Pengertian Hukum Internasional
Pengertian Hukum Internasional menurut Mochtar Kusumaatmadja, yaitu hukum internasional adalah keseluruhan kaidah-kaidah dan asas-asas hukum yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara-negara yang bukan bersifat keperdataan.
Hukum internasional adalah hukum yang sifatnya koordinatif bukan sub-ordinatif seperti halnya hukum nasional. Sub-ordinatif berarti adanya hubungan tinggi rendah antara yang diperintah (rakyat) dengan yang memerintah (pemerintah) dengan konsekuensi, suka tidak suka, maka seorang warga negara harus tunduk pada aturan yang dibuat oleh pemerintahnya.
Hal tersebut tidak berlaku untuk hukum internasional. Hubungan internasional yang diatur oleh hukum internasional dilandasi oleh persamaan kedudukan antara anggota masyarakat internasional, tidak ada satu yang lebih tinggi daripada yang lain karena yang tertinggi dalam hukum internasional adalah masyarakat internasional itu sendiri.
Ruang Lingkup Hukum Internasional
Hukum internasional diwujudkan dalam hubungan bilateral, trilateral, regional, multilateral maupun universal. Hukum internasional dalam perwujudan hubungan bilateral berarti bahwa aturan tersebut dibuat oleh dua negara dan hanya mengikat pada kedua negara itu saja.
Sebagai contoh perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan Singapura, dimana ketentuan-ketentuan hukum yang tertuang dalam perjanjian ekstradisi tersebut hanya mengikat antara Indonesia dan Singapura.
Dengan demikian, jelaslah bahwa dalam hukum internasional memang tidak mengenal strukturisasi badan legislatif formal seperti yang ditemukan di tingkat nasional yang ditujukan untuk membuat semua aturan perundang-undangan.
Peran dari badan legislatif dalam tingkat nasional direpresentasikan oleh subjek hukum internasional yang terdiri atas negara, organisasi internasional, tahta suci vatikan, palang merah internasional, kelompok pemberontak, kaum pembebasan, individu dan perusahaan multinasional sebagai masyarakat internasional.
Baca juga: Mengenal Hukum Acara Tata Usaha Negara Sebagai Proses Penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara
Bilamana di tingkat nasional terdapat polisi yang bisa menangkap basah seorang pencuri, ada jaksa, hakim serta pengadilan yang senantiasa siap mengadili seorang terdakwa, maka tidak demikian dengan hukum internasional. Dalam hukum internasional tidak ada polisi atau aparat penegak hukum selengkap di tingkat nasional.
Meskipun pada praktiknya, terdapat Mahkamah Internasional (International court of justice), Pengadilan Pidana Internasional (International criminal court), Pengadilan ad-hoc internasional, Pengadilan arbitrase internasional dan interpol.
Namun keseluruhan dari lembaga-lembaga tersebut tidak dilengkapi dengan kewajiban untuk menaati hasil keputusan yang dikeluarkan oleh lembaga-lembaga yang bersangkutan serta masih terdapatnya pembatasan terhadap subjek-subjek mana saja yang boleh diadili di masing-masing lembaga tersebut.
Seperti misalnya Mahkamah Internasional yang hanya mengadili negara satu dengan negara lain yang berperkara, dimana keduanya juga harus meratifikasi ketentuan dari Mahkamah Internasional dalam hukum nasionalnya.
Hal tersebut terjadi karena adanya pengakuan superior terhadap yurisdiksi suatu negara, sehingga masing-masing masyarakat internasional diwajibkan untuk menghormati masing-masing yurisdiksi.
Perdebatan Hukum Internasional sebagai sebuah Hukum
Dengan melihat sifat dari hukum internasional sebagaimana dipaparkan diatas, tidak heran jika banyak pihak yang meragukan eksistensi hukum internasional, apakah hukum internasional merupakan norma hukum positif yang sesungguhnya atau hanya merupakan nnorma moral (positive morality) yang adalah masalah klasik yang selalu diajukan oleh para pihak yang skeptic terhadap hukum internasional.
Menurut John Austin, hukum internasional bukanlah hukum yang sesungguhnya karena untuk dikatakan sebagai hukum harus memenuhi dua unsur, yakni terdapatnya badan legislative pembentuk aturan serta aturan yang diberlakukan oleh lembaga tersebut dapat dipaksakan pemberlakuannya.
Austin tidak menemukan kedua unsur ini dalam hukum internasional sehingga ia berkesimpulan bahwa hukum internasional belum dapat dikatakan sebagai hukum, baru sekedar positif morality saja.
Baca juga: Memahami Ruang Lingkup Hukum Telematika
Mencermati pendapat Austin, tampak bahwa Austin hanya melihat hukum dari kacamata yang sempit, dimana menurutnya, hukum indentik dengan undang-undang, perintah dan penguasa.
Dalam analisis modern, tentu pendapat Austin tidak lagi relevan digunakan, sebab akan menghilangkan fungsi pengadilan sebagai salah satu badan pembentuk hukum.
Selain itu, Austin juga mengabaikan bilamana dalam masyarakat terdapat hukum yang hidup, yang keberadaannya tidak ditentukan oleh adanya badan yang berwenang atau para penguasa layaknya seperti hukum adat maupun kebiasaan.
Berbeda dengan Austin, pakar hukum lain bernama Oppenheim mengemukakan bahwa hukum internasional adalah hukum yang sesungguhnya, dimana pendapat tersebut didasarkan kepada syarat-syarat sesuatu hal dapat disebut sebagai hukum. Syarat-syarat tersebut adalah aturan hukum, masyarakat serta adanya jaminan pelaksanaan dari luar atas aturan yang dikeluarkan,
Syarat pertama yakni aturan, dapat dengan mudah ditemukan dengn banyaknya regulasi skala internasional dalam kehidupan sehari-hari seperti Konvensi Hukum Laut 1982, Konvensi Wina 1969 yang bahkan pada praktiknya, keberadaan instrument hukum internasional seperti diatas menjadi cikal bakal dikeluarkannya undang-undang terkait pada tingkat nasional. Syarat kedua adalah masyarakat internasional.
Menurut Oppenheim, masyarakat internasional adalah negara-negara dalam lingkup bilateral, trilateral, regional maupun universal yang dewasa ini dikenal dengan istilah subjek hukum internasional, serta syarat terakhir ialah jaminan pelaksanaan yang pada gagasannya diutarakan dalam bentuk berupa sanksi yang datang dari negara lain, organisasi internasional maupun pengadilan internasional.
Sanksi tersebut dapat berwujud tuntutan permintaan maaf (satisfication), ganti rugi (compensation) serta pemulihan keadaan pada kondisi semula (repartition). Disamping itu ada pula sanksi yang wujudnya lebih modern seperti pemutusan hubungan diplomatik, embargo serta sanksi-sanksi ekonomi lainnya.
Baca juga: Pengertian Hukum Acara Perdata
Kekuatan Mengikat Hukum Internasional
Kekuatan mengikat hukum internasional dibagi dalam dua tiga aliran. Aliran pertama, aliran hukum alam mengemukakan bahwa kekuatan mengikat dari hukum internasional terlahir dari hubungan nya dengan kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat internasional sejak ratusan tahun yang lalu.
Hukum alam adalah hukum yang datang dari alam yang diturunkan pada manusia lewat rasio akalnya, hukum menurut aliran ini tidak diciptakan oleh manusia melainkan ditemukan di alam.
Kejadian-kejadian seperti peperangan dan insting untuk bertahan hidup dalam peperangan menjadi salah satu wujud pengejawantahan dari aliran ini.
Aliran kedua bernama aliran positivism, yang mengemukakan bahwa dasar kekuatan mengikatnya hukum internasional adalah bersumber dari kehendak negara.
Meskipun lebih konkret dibandingkan dengan apa yang dikemukakan oleh aliran hukum alam, namun apa yang dikemukakan oleh aliran ini pun memiliki kelemahan dengan mempertautkan negara sebagai satu-satunya subjek yang dapat membuat sebuah regulasi.
Adanya konsekuensi bahwa hukum kebiasaan internasional telah hadir bahkan sebelum lahirnya suatu negara, menjadi alasan mengapa terjadi penolakan terhadap dominasi negara dalam konsep aliran positivism ini.
Aliran terakhir yakni aliran sosiologis yang mengatakan bahwa masyarakat internasional selaku mahluk sosial akan selalu membutuhkan interaksi antara satu dengan yang lainnya untuk memenuhi kebutuhannya.
Dengan demikian, hukum internasional terlahir dari adanya kepentingan serta kebutuhan masyarakat internasional, sehingga negara dan subjek hukum internasional lain, membantu untuk mewujudkannya ke dalam instrument yang memiliki legalitas serta kekuatan yang mengikat.
Baca juga: Pengertian Hukum Acara Perdata
Kesimpulan
Sebagai sebuah hukum, hukum internasional mengalami perkembangan yang panjang dan kompleks. Tak jarang dalam perjalanannya sebagai sebuah hukum yang bisa kita lihat hingga saat ini, hukum internasional mengalami perubahan yang senantiasa memperbaharui ketentuan-ketentuannya agar sesuai dengan perkembangan zaman.
Hal tersebut dibuktikan dengan pengakuan secara sebagian yang diberikan kepada perusahaan multinasional sebagai subjek hukum internasional yang memberikan beban pertanggungjawaban atas aktivitas maupun kegiatannya yang berpotensi menimbulkan kerugian bagi negara lain.
Hal lain yang turut mengalami perubahan secara besar-besaran ialah terhadap kebiasaan internasional. di era dinasti china misalnya, ada sebuah kebiasaan yang dipraktekkan pada masa lampau, yakni penyiksaan hingga pembunuhan terhadap para tawanan perang yang kalah berperang melawan pasukan china. Kebiasaan tersebut ditinggalkan karena tidak lagi sesuai dengan prinsip-prinsip dalam hukum internasional.
Perubahan-perubahan yang timbul akibat adanya perbedaan dalam memandang eksistensi hukum internasional sebagai sebuah hukum pada kenyataannya semakin membuat perkembangan hukum internasional menjadi hukum yang dekat dan diterima dalam kehidupan bermasyarakat.
Referensi :
Sefriani, Hukum Internasional Suatu Pengantar, Rajawali Press : Jakarta, 2009
I Wayan Parthiana, Pengantar Hukum Internasional, Mandar Maju : Bandung, 1990
Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional dalam Teori dan Praktik, Abardin : Jakarta, 1982.
May Rudy, Hukum Internasional 1, Refika Aditama : Bandung, 2001
Respon (1)