PINTER HUKUM
#1 Platform for Legal Education and Consulting • Penyedia Layanan Jasa Hukum Terlengkap dan Terpercaya di Indonesia

Pengertian Hukum Tumpul Ke Atas, Tajam Ke Bawah

Avatar of Pinter Hukum
Jasa Hukum

Pengertian Hukum Tumpul Ke Atas, Tajam Ke Bawah

Hukum tumpul ke atas, tajam ke bawah sudah menjadi rahasia umum. Hukum yang berpegang teguh pada asas equality before the law”, nyatanya tidak demikian. Hukum tumpul kepada kalangan atas, sedangkan begitu tajamnya bagi kalangan bawah.

Hukum berperan sebagai perangkat peraturan yang timbul dari suatu masyarakat dimana setiap individu di dalamnya wajib menaati dan apabila melanggar terdapat sanksi yang diberikan tanpa adanya perbedaan.

Terdapat asas hukum yang berbunyi fiat justitia et pereat mundus yang memiliki arti “biar langit runtuh tetapi untuk keadilan harus tetap ditegakkan”, kalimat tersebut menegaskan bahwa hukum bukanlah alat penindas masyarakat, melainkan hukum adalah alat agar masyarakat tidak ditindas.

Dalam menjalankan fungsi hukum tersebut maka dibuatlah lembaga-lembaga penegak hukum yang berperan sebagai tempat perlindungan bagi seluruh lapisan masyarakat dalam mencapai keadilan sesuai dengan norma dan aturan yang berlaku.

Akan tetapi berdasarkan hasil survei dari rilis yang disampaikan oleh Lembaga Survei Indikator Politik Indonesia berdasarkan penilaian responden pada Agustus 2022, kondisi penegakan hukum dirasa dalam keadaan yang buruk atau sangat buruk sebesar 37,7%, dengan tingkat kepercayaan pada Kejaksaan Agung (63,4% cukup/sangat percaya), KPK (58,8% cukup/sangat percaya), dan Polri (54,2% cukup/sangat percaya).

Rendahnya penilaian masyarakat terhadap kondisi penegakan hukum tersebut memunculkan anggapan bahwa hukum itu seperti sebuah mata pisau yang “Tumpul Ke Atas, Tajam Ke Bawah”.

Baca juga: Membedah Makna Ilmu Hukum

Hukum yang “Tumpul Ke Atas, Tajam Ke Bawah” memiliki makna bahwa penegakan hukum yang dirasakan hanya berlaku tegas bagi masyarakat kecil yang melakukan kejahatan kecil ataupun seseorang yang seharusnya tidak dinyatakan bersalah tetapi dihukum dan kasusnya dibesar-besarkan

Sedangkan  seseorang  yang  memiliki kekuatan dapat berupa pangkat, jabatan, ataupun kekayaan ketika melakukan kesalahan berat seperti penjahat berkerah putih (white  collar  crime) hukumannya diringankan bahkan sangat sulit untuk diadili.

Berbagai perbandingan kasus dan perlakuan penegak hukum, membuat paradigma masyarakat beranggapan bahwa hukum, kemanusiaan dan keadilan adalah milik golongan kelas atas.

Apalagi dari kalangan para pejabat penegak hukum beserta keluarganya karena mendapatkan berbagai perlakuan istimewa yang sangat terlihat jelas di kehidupan bermasyarakat.

Contoh Kasus Hukum Tumpul Ke Atas, Tajam Ke Bawah

Salah satu contoh dari hukum “Tumpul Ke Atas, Tajam Ke Bawah” yang akhir-akhir ini sedang ramai diperbincangkan adalah terkait tuntutan dari Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang merupakan salah satu instrumen lembaga penegak hukum di Indonesia dalam sidang kasus pembunuhan berencana yang dilakukan oleh Ferdy Sambo dan istrinya Putri Candrawathi terhadap Nofriansyah Yosua Hutabarat (Brigadir J).

Dalam hal ini Putri Candrawathi dan Bharada Richard Eliezer yang sama-sama menjadi terdakwa kasus pembunuhan berencana dituntut dengan hukuman yang berbeda. Putri Candrawathi dituntut 8 tahun penjara, sementara Bharada Richard Eliezer dituntut 12 tahun penjara.

Alasan JPU membuat tuntutan penjara lebih rendah terhadap Putri Candrawathi karena Putri Candrawathi tidak terlibat secara langsung dalam peristiwa proses penembakan yang merenggut nyawa Brigadir J, telah berlaku sopan selama menjalani persidangan, dan belum pernah menjalani hukuman pidana.

Sedangkan tuntutan selama 12 tahun diberikan kepada Bharada Richard Eliezer karena dianggap memiliki keberanian untuk melakukan penembakan, yang membuat JPU berpandangan bahwa Bharada Richard Eliezer merupakan pelaku penembakan terhadap Brigadir J.

Baca juga: Hukum Dagang di Indonesia

Banyak masyarakat yang mempertanyakan sikap jaksa penuntut umum tersebut disertai dengan alasan-alasan yang dianggap tidak sesuai dengan amanat dalam UUD 1945 Pasal 27 ayat (1) yang berbunyi

segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.

Serta dalam UUD 1945 Pasal 28 D ayat (1) yang secara tegas menyebutkan bahwa

 “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”.

Pasal-pasal tersebut memberikan makna bahwa setiap warga negara tanpa harus melihat apakah dia penduduk asli atau bukan, berasal dari golongan terdidik atau rakyat jelata yang buta huruf, golongan menengah ke atas atau kaum yang bergumul dengan kemiskinan harus dilayani sama di depan hukum.

Sehingga dengan kedudukan yang setara, maka warga negara dalam berhadapan dengan hukum tidak ada yang berada diatas hukum (No man above the law), artinya tidak ada keistimewaan yang diberikan oleh hukum pada subyek hukum, jikalau ada subyek hukum yang memperoleh keistimewaan dapat disimpulkan bahwa subyek hukum tersebut berada diatas hukum.

Bahkan menurut Yenti Garnasih selaku Ahli hukum pidana dari Universitas Pakuan, tuntutan Putri Candrawathi yang merupakan salah satu Intellectual Actor dalam kasus pembunuhan berencana seharusnya lebih tinggi ketimbang Bharada Richard Eliezer yang sudah berani berperan sebagai Justice Collaborator.

Sehingga dapat membantu untuk menguak fakta kejadian sebenarnya dengan berkata jujur dan terbuka dalam persidangan kasus pembunuhan berencana yang menyeret namanya karena terpaksa harus mengikuti perintah untuk menembak Brigadir J dari atasannya yang merupakan seorang perwira tinggi Kepolisian Negara Republik Indonesia sekaligus suami dari Putri Candrawathi yakni Inspektur Jendral Ferdy Sambo.

Kesimpulan

Berdasarkan kasus tersebut dapat kita lihat bahwa dasar dari pandangan penegakan hukum di Indonesia berupa prinsip positivisme, yang pada praktiknya tidak memperdulikan dimensi sosiologis yang ada.

Artinya hukum di Indonesia selalu menekankan atau mengutamakan kepastian hukum yang ditinjau dari pasal-pasal aturan normatif tanpa menilik mengenai kemanfaatan dan keadilan.

Penerapan hukum secara positivistik seringkali dijadikan senjata dalam penegakan hukum untuk menjerat golongan bawah dan digunakan sebagai payung hukum untuk  melindungi  para golongan atas.

Baca juga: Pemilu dan Problematika Politik Uang

Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Ahkam Jayadi yang merupakan dosen Ilmu Hukum dari Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar, bahwa banyaknya penyelesaian kasus yang berorientasi  pada hukum formal (positivisme hukum) telah mengalami banyak kegagalan dan menimbulkan kesewenang-wenangan dan ketidakadilan.

Maka dari itu diperlukan juga untuk menerapkan prinsip Non-positivistik dalam penegakan hukum di Indonesia, yang merupakan pandangan bahwa kebenaran tidak hanya berhenti pada fakta, melainkan apa makna di balik fakta tersebut dengan menggunakan hati nurani berdasarkan asas kemanusiaan guna menyeimbangkan  penegakan hukum.

Sumber Referensi:

Undang-Undang Dasar 1945

Samuel J A Hutagaol, “Upaya Peningkatan Pemahaman Hukum di Kalangan Masyarakat yang Dilakukan Lembaga Bantuan Hukum Medan Sesuai Dengan Undang-Undang No 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum”, Digital Repository Universitas Negeri Medan Tahun 2016.

Rizka Noor Hashela, “Realitas Hukum Dalam Asas Equality Before The Law”, Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum Kabupaten Tanah Laut Tahun 2017.

Ahkam Jayadi, Memahami Tujuan Penegakan Hukum Studi Hukum Dengan Pendekatan Hikmah, (Yogyakarta: Gentra Press, 2015).

Aida Dewi, “Injustice Positivisme Perspektif Moral dan Etika Dalam Sistem Penegakan Hukum Pidana di Indonesia”, Jurnal Ilmuah UMPO, Vol. 3 No.1, Tahun 2019.

Irfan Fathurohman, Alasan Jaksa Tuntut Putri Candrawathi Hanya 8 Tahun: Berlaku Sopan, IDN Times, Diakses pada 28 Januari 2023.

Wilda Hayatun Nufus, Putri Candrawathi Dituntut Lebih Rendah dari Eliezer, Ini Alasan Kejagung, detikNews, Diakses pada 28 Januari 2023.

Kompas.com, Tuntutan 12 Tahun Richard Eliezer Dinilai Aneh, Lebih Tinggi dari Putri Candrawathi yang Aktor Intelektual, KOMPAS, Diakses pada 28 Januari 2023.

Kompas.com, Beda Tuntutan Putri Candrawathi dan Richard Eliezer, Keluarga Yosua: Hukum Runcing ke Bawah, Tumpul ke Atas, KOMPAS, Diakses pada 28 Januari 2023.

Kristian Redison Simarmata, Hukum yang Tumpul ke Atas Tajam ke Bawah, Medan Bisnis Daily, Diakses pada 28 Januari 2023.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *