PENCATATAN PERKAWINAN
Pencatatan perkawinan adalah proses administrasi resmi di mana pernikahan antara dua individu didaftarkan pada lembaga pemerintah yang berwenang. Dalam konteks Indonesia, pencatatan perkawinan dilakukan oleh Kantor Urusan Agama (KUA) untuk pernikahan yang dilakukan menurut agama Islam, dan oleh Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil) untuk pernikahan yang dilakukan menurut agama-agama lainnya. Tujuan pencatatan perkawinan adalah untuk memberikan status hukum kepada pernikahan tersebut, memastikan hak-hak dan kewajiban kedua pihak yang menikah, serta mempermudah pengurusan administrasi lainnya yang membutuhkan bukti resmi pernikahan.
Ada beberapa bentuk pencatatan perkawinan, antara lain:
- Akta Nikah merupakan suatu dokumen resmi dalam pernikahan.
- Buku tentang nikah disebut buku yang berisi informasi tentang nikah.
- Buku duplikat adalah suatu dokumen yang digunakan untuk menggantikan suatu buku apabila buku aslinya rusak, berkarat, atau hal lainnya.
Pencatatan nikah juga mempunyai tindakan poligami, yang dilakukan dengan cara nikah di bawah tangan atau nikah siri. Hal ini dapat menimbulkan beberapa dampak negatif bagi pihak-pihak yang terlibat dalam kegiatan poligami.
Baca Juga: Hukum Perkawinan Islam Menurut Empat (4) Mazhab – (Webinar Hukum Nasional Vol.09)
Ada beberapa dasar hukum tentang pencatatan perkawinan, antara lain:
- Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan:
- Pasal 2 ayat (2): “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
- Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan:
- Menjelaskan lebih rinci tentang tata cara pencatatan perkawinan sesuai dengan ketentuan dalam UU No. 1 Tahun 1974.
AKTA NIKAH
Akta nikah adalah dokumen resmi yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah yang berwenang sebagai bukti sah bahwa suatu pernikahan telah dilangsungkan dan tercatat. Di Indonesia, akta nikah dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama (KUA) untuk pasangan yang menikah menurut agama Islam, dan oleh Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil) untuk pasangan yang menikah menurut agama lain.
- Akta nikah memuat informasi penting seperti:
- Nama dan identitas lengkap pasangan
- Agama pasangan suami istri.
- Pekerjaan pasangan suami istri.
- Nama dan jabatan petugas yang menikahkan
- Tanda tangan kedua mempelai, saksi, dan petugas
Dokumen ini penting karena berfungsi sebagai bukti legal pernikahan, yang diperlukan dalam berbagai urusan administrasi misalnya pembuatan kartu keluarga, akta kelahiran anak, pengurusan paspor, dan lain-lain.
Baca Juga: Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Meninjau Efektivitas Sistem Peradilan Agama
NIKAH TIDAK TERCATAT DITINJAU DARI PERSPEKTIF GENDER
Nikah tidak tercatat dalam perkawinan atau tidak didaftarkan secara resmi di kantor pencatatan sipil atau Kantor Urusan Agama, memiliki beberapa implikasi yang signifikan dari perspektif gender. Dalam konteks ini, perspektif gender mempertimbangkan bagaimana ketidakadilan dan ketidaksetaraan dapat terjadi akibat pernikahan yang tidak tercatat, terutama terhadap perempuan. Berikut adalah beberapa poin penting:
1. Kerentanan Hukum:
- Perempuan: Tanpa catatan resmi, perempuan sering kali kehilangan hak-hak hukum yang penting, seperti hak atas nafkah, hak waris, dan hak atas harta bersama. Dalam kasus perceraian atau kematian suami, perempuan mungkin kesulitan untuk menuntut hak-hak mereka di pengadilan karena tidak memiliki bukti resmi dari perkawinan.
- Anak-anak: Anak-anak dari pernikahan yang tidak tercatat juga bisa kehilangan hak-hak mereka, seperti hak atas identitas, akta kelahiran, dan hak waris.
2. Perlindungan dari Kekerasan dan Penelantaran:
- Perempuan: Tanpa bukti pernikahan yang sah, perempuan mungkin lebih rentan terhadap kekerasan dalam rumah tangga dan penelantaran. Mereka mungkin tidak memiliki akses yang memadai ke mekanisme perlindungan hukum atau dukungan sosial yang seharusnya.
3. Akses terhadap Layanan Publik:
- Perempuan dan Anak-anak: Pernikahan yang tidak tercatat dapat menghambat akses perempuan dan anak-anak ke layanan publik seperti pendidikan, kesehatan, dan bantuan sosial. Banyak layanan tersebut memerlukan dokumen resmi yang menunjukkan status pernikahan atau status anak sebagai anggota keluarga yang sah.
4. Ketidaksetaraan Ekonomi:
- Perempuan: Tanpa catatan resmi, perempuan sering kali kehilangan hak atas properti atau harta harta bersama yang diperoleh selama pernikahan. Dalam banyak kasus, perempuan menjadi lebih rentan secara ekonomi setelah perceraian atau kematian suami.
5. Norma Sosial dan Stigma:
- Perempuan: Dalam banyak budaya, perempuan yang terlibat dalam pernikahan yang tidak tercatat sering kali menghadapi stigma sosial dan dianggap tidak sah atau tidak bermoral. Hal ini dapat berdampak pada posisi sosial dan ekonomi mereka dalam masyarakat.
6. Kekuasaan dan Kontrol dalam Hubungan:
- Perempuan: Pernikahan yang tidak tercatat sering kali mencerminkan ketidakseimbangan kekuasaan dalam hubungan, di mana pihak laki-laki memiliki kendali lebih besar dan perempuan kurang memiliki perlindungan hukum atau otonomi dalam hubungan tersebut.
Secara keseluruhan, nikah tidak tercatat cenderung memperkuat ketidaksetaraan gender dengan merampas hak-hak hukum dan perlindungan yang seharusnya dinikmati oleh perempuan dan anak-anak. Ini menempatkan mereka pada posisi yang lebih rentan secara sosial, ekonomi, dan hukum. Oleh karena itu, dari perspektif gender, penting untuk mendorong pencatatan perkawinan sebagai langkah untuk memastikan hak-hak dan perlindungan yang setara bagi semua pihak.
DAFTAR REFERENSI
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Peraturan Menteri Agama Nomor 20 Tahun 2019 tentang Pencatatan Pernikahan.