikarenakan belanda tidak memiliki budaya gotong royong atau kekeluargaan yang kuat seperti di Indonesia.
Dalam hal agama, penerapannya di Belanda juga sangat berbeda dengan Indonesia. Belanda adalah Negara yang sekuler, dimana agama dan Negara dipisah. Agama dinilai sebagai hal privasi dan sistem hukumnya tidak berdasarkan pada prinsip-prinsip agama. Sedangkan Indonesia memiliki tingkat religiusitas yang tinggi. Kehidupan sehari-hari juga berlandaskan dengan norma-norma keagamaan. Oleh karena itu, perbedaan pandangan terhadap agama berimplikasi terhadap peraturan KUHP yang tidak tegas dalam menanggapi permasalahan agama yang dinilai sangat penting bagi Indonesia.
Baca juga: Perbedaan KUHP dan KUHAP
Indonesia juga mulai sadar bahwa hukuman berupa penjara sudah bukan solusi yang efektif lagi untuk mengurangi tindak pidana. Penjara merupakan pidana yang paling umum digunakan dalam KUHP lama. Implikasi dari penggunaan pidana ini menyebabkan overcrowding di penjara dan menghabiskan uang Negara untuk mengurusi narapidana. Kenyataannya ketika seseorang keluar dari penjara, dia masih bisa melakukan tindak pidana karena pengaruh buruk dalam penjara. Oleh karena itu, pendekatan restoratif menjadi sebuah solusi yang baik karena bisa memperbaiki perilaku pelaku melalui rehabilitasi dan dapat mengurangi overcrowding yang terjadi pada penjara.
Meskipun begitu KUHP yang baru juga tidak sempurna, sebelum pengesahannya, KUHP ini menuai banyak kritik karena dianggap melanggar beberapa hak asasi manusia. Namun, KUHP baru ini telah mencoba untuk mengakomodasi keberagaman yang ada di Indonesia dan menghargai hukum adat yang ada. KUHP baru juga membuka pandangan terhadap penyelesaian masalah, tidak lagi berdasarkan pembalasan atau penghukuman namun kesadaran terhadap banyaknya faktor yang dapat memengaruhi seseorang untuk melakukan tindak pidana, serta pemulihan sosial antara korban dan pelaku. Bentuk dari pendekatan restoratif ini merupakan cerminan dari asas-asas kekeluargaan di Indonesia. Sudah sepatutnya kita bangga dengan produk hukum Negara kita, Negara Indonesia.