Daftar Isi
ToggleDaftar Isi
Pertanyaan
Bagaimana ketentuan dalam hukum mengenai bagi hasil tanah garapan atau bagi hasil secara umum ?
Jawaban
Hukum perjanjian atau perikatan sama kekuatanya dengan Undang-Undang namun terbatas pada mereka yang membuatnya (Pacta Sunt Servanda), hal ini disebutkan dalam Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Akibatnya, lahir hak dan kewajiban yang disepakati secara sukarela dan disengaja di antara mereka berdasarkan asas kebebasan berkontrak, selama apa yang disepakati oleh mereka bukanlah sesuatu yang dilarang dan tidak berlawanan dengan kesusilaan dan ketertiban umum (Pasal 1337 KUH Perdata).
Baca juga: Polemik Kenaikan Harga BBM Semakin Mencekik
Ketentuan bagi hasil merupakan salah satu aspek pendukung berdirinya perjanjian dalam kegiatan bangun usaha dan merupakan syarat dari unsur kesepakatan dari suatu hukum perjanjian (Pasal 1320 KUH Perdata). Sehingga ketentuan bagi hasil dibentuk berdasarkan asas kebebasan berkontrak dan itikad baik yang terjadi dalam proses perundingan (preliminary negotiation).
Menurut pasal 1 Undang-Undang No. 2 Tahun 1960 tentang perjanjian bagi hasil bahwa bagi hasil adalah “Perjanjian bagi hasil ialah perjanjian dengan nama apapun juga yang diadakan antara pemilik pada suatu pihak dan seseorang atau badan hukum pada pihak lain – yang dalam undang-undang ini disebut “penggarap” – berdasarkan perjanjian mana penggarap diperkenankan oleh pemilik tersebut untuk menyelenggarakan usaha pertanian diatas tanah pemilik, dengan pembagian hasilnya antara kedua belah pihak”.
Menurut KUHPER bahwa bagi hasil ini dituangkan ke dalam persekutuan (partnership) yang tunduk ke dalam asas hukum perjanjian. Dikatakan bahwa “Persekutuan adalah persetujuan dengan mana dua orang atau lebih mengikatkan diri untuk memasukkan sesuatu (inbrengen) ke dalam persekutuan dengan maksud membagi keuntungan yang diperoleh karenanya (Pasal 1618 KUH Perdata)”.
Baca juga: Festival Hukum Nasional Volume I
Adapun mengenai hak dan kewajiban dalam persekutuan ini yang berkaitan dengan bagi hasil diatur dalam Pasal 1625-1630 KUHP, intinya masing-masing dari mereka memiliki hak untuk menerima bagian dari hasil yang didapatkan sesuai dengan yang ditetapkan. Selanjutnya, jika pembagian hasil tidak ditetapkan dalam perjanjian, maka pembagian hasil ditetapkan berdasarkan besaran kontribusi masing-masing sekutu. Untuk mereka yang berkontribusi hanya keterampilan atau tenaga saja maka akan memperoleh keuntungan dan kerugian yang sama dengan sekutu yang kontribusinya kecil baik berupa uang maupun barang.
Jika dibandingkan dengan hukum Islam, pengaturanya lebih praktis melalui skema akad mudharabah maupun musyarakah. Menurut fuqaha (merujuk pada ahli hukum Islam) bahwa mudharabah adalah akad antara dua pihak (orang) saling menanggung, salah satu pihak menyerahkan hartanya kepada pihak lain untuk diperdagangkan dnegan bagian yang telah ditentukan dari keuntungan, seperti setengah atau sepertiga dengan syarat-syarat yang telah ditentukan.
Baca juga: Pernikahan Beda Agama di Indonesia
Dalam praktiknya, mudharabah dilakukan dengan salah satu pihak memiliki modal dan pihak lain sebagai pekerja dengan pembagian keuntungan bagi hasil dengan prinsip profit and loss sharing (keuntungan dan kerugian ditanggung bersama sesuai kontibusi). Sedangkan musyarakah atau syirkah adalah suatu kerjasama yang dilakukan oleh dua orang atau badan hukum dimana keduanya merupakan pemodal dan pekerja yang keuntungan dan kerugianya ditentukan berdasarkan besaran modal yang dimasukkan dalam persekutuan tersebut.
Khusus tanah garapan, yang diatur dalam UU No.2 Tahun 1960 bahwa bagi hasil kerjasama harus dibuat secara tertulis, dan pembagianya yang juga memperhatikan prinsip keadilan dan berbeda di tiap daerah berdasarkan arah dalam pasal 7 UU tersebut yang ditentukan oleh bupati berdasarkan pertimbangan enis tanaman, keadaan tanah, kepadatan penduduk, dan zakat yang dikeluarkan serta faktor adat.
Baca juga: MACAM-MACAM AKAD DALAM ISLAM (MUAMALAH)
Prinsipnya ketentuan bagi hasil dikembalikan pada prinsip hukum perjanjian yakni kesepakatan bagi para pihak yang tidak bertentangan dengan norma, kesusilaan dan ketertiban yang berlaku. Karena jika tidak akan ada konsekuensi hukum perjanjianya, selain itu bagi hasil yang tidak adil akan berdampak pada perputaran ekonomi dan berpotensi prinsip ini akan dijauhi oleh pengusaha baik kecil maupun besar.
Sumber:
KUH Perdata
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah.