PINTER HUKUM
#1 Platform for Legal Education and Consulting • Penyedia Layanan Jasa Hukum Terlengkap dan Terpercaya di Indonesia

Pengaturan Dan Penetapan Status Justice Collaborator Dalam Mengungkap Kejahatan Yang Terorganisir

Justice

Pembukaan

Seiring berkembangnya dan pesatnya perkembangan teknologi dan informasi—seperti halnya dua mata pisau: tidak hanya memberikan dampak baik bagi umat manusia, tetapi dengan semakin berkembangnya zaman juga perbuatan jahat yang dilakukan para pelaku semakin beraneka ragam dengan motif, skema dan modus operandi yang tak lagi sama. Bahkan perilaku jahat tidak hanya dapat dilakukan oleh orang-perseorangan melainkan berkelompok secara terstruktur dan tergorganisir guna mencapai tujuan-tujuan kejahatannya secara terpola dan terencana.

Ditengah mudahnya membangun interaksi dan komunikasi melalui jejaring internet memantik para pelaku semakin membuka peluang bagi mereka untuk bermetamorfosis dalam beroperasi dan memperluas koneksi hingga mencapai batasan global/ trans-nasional tidak hanya pada lingkup regional. Kondisi tersebut tentu menjadi alarm penting bagi aparat penegak hukum untuk selangkah lebih maju dalam memprediksi, mencegah hingga menindak kejahatan terorganisir tersebut terjadi.

Baca juga: Pasal Berlapis Menanti Pembuat Fake Account yang Melanggar UU ITE

Kendati kondisi, iklim dan ekosistem penegakan hukum terhadap kejahatan terorganisir masif relatif belum efektif. Hal itu senada dengan tulisan yang termuat dalam laman Indonesia Corruption Watch (ICW) bahwa Indonesia tergolong terbelakang dalam memerangi kejahatan terorganisasi dan kejahatan transnasional berwujud korupsi di sektor swasta, illicit enrichment, dan racketeering. Selain belum memiliki peraturan perundangan untuk menangkal aneka jenis kejahatan terorganisasi yang telah berkembang demikian canggih, sistem hukum Indonesia tak mencukupi dan tak lengkap mengatasi aneka bentuk kejahatan kerah putih.

Dikutip dari  I Wayan Aryya Sutia Juniartha dalam jurnal “Korupsi Sebagai Transnational Crime: Palermo Convention”, dimensi kejahatan korupsi ini seringkali dilekatkan pada istilah kejahatan transnasional terorganisir atau transnational-organized crime. Rafael Etges, and Emna Sutclliffe mengatakan “Organized crime is a multi-billion dollar industry that is subject to an incredible level of competition, deadly risk, and massive regulatory pressure, and therefore requires an equally high level of sophistication in management practices, business intelligence, IT, logistics, finance, and education.

Berdasarkan Eropean Council, kejahatan terorganisir dianggap terdiri dari perilaku yang memenuhi kriteria minimal yakni sebuah perkumpulan lebih dari dua orang, untuk jangka waktu yang panjang atau tidak terdefinisi (dan indikasi stabilitas dan ketetapan potensial), dinyatakan sebagai kejahatan serius dan pelaku termotivasi oleh akumulasi uang atau kekuasaan.

Dalam hukum pidana dikenal adanya tindak pidana penyertaan (deelneming) yang diatur dalam Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP yang berarti bahwa ada dua orang atau lebih yang melakukan suatu tindak pidana atau mengambil bagian untuk mewujudkan suatu tindak pidana. Kemudian para pihak tersebut terbagi menjadi pelaku (pleger), orang yang menyuruh melakukan (doenpleger), orang yang turut serta (medepleger), penganjur (uitlokker) serta pembantu (medeplichtige).

Baca juga: Perbedaan Antara Advokat dan Pengacara Menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003

Guna mengungkap kejahatan yang dilakukan secara terorganisir, dengan segala macam pertimbangan maka diperlukan suatu mekanisme dan cara yang agak “kompormis” dengan para pelaku untuk memberantas kejahatan tersebut tidak hanya pada hilir tetapi hingga ke hulu persoalan atau hingga membekuk aktor utama yang melakukan kejahatan. Dan menjawab kendala tersebut kemudian pada akhirnya hukum memfasilitasi upaya tersebut dengan mempergunakan peran seorang Justice Collaborator dalam mengungkap suatu kejahatan yang terorganisir dan terpola.

Pengertian dan Kedudukan Justice Collaborator

Pengaturan mengenai Justice Collaborator terdapat dalam Pasal 37 Ayat (2) United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) Tahun 2003 yang berbunyi, “Setiap negara peserta wajib mempertimbangkan, memberi kemungkinan dalam kasus-kasus tertentu, memberi hukuman dari seorang pelaku yang memberikan kerjasama yang substansial dalam penyelidikan atau penuntutan suatu kejahatan yang ditetapkan dalam konvensi ini.”

Kemudian dalam Ayat (3) ditentukan bahwa “Setiap negara peserta wajib mempertimbangkan kemungkinan sesuai dengan prinsip-prinsip dasar hukum nasionalnya untuk memberikan “kekebalan dari penuntutan” bagi orang yang memberikan kerja sama substansial dalam penyelidikan atau penuntutan (Justice Collaborator) suatu tindak pidana yang ditetapkan berdasarkan konvensi ini.”

Ketentuan serupa juga terdapat pada Pasal 26 United Nation Convention Against Transnasional Organized Crimes 2000 (Konvensi PBB Anti Kejahatan Transnasional yang Terorganisasi). Konvensi UNCAC tersebut yang kemudian diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan UNCAC (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi 2003) dan berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2009 telah edmeratifikasi Konvensi PBB Anti Kejahatan Transnasional yang Terorganisasi.7u

Baca juga: Teori Pemidanaan, Kasus Perjudian Online

Syarat Penetapan Status Justice Collaborator

Aparat penegak hukum yang berwenang dalam memberikan status Justice Collaborator diantaranya Kepolisian, Kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dapat diberikan pada setiap tahap peradilan pidana, yaitu penyelidikan, penyidikan, perlimpahan berkas perkara ke Pengadilan, penuntutan dan Putusan Pengadilan. Akan tetapi pihak yang dapat memutuskan status Justice Collaborator tersebut diterima atau ditolak adalah Hakim yang kemudian dicantumkan di dalam Putusan.

Sebagaimana dikutip dari Transparency International Indonesia bahwa untuk dapat dikatakan sebagai Justice Collaborator seseorang harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

  1. Kasusnya harus signifikan;
  2. Keterangan Saksi sangat krusial untuk keberhasilan tuntutan;
  3. Tidak ada alternatif lain untuk mengamankan keselamatan Saksi;
  4. Tidak ada alternatif lain untuk mengungkap kasus korupsi tersebut;
  5. Disetujui oleh lembaga yang berwenang;
  6. Dapat dibatalkan oleh Hakim;
  7. Disetujui oleh Saksi;
  8. Ada perjanjian perlindungan, yang memuat : profil Saksi sesuai kriteria, bentuk-bentuk perlindungan dan pendampingan yang disediakan, kemungkinan pembatalan jika Saksi melanggar perjanjian, tanggung jawab Saksi, dan pendanaan. Jika perjanjian dihentikan, maka identitas dapat kembali ke identitas awal jika diperlukan. Dan Saksi harus mengembalikan seluruh dokumen perubahan identitas.

Sedangkan berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 04 Tahun 2011 tentang Perlaku Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistle Blower) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborator) di Dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu, diatur mengenai pedoman untuk menentukan seseorang sebagai Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborator) adalah sebagai berikut:

Baca juga: Poin Penting Dalam Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS)

  1. Yang bersangkutan merupakan salah satu pelaku tindak pidana tertentu sebagaimana dimaksud dalam SEMA ini, mengakui kejahatan yang dilakukannya, bukan pelaku utama dalam kejahatan tersebut serta memberikan keterangan sebagai Saksi di dalam proses peradilan;
  2. Jaksa Penuntut Umum di dalam tuntutannya menyatakan bahwa yang bersangkutan telah memberikan keterangan dan bukti-bukti yang sangat signifikan sehingga Penyidik dan/atau Penuntut Umum dapat mengungkap tindak pidana dimaksud secara efektif, mengungkap pelaku-pelaku lainnya yang memiliki peran lebih besar dan/atau mengembalikan aset-aset/hasil suatu tindak pidana;
  3. Atas bantuannya tersebut, maka terhadap Saksi Pelaku yang Bekerjasama sebagaimana dimaksud di atas, hakim dalam menentukan pidana yang akan dijatuhkan dapat mempertimbangkan hal-hal penjatuhan pidana sebagai berikut
  • Menjatuhkan pidana percobaan bersyarat khusus; dan/atau
  • Menjatuhkan pidana berupa pidana penjara yang paling ringan diantara Terdakwa lainnya yang terbukti bersalah dalam perkara yang dimaksud/ dalam pemberian perlakuan khusus dalam bentuk keringanan pidana Hakim tetap wajib mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat.
  1. Ketua Pengadilan di dalam mendistribusikan perkara memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
  • Memberikan perkara-perkara terkait yang diungkap Saksi Pelaku yang Bekerjasama kepada Majelis yang sama sejauh memungkinkan; dan
  • Mendahulukan perkara-perkara lain yang diungkap oleh Saksi Pelaku yang Bekerjasama.

Untuk tahapan tata cara pemberian status Justice Collaborator meliputi prosedur sebagai berikut:

  1. Aparat penegak hukum mempelajari riwayat kasus (termasuk dampak kasus bagi kepentingan publik);
  2. Kondisi kejiwaan Justice Collaborator, relevansi kesaksian dengan tuntutan, urgensi kesaksian;
  3. Alternatif perlindungan bagi Justice Collaborator;
  4. Hubungan Justice Collaborator dengan pelaku dan saksi lainnya;
  5. Kesediaan Justice Collaborator memberikan keterangan yang diperlukan untuk penuntutan;
  6. Tes kesehatan dan kejiwaan.

Respon (10)

  1. Terima Kasih pinterhukum.id, artikelnya sangat bermanfaat dan dapat menambah wawasan serta pandangan terhadap suatu hal.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *