Daftar Isi
ToggleDaftar Isi
Pertanyaan
Bagaimana hukum membawa senjata tajam untuk perlindungan diri?
Jawaban
Pengertian Senjata Tajam
Senjata tajam di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan sebagai senjata yang tajam, seperti pisau, pedang, golok. Secara hukum, senjata tajam boleh dimiliki jika digunakan untuk bertani, pekerjaan rumah tangga, dan/atau melakukan pekerjaan yang secara sah disyaratkan menggunakan senjata tajam.
Ketentuan Peraturan Perundang-Undangan
Namun demikian, ditentukan dalam Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 (selanjutnya disebut UU 12/1951) Pasal 2 bahwa:
- Barang siapa yang tanpa hak memasukkan ke Indonesia, membuat, menerima, mencoba memperolehnya, menyerahkan atau mencoba menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai persediaan padanya atau mempunyai dalam miliknya, menyimpan, mengangkut, menyembunyikan, mempergunakan atau mengeluarkan dari Indonesia sesuatu senjata pemukul,senjata penikam, atau senjata penusuk, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya 10 (sepuluh) tahun.
- Dalam pengertian senjata pemukul, senjata penikam atau senjata penusuk dalam pasal ini, tidak termasuk barang-barang yang nyata-nyata dimaksudkan untuk dipergunakan guna pertanian, atau untuk pekerjaan-pekerjaan rumah tangga atau untuk kepentingan melakukan dengan syah pekerjaan atau yang nyata-nyata mempunyai tujuan sebagai barang pusaka atau barang kuno atau barang ajaib.
Baca juga: bolehkah mempublikasikan kejahatan seseorang ke media sosial
Berdasarkan pasal di atas maka dapat diketahui bahwa membawa senjata tajam seperti senjata pemukul, senjata penikam, atau senjata penusuk, merupakan sebuah larangan yang bila dilakukan maka dapat dihukum dengan hukuman penjara maksimal 10 (sepuluh) tahun.
Kendati demikian, maraknya tindak pidana berupa kejahatan yang dilakukan oleh orang lain membuat masyarakat harus melakukan perlindungan diri. Beberapa orang melakukan upaya perlindungan diri dengan membawa senjata tajam yang akan digunakan ketika merasa terancam. Namun apakah membawa senjata tajam untuk perlindungan diri dibenarkan dalam undang-undang?
Membawa Senjata Tajam Untuk Perlindungan Diri
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia atau disingkat dengan KUHP, memberikan beberapa alasan penghapusan pidana seperti alasan pembenar dan alasan pemaaf. Alasan-alasan tersebut diatur dalam Pasal 44 hingga Pasal 51 KUHP.
Dikenal Pembelaan Terpaksa sebagai salah satu alasan penghapusan pidana yang tertuang dalam Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) KUHP, sebagaimana berbunyi:
- Barang siapa terpaksa melakukan perbuatan untuk pembelaan, karena ada serangan atau ancaman serangan ketika itu yang melawan hukum, terhadap diri sendiri maupun orang lain; terhadap kehormatan kesusilaan atau harta benda sendiri maupun orang lain, tidak dipidana.
- Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh keguncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak dipidana.
Baca juga: draf final rkuhp tindak pidana penghinaan kekuasaan umum dan lembaga negara
Keadaan terpaksa melindungi apa yang harus diperbuat. Namun juga tidak serta merta segala bentuk pembelaan diri yang dilakukan dapat dijustifikasi oleh pasal ini. Setidaknya ada 3 (tiga) hal yang harus dipenuhi dalam pembelaan diri, yaitu:
- Serangan dan ancaman yang melawan hak, terjadi secara mendadak dan bersifat seketika, yang berarti tidak ada jarak waktu yang lama, begitu orang tersebut mengerti adanya serangan, seketika itu pula dia melakukan pembelaan.
- Serangan yang dilakukan bersifat melawan hukum, ditujukan kepada tubuh, kehormatan, dan harta benda, baik milik sendiri atau orang lain.
- Pembelaan yang dilakukan harus bertujuan untuk menghentikan serangan dan bersifat seimbang dengan serangan (asas proporsionalitas), karena tidak ada cara lain untuk melindungi diri kecuali melakukan pembelaan.
Pasal 49 KUHP digunakan sebagai alasan pemaaf namun bukan untuk pembenaran perbuatan melawan hukum. Hal ini disebabkan seseorang yang terpaksa melakukan tindak pidana, dapat dimaafkan jika terjadi pelanggaran hukum yang mendahului perbuatan tersebut.
Pembelaan terpaksa dalam rangka perlindungan diri tidak dapat dikatakan melanggar asas praduga tidak bersalah atau dikatakan main hakim sendiri.
Baca juga: presidential threshold sejarah ambang batas pencalonan dari pemilu ke pemilu
Kesimpulan
Jadi dapat disimpulkan bahwa seorang korban yang mengalami tindak pidana kejahatan dapat melakukan upaya perlindungan diri yang dikenal dengan pembelaan terpaksa. Namun upaya perlindungan diri harus dilakukan untuk menghentikan serangan dengan mengandung asas proporsionalitas.
Jika korban melakukan upaya perlindungan diri menggunakan senjata tajam, hal ini tetap tidak dibenarkan sebagaimana ditentukan dalam UU 12/1951 bahwa membawa senjata tajam sebagai alibi melindungi diri sendiri tidak diterapkan di Indonesia. Dengan demikian, masyarakat tidak boleh membawa senjata tajam saat bepergian walaupun dengan alasan perlindungan diri.
Sumber Referensi:
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 Mengubah ‘Ordonnantietijdelijke Bijzondere Strafbepalingen’ (Stbl. 1948 Nomor 17) dan Undang-Undang Republik Indonesia Dahulu Nomor 1948.