Abstrak
Sinergi antara Financial Action Task Force (FATF) dan lembaga nasional di Indonesia berperan penting dalam optimalisasi perampasan aset berdasarkan RUU Perampasan Aset. RUU ini dirancang untuk memberikan kerangka hukum yang lebih jelas dalam menangani aset hasil tindak pidana korupsi maupun pencucian uang. Meskipun Indonesia telah berkomitmen menjadi bagian dari FATF, tetapi masih terdapat tantangan dalam hal koordinasi antar lembaga dan infrastruktur hukum. Sinergi antara FATF dan lembaga nasional diharapkan dapat memperkuat upaya penegakan hukum dalam tindakan perampasan aset. Dengan disahkannya RUU tersebut, diharapkan proses perampasan aset menjadi lebih efisien, serta memperkuat komitmen Indonesia dalam memberantas korupsi dan pencucian uang mengingat RUU tersebut telah disesuaikan dengan Rekomendasi FATF.
Kata Kunci: Financial Action Task Force (FATF), RUU Perampasan Aset, Korupsi, dan Pencucian Uang.
Abstract
Synergy between the Financial Action Task Force (FATF) and national institutions in Indonesia plays an important role in optimizing asset forfeiture under the Asset Forfeiture Bill. This bill is designed to provide a clearer legal framework in dealing with assets from corruption and money laundering crimes. Although Indonesia has committed to be part of the FATF, there are still challenges in terms of inter-agency coordination and legal infrastructure. Synergy between FATF and national institutions is expected to strengthen law enforcement efforts in asset forfeiture actions. With the passing of the bill, it is expected that the asset forfeiture process will become more efficient, as well as strengthen Indonesia’s commitment to eradicating corruption and money laundering considering that the bill has been adjusted to the FATF Recommendations. Keywords: Financial Action Task Force (FATF), Asset Forfeiture Bill, Corruption, and Money Laundering.
Pendahuluan
Korupsi adalah salah satu masalah paling serius yang dihadapi oleh banyak negara, termasuk Indonesia. Korupsi tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga menghambat pembangunan dalam aspek sosial dan ekonomi. Dalam upaya pemberantasan korupsi, salah satu instrumen penting adalah perampasan aset yang berasal dari tindak pidana. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) memberikan kerangka hukum untuk perampasan aset.
Namun demikian, terlepas dari kerangka hukum yang ada, pengaturan dan pelaksanaan perampasan aset dalam konteks tindak pidana korupsi masih menghadapi berbagai tantangan. Dalam banyak kasus, aset yang berasal dari tindak pidana korupsi sulit untuk dilacak dan disita, terutama jika aset tersebut telah dipindahkan ke luar negeri. Proses perampasan aset yang panjang dan rumit sering kali melemahkan efektivitas penegakan hukum. Birokrasi yang tidak dipahami dengan baik dan kurangnya komunikasi antar lembaga dapat memperlambat proses perampasan aset, sehingga memungkinkan para pelaku kejahatan tidak dikenai proses hukum yang berlaku.
Dalam konteks ini, Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset menjadi sangat penting. RUU tersebut berusaha untuk membangun kerangka hukum yang lebih jelas dan komprehensif untuk perampasan aset yang berasal dari tindak pidana, termasuk korupsi. RUU tersebut bertujuan untuk mengatasi tumpang tindihnya UU Tipikor dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU).
RUU Perampasan Aset diperlukan untuk membangun kerangka hukum yang lebih jelas dalam menangani kasus-kasus korupsi di Indonesia. Sebagai anggota Financial Action Task Force (FATF), Indonesia berkewajiban untuk mengimplementasikan rekomendasi-rekomendasi dari badan internasional tersebut. FATF telah mengeluarkan lebih dari 40 rekomendasi yang menekankan pentingnya kerja sama antarnegara dalam memerangi pencucian uang dan pendanaan terorisme, termasuk dalam hal perampasan aset. Rekomendasi FATF memberikan panduan bagi negara-negara untuk memperkuat kapasitas mereka dalam menelusuri dan menyita aset yang berasal dari kejahatan. Dengan mengadopsi rekomendasi tersebut, Indonesia akan dapat memperkuat kapasitasnya untuk melacak dan menyita aset-aset tersebut secara lebih efektif.
Hambatan lain dalam pelaksanaan perampasan aset adalah kurangnya infrastruktur dan staf profesional di lembaga penegak hukum. Selain itu, kurangnya kerja sama antar lembaga dapat memperlambat proses perampasan aset. Lembaga penegak hukum seringkali bekerja masing-masing tanpa berkoordinasi satu sama lain, sehingga informasi yang dibutuhkan untuk menelusuri aset hasil korupsi tidak disampaikan secara efisien dan dapat memperlambat proses perampasan aset, sehingga memungkinkan para pelaku kejahatan tidak dikenai proses hukum yang berlaku. Bahkan, dalam banyak kasus, aset yang berasal dari tindak pidana korupsi sulit untuk dilacak dan disita, terutama jika aset tersebut telah dipindahkan ke luar negeri. Mengingat era digital saat ini, memudahkan aset-aset koruptor untuk dipindahkan ke luar negeri atau disimpan melalui jalur-jalur keuangan yang canggih, seperti crypto atau sebagainya.
Oleh karena itu, sinergi antara lembaga internasional dan nasional menjadi kunci dalam mengoptimalkan kewenangan perampasan aset karena kini permasalahan korupsi bukan lagi masalah nasional tapi sudah sampai permasalahan antar negara karena dengan adanya sinergi antara lembaga internasional dan nasional menjadi kunci dalam mengoptimalkan kewenangan perampasan aset. Financial Action Task Force (FATF), sebagai lembaga internasional, telah mengeluarkan rekomendasi yang menyoroti pentingnya kerja sama antarnegara dalam memerangi pencucian uang dan pendanaan teroris, termasuk dalam hal perampasan aset. Rekomendasi tersebut memberikan panduan kepada negara-negara tentang bagaimana memperkuat kapasitas untuk melacak dan merampas aset yang berasal dari tindak pidana. Dengan mengimplementasikan rekomendasi FATF dan meningkatkan kerja sama antarlembaga bertujuan untuk meningkatkan efektivitas kegiatan penegakan hukum terkait tindak pidana korupsi secara signifikan.
Dalam menghadapi tantangan tersebut, Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset menjadi sangat penting. Kehadiran UU Perampasan Aset akan menjadi oase di tengah keringnya regulasi yang menyangkut pemberantasan korupsi. RUU tersebut berusaha untuk membangun kerangka hukum yang lebih jelas, efisien, dan komprehensif untuk perampasan aset yang berasal dari tindak pidana, khususnya korupsi. RUU tersebut bertujuan untuk mengatasi tumpang tindihnya UU Tipikor dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU).
Regulasi dan penerapan perampasan aset dalam konteks tindak pidana korupsi maupun pencucian uang di Indonesia masih menghadapi berbagai hambatan. Kurangnya undang-undang perampasan aset yang komprehensif mengakibatkan duplikasi berbagai undang-undang terkait dan memperlambat proses penegakan hukum. Namun, apabila nantinya akan disahkannya RUU Perampasan Aset dan implementasi rekomendasi FATF, Indonesia sejatinya dapat meningkatkan penegakan hukum tindak pidana korupsi dan pencucian uang serta memperkuat upaya pemberantasan tindak pidana tersebut. Oleh karena itu, penguatan sistem legislasi dan peningkatan kapasitas lembaga penegak hukum menjadi faktor kunci untuk mencapai tujuan tersebut.
Identifikasi Masalah
Atas pendahuluan yang telah dipaparkan, Penulis tertarik untuk membahas dengan identifikasi masalah, sebagai berikut.
- Bagaimana Pengaturan dan Penerapan Perampasan Aset di Indonesia dan Kaitannya dengan RUU Perampasan Aset?
- Bagaimana peran FATF Dalam Menjawab Permasalahan Atas Pengoptimalan RUU Perampasan Aset dikaitkan dengan UU Tindak Pidana Pencucian Uang?
Pembahasan
Pengaturan dan Penerapan Perampasan Aset di Indonesia dan Kaitannya dengan RUU Perampasan Aset
Pengaturan dan penerapan perampasan aset dalam tindak pidana korupsi di Indonesia diatur melalui beberapa undang-undang, termasuk Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), UU Tipikor, dan UU TPPU. Meskipun kerangka hukum ini telah ada, Romli Atmasasmita mengungkapkan bahwa pengaturan perampasan aset masih memiliki sejumlah kekurangan, terutama dalam hal model perampasan yang terbatas.
Menurut Romli Atmasasmita bahwa istilah penyitaan memang identik dengan perampasan, tapi kemudian menjelaskan bahwa penyitaan mendahului tindakan perampasan aset. Adapun Black’s Law Dictionary juga memaknai penyitaan sama dengan perampasan. Dimana dalam KUHAP penyitaan terdapat dalam Pasal 1 angka 16 (pengertian penyitaan), Pasal 39 ayat (1) KUHAP yang memberikan rincian benda-benda yang dapat dikenakan penyitaanan dalam Pasal 40 KUHAP yaitu dalam tertangkap tangan juga dapat dilakukan penyitaan.
Adapun penerapan perampasan aset hasil atau sarana tindak pidana korupsi melalui tuntutan pidana dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 1: Skema Perampasan Aset Hasil Tindak Pidana Melalui Tuntutan Pidana
Selain itu, terdapat mekanisme perampasan aset berdasarkan Pasal 67 UU TPPU adalah sebagai berikut:
Gambar 2: Skema Perampasan Aset Menurut Pasal 67 UU TPPU
Dalam konteks perampasan aset terkait tindak pidana korupsi, Pasal 67 UU TPPU yang menyatakan bahwa aset yang dapat dirampas hanya terbatas pada aset yang berasal dari penyedia jasa keuangan domestik. Hal ini menjadi masalah karena konsep non-conviction based seharusnya memungkinkan perampasan semua aset yang terkait dengan kejahatan, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Dalam sejarah perampasan aset korupsi di Indonesia, hasil yang dicapai masih jauh dari signifikan. Aset-aset yang dikirim ke luar negeri, seperti dalam beberapa kasus Edy Tansil dan kasus-kasus lainnya, menjadi tantangan serius bagi aparat penegak hukum dalam proses perampasan. Problematika ini tidak hanya disebabkan oleh kelemahan peraturan hukum yang ada, tetapi juga oleh kurangnya regulasi yang mengatur kerjasama antarnegara untuk pengambilan hasil kejahatan.
Materi Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset
RUU Perampasan Aset yang sedang dibahas menawarkan solusi dengan menyediakan mekanisme yang memungkinkan penyitaan dan perampasan aset tanpa harus melibatkan tersangka atau terdakwa. Proses hukum yang diusulkan berfokus pada aset itu sendiri, bukan individu, sehingga memberikan keleluasaan bagi penegak hukum untuk merampas segala aset yang diduga merupakan hasil dari kegiatan kriminal serta aset lain yang digunakan untuk melakukan tindak pidana. RUU Perampasan Aset sangat penting untuk memaksimalkan pengembalian uang negara yang telah dikorupsi. Jika RUU ini disahkan, penegak hukum akan memiliki kewenangan untuk merampas aset tanpa harus melalui proses pidana yang panjang, sehingga memudahkan upaya untuk mengembalikan kerugian negara.
Pentingnya kerja sama internasional dalam pengoptimalan perampasan aset tidak bisa dipandang sebelah mata. Sebagaimana dalam 40+8 Rekomendasi FATF, kerja sama internasional sangat diperlukan untuk menanggulangi kejahatan lintas negara dan memfasilitasi proses penyitaan serta perampasan aset hasil tindak pidana. Tanpa adanya kerjasama ini, penegakan hukum akan terhambat oleh batasan yurisdiksi dan kesulitan dalam melacak serta mengembalikan aset yang telah dipindahkan ke luar negeri. Selain itu, kerja sama internasional juga memungkinkan pertukaran informasi dan bukti antara negara-negara, sehingga memperkuat posisi hukum dalam proses perampasan aset.
Oleh karena itu, penguatan regulasi yang mendukung kerja sama internasional harus menjadi prioritas dalam reformasi hukum di Indonesia. Dengan demikian, bukan hanya akan meningkatkan efektivitas penegakan hukum domestik, tetapi juga akan membantu Indonesia memenuhi komitmennya terhadap berbagai konvensi internasional terkait pemberantasan korupsi dan pencucian uang. Seiring dengan itu, langkah-langkah konkret seperti pembentukan mekanisme bilateral atau multilateral untuk kerjasama dalam penyitaan aset perlu dipertimbangkan agar upaya pemberantasan korupsi dapat berjalan lebih efektif dan terintegrasi secara global.
Peran FATF Dalam Menjawab Permasalahan Atas Pengoptimalan RUU Perampasan Aset dikaitkan dengan UU Tindak Pidana Pencucian Uang
Indonesia merupakan negara yang secara resmi tergabung pada Financial Action Task Force (FATF). Adanya FATF bertujuan untuk menetapkan standar dan mendorong pelaksanaan yang efektif dari langkah-langkah hukum, regulasi, dan operasional untuk memberantas pencucian uang, pendanaan terorisme, dan pendanaan proliferasi, serta ancaman lain yang berkaitan dengan integritas sistem keuangan global. FATF pada dasarnya berkolaborasi dengan pemangku kepentingan internasional untuk menemukan kerentanan di tingkat nasional, demi melindungi sistem keuangan global dari penyalahgunaan.
Pada FATF, dikenal adanya Rekomendasi FATF yang merupakan pedoman langkah-langkah untuk memberantas pencucian uang dan pendanaan teroris, serta pendanaan proliferasi senjata pemusnah massal sehingga setiap negara perlu menerapkan rekomendasi tersebut. Rekomendasi FATF digunakan sebagai standar internasional yang harus diterapkan oleh negara-negara melalui langkah-langkah yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi masing-masing negara. Terdapat beberapa langkah-langkah berdasarkan Rekomendasi FATF yang harus diterapkan di setiap negara dalam hal, sebagai berikut.
- Pengidentifikasian risiko serta pengembangan kebijakan dan pemkoordinasian dalam negeri;
- Penanganan pencucian uang, pendanaan terorisme, dan pendanaan proliferasi;
- Penerapan langkah-langkah pencegahan untuk sektor keuangan dan sektor-sektor lain yang ditunjuk;
- Penetapan wewenang dan tanggung jawab bagi otoritas yang berwenang (seperti otoritas investigasi, penegakan hukum, dan pengawasan) serta langkah-langkah kelembagaan lainnya;
- Peningkatan transparansi dan ketersediaan informasi mengenai kepemilikan manfaat dari badan hukum dan pengaturannya; dan
- Pemfasilitasan kerjasama
Salah satu Rekomendasi FATF mengatur tentang perampasan aset yang mana pada 2022 lalu telah dilakukan amandemen, terutama meliputi perluasan dalam penyitaan, mengingat pelaku kejahatan harus kehilangan aset atas tindakan kriminalnya karena aset tersebut biasanya melebihi pendapatan sah. Selain itu, diatur juga terkait diperlukannya kehadiran instrumen yang lebih kuat untuk membekukan, menyita, dan menahan aset yang dicurigai sebagai hasil tindak pidana, termasuk kewenangan untuk menangguhkan atau menahan persetujuan transaksi dan membekukan serta menyita secara cepat. Hal tersebut sangat penting untuk menghentikan perputaran hasil kejahatan dan memungkinkan pemulihan di masa yang akan datang. Pada dasarnya, perampasan aset yang berasal dari hasil kejahatan akan menuju pada pemulihan aset. Dalam Rekomendasi nomor 4 FATF telah diatur tentang tahapan-tahapan pemulihan aset, sebagai berikut.
- Penelusuran Aset
Dalam tahap ini, penelusuran dilakukan dengan menggunakan cara follow the money, nantinya penyidik dapat meminta informasi atau data dari lembaga anti pencucian uang yang berwenang.
- Pengamanan Aset
Dalam tahap ini, penyidik merupakan penegak hukum yang berwenang atas tindakan berupa penundaan transaksi dan pemblokiran aset.
- Perampasan Aset
Dalam tahap ini, yang menjadi cara merampas aset adalah dengan mengambil hak kepemilikan atas orang/pelaku tindak pidana menurut putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap.
Kasus Nyata Perampasan Aset di Indonesia Dengan Menerapkan Rekomendasi FATF
Pada perkembangannya, terdapat kasus nyata viral di sosial media, yaitu kasus Tindak Pidana Pencucian Uang oleh Indra Kenz yang dapat dianalisis sesuai rekomendasi FATF dalam rangka menegakkan perampasan aset tindak pidana pencucian uang. Untuk menganalisis hal tersebut, Penulis dalam kesempatan ini akan menjabarkan sesuai dengan tahapan-tahapan pemulihan aset yang telah dijelaskan sebelumnya. Dalam melancarkan aksinya, Indra Kenz melakukan tindak pencucian uang melalui cryptocurrency sehingga dalam penelusuran aset dapat dilakukan oleh Penyidik dibantu Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang nantinya mengajukan permohonan kepada perusahaan cryptocurrency exchange, yakni PT Indodax atas keterangan untuk mengidentifikasi e-wallet serta aliran dana pada platform-nya yang berkaitan dengan aktivitas keuangan Indra Kenz.
Pada tahapan pengamanan aset, objek yang akan diamankan adalah cryptocurrency dalam bentuk bitcoin. Untuk memenuhi tujuan tersebut, tindakan yang dilakukan adalah meminta PT Indodax untuk memblokir wallet atas nama Indra Kenz atas pemberitahuan dari PPATK. Selanjutnya, pada tahap perampasan aset dalam perkara ini menerapkan perampasan aset atas dasar criminal forfeiture, yaitu dengan cara menyita cryptocurrency milik Indra Kenz yang berada dalam wallet PT Indodax. Mengacu pada Putusan Pengadilan Negeri Tangerang Nomor 1240/Pid.Sus/2022/PN. Tng, uang berjumlah Rp. 214.311.103 (dua ratus empat belas juta tiga ratus sebelas ribu rupiah) yang tersimpan pada akun bernama Indra Kenz dalam crypto marketplace PT Indodax dinyatakan dirampas untuk negara.
Atas pemaparan tersebut, Rekomendasi FATF telah memberikan dampak positif yang signifikan dalam upaya memerangi Tindak Pidana Pencucian Uang di Indonesia dengan meningkatkan efektivitas penegakan hukum. Melalui pedoman yang jelas, lembaga penegak hukum dapat melacak, menyita, dan merampas aset hasil tindak pidana dengan cara yang lebih terstruktur. Selain itu, implementasi pada Rekomendasi FATF berkontribusi atas transparansi yang lebih besar dalam kepemilikan aset sehingga membantu mengurangi kerentanan terhadap pencucian uang. Rekomendasi FATF memungkinkan negara-negara agar tidak hanya berfokus pada penyitaan tetapi juga mengembalikan aset kepada negara. Hal tersebut dapat meningkatkan kepercayaan publik terhadap upaya penegakan hukum.
Aturan Pasal dalam RUU Perampasan Aset yang Sudah Sesuai Dengan Rekomendasi FATF
Mengingat regulasi di Indonesia mengenai perampasan aset belum ditetapkan secara sah sebagai undang-undang, melainkan masih berbentuk rancangan, maka atas penjelasan Rekomendasi FATF terkait perampasan aset tersebut dapat dinilai bahwa RUU Perampasan Aset tersebut sudah sesuai dengan rekomendasi FATF, yang terdiri atas penelusuran aset, pengamanan aset dan perampasan aset.
Pertama, tahap penelusuran aset, diatur pada Pasal 8-11 yang menjelaskan bahwa penyidik berhak meminta dokumen kepada setiap orang, instansi pemerintah, atau lembaga terkait, seperti lembaga non-kementerian, BUMN/BUMD, atau lembaga keuangan/perbankan.
Kedua, tahap pengamanan aset, diatur pada Pasal 12-20 yang menjelaskan bahwa dalam tahap ini berlaku ketentuan penyidik yang berwenang memblokir dan menyita atas objek. Pemblokiran dapat diajukan kepada lembaga seperti penyedia jasa keuangan, badan pertahanan nasional, atau perum pegadaian atas izin dari pengadilan negeri. Terkait penyitaan pun diperlukan izin dari pengadilan negeri pula.
Ketiga, tahap perampasan aset diatur pada Pasal 24-32 yang menjelaskan bahwa permohonan perampasan aset yang telah diterima harus dikembalikan kepada yang berhak. Walaupun Indonesia telah resmi menjadi anggota FATF, tetapi Indonesia masih menyisakan pekerjaan rumah karena belum memiliki aturan perundang-undangan mengenai perampasan aset sehingga sudah sepatutnya RUU Perampasan Aset tersebut disahkan.
Kesimpulan
Pengaturan dan penerapan perampasan aset di Indonesia mengalami sejumlah tantangan, terutama dalam hal koordinasi antar lembaga dan ketidakjelasan dalam regulasi. Meskipun sudah telah tersedia kerangka hukum, seperti UU Tipikor dan UU TPPU, tetapi proses perampasan aset yang asalnya dari tindak pidana korupsi masih terbatas. RUU Perampasan Aset merupakan hal penting dalam mengatasi masalah tersebut mengingat termuat mekanisme yang lebih jelas dan efisien untuk perampasan aset tanpa harus melibatkan proses pidana yang panjang. Apabila nantinya RUU tersebut disahkan, maka diharapkan dapat meningkatkan efektivitas penegakan hukum dan perampasan aset atas tindak pidana yang dilakukan.
FATF berperan signifikan dalam memberikan rekomendasi dan panduan bagi negara anggota, termasuk Indonesia, dalam memerangi pencucian uang, yang mana dalam salah satu rekomendasinya diatur mengenai perampasan aset. Dengan menerapkan rekomendasi FATF tersebut, Indonesia dapat memperkuat kapasitasnya dalam perampasan aset atas tindak pidana. Sinergi antara FATF dan lembaga nasional akan meningkatkan efektivitas perampasan aset, mendukung upaya pemberantasan kejahatan keuangan, dan memperkuat kepercayaan publik terhadap sistem hukum. Secara keseluruhan, dengan adanya RUU Perampasan Aset yang disesuaikan dengan rekomendasi FATF, Indonesia memiliki peluang untuk memperbaiki pengaturan dan penerapan perampasan aset, serta meningkatkan kerja sama internasional dalam penegakan hukum. Dengan demikian, diharapkan akan membawa dampak positif bagi upaya pemberantasan korupsi dan pencucian uang di negara ini.
Saran
Untuk mengoptimalkan pengaturan dan penerapan perampasan aset di Indonesia, penting bagi pemerintah untuk segera mengesahkan RUU Perampasan Aset. Langkah ini akan memberikan kerangka hukum yang lebih jelas, yang sangat dibutuhkan untuk menangani masalah korupsi dan pencucian uang secara efektif. Selanjutnya, pemerintah juga harus fokus pada memperkuat kerja sama internasional. Dengan menjalin kemitraan yang lebih erat dengan negara lain dan lembaga seperti FATF, Indonesia dapat lebih mudah dalam melaksanakan perampasan aset. Oleh karena itu, penguatan regulasi yang mendukung kerja sama ini harus menjadi prioritas agar upaya pemberantasan korupsi dan pencucian uang dapat berjalan lebih terintegrasi dan efektif. Dengan tercapainya hal tersebut menjadikan kepercayaan publik terhadap sistem hukum akan meningkat.
Referensi
Buku
Roberts K., Pengembalian Aset Hasil Kejahatan Dalam Perspektif Rezim Anti Pencucian Uang (PT RajaGrafindo Persada 2019).
Romli Atmasasmita, Kapita Selekta Kejahatan Bisnis dan Hukum Pidana, (Buku I, PT Fikati Aneska 2013).
Tito Karnavian, Tipologi dan Perkembangan Tindak Pidana Pencucian Uang (PT RajaGrafindo Persada 2023).
Jurnal
Yusuf,’Pengembalian Hasil Tindak Pidana Korupsi Melalui NCB Asset Forfeiture’ (2010) 7 Jurnal Legislasi Indonesia.[164].
Syahrijal Syakur,’Perlindungan Hukum Korban Fintech Robot Trading Melalui Perampasan Aset Pelakunya’ (2022) 52 Majalah Hukum Nasional. [234-237]
Websites
Indonesia Corruptin Watch, RUU Perampasan Aset: Revolusi Penegakan Hukum Melalui Pemulihan Aset yang Disalahgunakan, 2023, diakses pada 12 Oktober 2024 dari <https://antikorupsi.org/id/ruu-perampasan-aset-revolusi-penegakan-hukum-m elalui-pemulihan-aset-yang-disalahgunakan>
Peraturan Perundang-Undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 (UU Tipikor).
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU).
International Standards on Combating Money Laundering and The Financing of Terrorism & Proliferation the FATF Recommendation.
Sumber Lain
Mahdavika Arsy Mubarak,’Pengaturan Perampasan Aset Tindak Pidana Pencucian Uang Melalui Cryptocurrency; Perbandingan UU PPTPPU dan RUU Perampasan Aset’ (2023) Skripsi.
Penulis
Audrey Putri Shaleha & Nur Sa’adah Firdaus
Mahasiswa Universitas Padjadjaran