PINTER HUKUM
#1 Platform for Legal Education and Consulting • Penyedia Layanan Jasa Hukum Terlengkap dan Terpercaya di Indonesia

Fungsi Ratifikasi Dalam Penyelesaian Konflik Internasional

Avatar of Pinter Hukum
Fungsi Ratifikasi

Daftar Isi

Ratifikasi merupakan pengesahan suatu perjanjian antar negara atau internasional menjadi undang-undang, pernyataan resmi negara untuk diikat oleh ketentuan-ketentuan traktat. Ketentuan mengenai ratifikasi ini diatur dalam Pasal 11 UUD 1945, Surat Presiden Nomor: 2826/HK/1960 dan UU No 24 Tahun 2000 tentang perjanjian internasional yang mengatur bahwa ratifikasi dapat dilakukan dalam bentuk Undang-Undang dan keputusan presiden. Serta dalam UU No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dikatakan bahwa ratifikasi dalam pengesahan perjanjian internasional tertentu hanya dapat dibentuk melalui Undang-Undang. Makna tertentu tersebut adalah menimbulkan akibat luas dan mendasar terkait dengan beban keuangan negara.

Fungsi ratifikasi sendiri adalah untuk mengikatkan diri pada perjanjian internasional, melalui konvensi wina 1969 perjanjian internasional harus dilakukan ratifikasi namun mekanisme atau prosedur ratifikasi menjadi hak dan wewenang masing-masing negara. Beberapa negara melakukanya melalui lembaga eksekutif, legislatif, melalui tahta dan ada juga melalui kabinet. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ratifikasi merupakan peguatan ke dalam lingkup nasional dari perjanjian internasional agar ketentuan internasional tersebut mempunyai kedudukan yang berlaku secara nasional.

Baca juga: Regulasi Peraturan Perbuatan Hacker

Adapun ketentuan perjanjian internasional mengikat bagi mereka yang terlibat secara langsung dalam perjanjian tersebut. Sebab, pemberlakuan perjanjian internasional dilakukan berdasarkan asas pacta sunt servanda yakni “every treaty in force is binding upon the parties to it ….” yakni “setiap perjanjian yang berlaku mengikat para pihak tersebut…” sehingga jika ingin menarik perjanjian tersebut juga harus melalui kesepakatan kedua bela pihak.

Jika terjadi konflik antar dua negara, maka penyelesaian konflik dilakukan berdasarkan isi dari perjanjian tersebut. Hal ini disebutkan dalam Pasal 33 Piagam PBB bahwa “pihak yang terlibat dalam pertikaian/sengketa pertama-tama harus mencari penyelesaian dengan cara perundingan, penyelidikan, mediasi, konsoliasi, arbitrase, yudisial menggunakan peraturan atau badan regional, atau dengan cara perdamaian lainnya yang dipilih oleh mereka sendiri.

Baca juga: APA ITU ADVOKAT, APA TUGAS DAN WEWENANGNYA?

Meskipun ratifikasi merupakan penanda suatu negara telah mengikatkan diri pada perjanjian internasional, bukti bahwa suatu negara dengan negara lain itu telah terikat dengan perjanjian internasional adalah keterlibatanya dalam perjanjian tersebut secara khusus meskipun belum terjadi ratifikasi di salah satu anggota negara yang terlibat dalam perjanjian tersebut berdasarkan asas pacta sunt servanda semua negara telah terikat. Indonesia sendiri melakukan ratifikasi melalui UU berkaitan dengan hal:

  1. Politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara;
  2. Perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah NKRI;
  3. Kedaulatan atau hak berdaulat negara;
  4. Hak asasi manusia dna lingkungan hidup;
  5. Pembentukan kaidah hukum baru; dan
  6. Pinjaman dan/atau hibah luar negeri.

Sedangan melalui keppres, rartifikasi dilakukan dalam hal yang berkaitan dengan kerjasama di bidang: Ilmu pengetahuan dan teknologi, ekonomi, teknik, perdagangan, kebudayaan, pelayaran niaga, penghindaran pajak berganda dan kerja sama perlindungan penanaman modal serta perjanjian lain yang bersifat teknis. Jika terjadi konflik pada saat salah satu negara belum melakukan ratifikasi, PBB memberikan ketentuan melalui pasal 33 dan pasal 36 ayat 3 Piagam PBB yang menyatakan bahwa sengketa hukum umumnya harus diajukan oleh para pihak ke Mahkamah Internasional.

Baca juga: Polemik Kenaikan Harga BBM Semakin Mencekik

Menjawab pertanyaan tersebut, maka perjanjian internasional atau konvensi yang sifatnya umum baru bisa berlaku secara nasional jika dilakukan ratifikasi, sedangkan perjanjian internasional yang sifatnya khusus sudah berlaku dan mengikat bagi mereka yang terlibat dan membuat perjanjian sejak diberlakukan konvensi tersebut. Indonesia sendiri termasuk negara yang lambat dalam melakukan ratifikasi, dalam sebuah penelitian dikatakan bahwa Indonesia dalam setiap tahunya hanya 7 kali dalam melakukan ratifikasi, kendalanya karena sulitnya menharmonisasi standar internasional dengan hukum domestik dan kurangnya tenaga ahli. Beberapa konvensi umum yang telah diratifikasi oleh Indonesia antara lain Konvensi Wina 1961 dan 1963, Konvensi PBB 1982 dan Persetujuan Paris 2015 dan berbagai konvensi tentang HAM dan lingkungan hidup.

Baca juga: Presidential Threshold: Sejarah Ambang Batas Pencalonan dari Pemilu ke Pemilu

Sumber:

Undang-Undang Dasar 1945

UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional

UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

Karmila Hippy, Praktik Ratifikasi Perjanjian Internasional di Indonesia. Jurnal Lex Asministratum. 2013.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *